Oleh: Made Nopen
Supriadi, S.Th
Dalam Alkitab kata
saleh ditulis dengan tamim. Kata tersebut muncul dalam
pembahasan mengenai pribadi Ayub yang saleh. Kata saleh tersebut memiliki arti integrity,
Perfect. Kesalehan adalah kehidupan yang dalam kondisi ideal. Hal tersebut
tidak didapatkan begitu saja oleh manusia. Karena hanya Allah saja yang
memiliki keidealan tersebut. Oleh karena itu secara teologis, manusia dapat
hidup saleh karena Allahlah yang membentuk manusia dalam kesalehan. Tanpa Allah
manusia tidak akan dapat menginginkan hal-hal yang baik apalagi saleh
(Lih. Total Depravity of Man).
Dalam kesalehan hidup Ayub, ia justru banyak mengalami
problematika yang sangat berat. Iblis diijinkan Allah untuk mencobai Ayub.
Pencobaan pertama bersifat eksternal, Ayub kehilangan seluruh harta, anak dan
budaknya. Pencobaan kedua bersifat internal yaitu Iblis menghajar Ayub dengan
penyakit kulit yang membuat istrinya tidak betah dan meminta agar mengutuki
Allah. Namun Alkitab mencatat dalam kesemuanya itu Ayub tidak berdosa, bahkan
ia memiliki sikap dan pandangan yang tetap ideal kepada Tuhan, dengan siap
menerima bukan hanya baik tetapi yang buruk dari Tuhan. Kesalehan Ayub membuat
ia tetap memiliki pemikiran teologis yang benar tentang Allah.
Doktrin Teodisi menjadi hal yang terlihat dalam pemikiran Ayub. Ia
percaya Allah tidak bersalah sama sekali dalam penderitaan yang ia alami. Ia
tidak mau menuduh Allah dengan pandangan negatif. Kesalehan hidup Ayub memimpin
dirinya berpikir benar tentang Allah tanpa memberikan tuduhan dan kecaman yang
salah kepada Allah. Ayub tidak berteriak bahwa Allah jahat, Allah kejam tetapi
ia justru tidak didapati berdosa dalam perkataannya kepada Allah saat
penderitaan muncul.
Buku Institutio yang ditulis oleh John Calvin (1509-1564), seorang tokoh
reformator Gereja. Memberikan arahan agar manusia yang membacanya terarah
kepada kesalehan hidup. Calvin tidak hanya membentuk pembaca secara
intelektualitas dalam memahami Alkitab tetapi ia juga mengharapkan manusia
mengerti akan kesalehan hidup dari buku tersebut. Jika kita melihat apa
hubungan buku Intitutio dengan pengalaman hidup Calvin?.
Dalam catatan Majalah Momentum no. 29/Triwulan I/1996 yang diterbitkan
oleh Lembaga Reformed Injili Indonesia (LRII), menuliskan tentang sejarah kisah
kehidupan keluarga Calvin. Berikut kisah seingkat kehidupan John Calvin dan
keluarganya:
Akan tetapi Strasbourg lebih dari sekedar tempat
pengungsian bagi Calvin. Tidak berapa lama setelah dia berada di kota itu, dia
tinggal bersama dengan Martin dan Elizabeth Bucer. Martin adalah seorang
pendeta yang ramah dari gereja St. Thomas di kota tersebut. Dan Elizabeth
adalah seorang tuan rumah yang ramah juga seperti Martin. Rumah mereka terkenal
sebagai "pondok kebenaran". John Calvin tidak pernah melihat suatu
pernikahan yang begitu bahagia. Bucer sangat bahagia sehingga dia menganjurkan
tentang pernikahan kepada semua rekan sepelayanannya "Calvin, kamu harus
mencari seorang istri." Martin mengatakan ini kepada Calvin lebih dari
satu kali.
Philip Melanchthon pernah sekali memperhatikan bahwa John
Calvin kelihatan seperti seorang yang pendiam dan pelupa, walaupun itu bukan
merupakan karakternya, setelah menghadiri suatu konprensi yang melelahkan
sepanjang hari. "Baiklah! Baiklah!", kata Melanchthon,
"...sepertinya theolog kita ini sedang memikirkan seorang calon istri."
Pada saat itu, Melanchthon telah menikah selama 19 tahun dan pernikahannya
merupakan suatu pernikahan yang bahagia. Ny. Melanchthon, adalah seorang yang
humoris, yang merawat Philip dengan sangat baik. Satu-satunya keluhan yang
pernah disampaikan Philip kepada John Calvin, adalah, "Dia (Ny.
Melanchthon) senantiasa mempunyai pikiran bahwa saya akan mati kelaparan jika
saya tidak selalu diberi makan yang banyak."
Demikian juga Calvin, menyadari bahwa dia memerlukan
seseorang untuk memperhatikannya. Ketika dia pindah keluar dari "pondok
kebenaran" Bucer, dia menyewa satu rumah untuk dirinya sendiri, saudara-
saudaranya, adik tirinya dan beberapa murid yang tinggal bersama dengan dia.
Dia merasa bahwa beban untuk mengurus suatu rumah tangga sangatlah sulit, dan
pada saat yang bersamaan dia juga harus melayani sebagai seorang pendeta di
gereja yang sedang berkembang. Ini merupakan alasan lain yang menunjang Calvin
untuk mencari seorang pendamping. Oleh sebab itu, dia memberitahukan pada
koleganya bahwa dia sekarang siap untuk dicarikan seorang istri dan dia terbuka
untuk semua saran-saran.
Tentu saja, seperti biasa, dia tahu apa yang
dikehendakinya. Kwalifikasi dari "pekerjaan" tersebut adalah :
"Harus diingat bahwa apa yang saya harapkan dari istri saya - dia harus
merupakan seseorang yang halus di dalam budi bahasanya, tidak terlalu rewel,
hemat, sabar dan apabila memungkinkan dia harus bisa memperhatikan kesehatan
saya juga. Saya tidak seperti anak-anak muda umumnya yang hanya jatuh cinta dan
tertarik dengan keadaan fisik dari seseorang."
Pada saat itu, Calvin sedang menghadapi masalah sehingga
dia berharap bebannya akan sedikit ringan apabila dia mempunyai seorang istri;
walaupun sebenarnya tidak menyelesaikan masalahnya. "Saya tidak pandai
menyimpan uang. Sangatlah mengherankan bagaimana uang saya semuanya habis untuk
semua keperluan di luar keperluan biasa". Seperti apa yang dituliskan oleh
T.H.L Parker, "...kesehatan Calvin sangatlah menurun, dia juga bukan
merupakan seorang yang bisa mengatur diri sendiri, dia seorang yang tidak
sabaran dan kemungkinan akan berubah menjadi lebih baik apabila dia menikah."
Pada kenyataannya, Calvin sangat yakin bahwa langkah
berikut di dalam kehidupannya untuk tahun 1539 adalah menikah, sehingga dia
menetapkan satu tanggal, beberapa hari setelah Paskah adalah merupakan hari
pernikahannya. William Farel, teman dekatnya, yang akan melangsungkan upacara
pernikahan tersebut. Tapi kita tidak tahu adalah apakah dia sudah memilih
seorang calon istri?
Beberapa bulan kemudian, calon pertama dipertemukan dengan
Calvin. Dia adalah seorang wanita Jerman yang kaya, yang mempunyai seorang
kakak yang menjadi manajer kampanye wanita itu. Mereka merupakan pendukung
Calvin yang setia, dan kakaknya berpendapat bahwa pernikahan di antara mereka
berdua akan merupakan suatu pernikahan yang saling menguntungkan. Calvin sering
mengatakan bahwa dia ingin sekali hidup sebagai seorang ilmuwan. Dan hasil dari
royalti penjualan buku-bukunya tidak memberikan hasil yang cukup memuaskan; ini
akan merupakan suatu hal yang membantu kehidupannya apabila dia menikah dengan
seorang wanita yang kaya.
Akan tetapi, Calvin mempunyai dua permasalahan dengan
calon pertama ini; alasan yang pertama - dia tidak mengerti sama sekali
mengenai bahasa Perancis dan tidak menunjukkan itikad untuk mempelajarinya;
alasan yang kedua - seperti yang dia jelaskan kepada Farel bahwa, "Dia
pasti akan membawa emas kawin yang banyak dan hal tersebut akan sangat
memalukan bagi diri saya, sebagai seorang hamba Tuhan yang miskin. Dan saya
juga berpendapat bahwa dia juga tidak akan merasa puas hanya dengan menjadi
seorang istri hamba Tuhan yang sederhana."
Farel mempunyai seorang calon yang cukup memenuhi syarat
untuk dikenalkan dengan Calvin. Dia cukup mahir dalam bahasa Perancis, dan
merupakan seorang Protestan yang saleh; akan tetapi berbeda usia mereka cukup
jauh, di mana Calvin 15 tahun lebih muda dari wanita tersebut. Calvin tidak
pernah menginginkan yang ini.
Calon berikutnya merupakan seorang wanita yang mahir di
dalam bahasa Perancis dan dia juga tidak mempunyai harta yang berlimpah; teman-
teman Calvin sangat menyetujui. Calvin kelihatannya sangat tertarik, dan
merupakan suatu alasan yang cukup kuat untuk mengundang dia ke Strasbourg untuk
berkenalan. Calvin sekali lagi mengingatkan Farel, "Apabila semuanya
berjalan dengan lancar, dan ini yang sungguh-sungguh kita harapkan semua, maka
upacara pernikahannya tidak akan ditunda dan melewati tanggal 10 Maret."
Pada saat itu, Calvin telah berusia 31 tahun, tepatnya pada tahun 1540.
"Saya harapkan kamu bisa hadir dan memberkati pernikahan ini," tetapi
Calvin menambahkan, "saya akan kelihatan seperti orang bodoh apabila semua
yang kita harapkan kali ini tidak akan berjalan sesuai dengan rencana."
Dan ternyata rencana pernikahan tersebut tidak pernah terlaksana sesuai dengan
yang telah ditetapkan.
John sangat malu dengan semua masalah yang ditimbulkannya
dan semua surat-surat yang dikirimnya kepada William Farel; dia menulis di
salah satu suratnya kepada Farel, "Saya masih belum menemukan seorang
istri pun dan saya merasa sungkan untuk melanjutkan "pencarian"
tersebut." Akan tetapi, pada saat dia berhenti untuk mencari, dia
menemukan pasangannya. Di antara para jemaatnya ada seorang janda muda,
Idelette de Bure Stordeur. Dia, suaminya dan kedua anaknya, datang ke
Strasbourg sebagai penganut Anabaptis. Setelah mendengarkan khotbah- khorbah
dari John Calvin mengenai eksposisi-eksposisi Alkitab, pandangan mereka berubah
menjadi pandangan Reformed.
Jean Stordeur, suami Idelette, merupakan seorang pemimpin
Anabaptis dan tidak diragukan bahwa John Calvin sering mendiskusikan masalah-
masalah theologi dengan keluarga Stordeur di tempat kediaman mereka. Pada tahun
1537, ketika Calvin masih berada di Geneva, Stordeur telah datang ke kota itu
untuk berdebat dengan para Reformator di kota itu. Stordeur kalah di dalam
perdebatan tersebut dan diperintahkan untuk keluar dari kota itu dan kembali ke
Strasbourg. Tidak kita ragukan bahwa diskusi itu dilanjutkan ketika dua tahun
kemudian Calvin tiba ke Strasbourg. Pada akhirnya, Calvin berhasil menyakinkan
mereka dengan ayat-ayat dari Alkitab mengenai perbedaan-perbedaan yang ada
tetapi tidak semuanya. Di dalam beberapa hal, Calvin memasukkan beberapa hal
mengenai pemikirannya sendiri. Tetapi setelah itu suami istri Stordeur
mengikuti kebaktian di gereja Calvin, dan turut serta di dalam Perjamuan Kudus,
anak mereka kemudian di baptis oleh Calvin - setelah melalui diskusi yang cukup
lama; pada akhirnya seluruh keluarga Stordeur menjadi anggota jemaat di gereja
tersebut yang mana anggota jemaatnya telah mencapai 500 orang pelarian dari
Perancis dan negara- negara yang letaknya di bawah Perancis.
Kemudian pada tahun 1540 di musim semi, Jean Stordeur
diserang oleh penyakit pes dan tiba-tiba meninggal. Idelleta menangisi kematian
suaminya, John Calvin merasa sedih karena kehilangan seorang teman. Pada saat
John Calvin sudah menyerah mengenai rencana pernikahan oleh karena
kegagalan-kegagalan sebelumnya pada saat itulah teman- temannya, pendeta Martin
Bucer menganjurkan kepada Calvin, "Mengapa tidak mempertimbangkan Ideletta
sebagai calon istrimu?". Dan John Calvin benar-benar mempertimbangkan
saran tersebut.
Idelette adalah seorang wanita yang menarik, cerdas,
seorang yang berbudi bahasa, dan dia berasal dari kalangan kelas menengah atas.
Dia juga seorang wanita yang berkarakter dan sangat bersemangat. Tidak
memerlukan waktu terlalu lama bagi sang Reformator untuk menulis surat kepada
William Farel, meminta kesediaan dia untuk datang dan melangsungkan upacara
pernikahan tersebut. Kali ini bukanlah alarm yang salah lagi; dan pada bulan
Agustus, John dan Idelette resmi dinikahkan.
Untuk Idellette, dia lebih memperhatikan kesejahteraan
anak-anaknya bahwa mereka memiliki seorang ayah yang baik, sedangkan untuk
John, dia merasa lega oleh karena telah menemukan seorang istri yang baik.
Penyesuaian besar pertama bagi Idellete adalah pindah ke asrama Calvin dan
tinggal bersama dengan para murid-muridnya, dan belajar untuk menyesuaikan diri
dengan pengurus rumah tangga yang mempunyai lidah yang "tajam".
Idellete juga harus dihadapkan dengan masalah kesehatan.
Mereka berdua, jatuh sakit tidak lama setelah hari pernikahan mereka dan
diharuskan untuk tinggal di tempat tidur. Calvin mengirimkan kartu ucapan
terima kasih kepada William Farel dan mencantumkan, "...sepertinya semua
ini telah diatur, sehingga pernikahan kami tidak berkesan terlalu
"menggembirakan", Tuhan telah memberikan suatu kebahagiaan yang
sepantasnya kami dapatkan."
Di dalam tulisan-tulisannya, John Calvin tidak pernah
banyak menyinggung masalah-masalah pribadinya, dan demikian juga mengenai
istrinya. Sama sekali berbeda dengan Martin Luther - akan tetapi melalui
surat-suratnya kita bisa menarik suatu kesimpulan bahwa Idellete adalah adalah
seorang istri yang benar-benar memperhatikan suaminya, demikian juga kepada
anak-anaknya. Penulis biografi Calvin menyimpulkan bahwa Idelette adalah
seorang wanita yang kuat dan berpribadi; dan John Calvin sendiri menggambarkan
dia sebagai seorang penolong yang setia darinya, serta merupakan seorang teman
hidup yang paling menyenangkan. John Calvin pastilah tidak kecewa dengan
pernikahannya tersebut.
Walaupun dia sangat menikmati kebersamaan Idelette di sampingnya,
akan tetapi pada tahun pertama pernikahan mereka - dia tidak begitu mempunyai
banyak waktu. Setelah mereka sembuh, John Calvin harus berkeliling,
meninggalkan Idellete untuk mengurusi permasalahan- permasalahan yang timbul di
asrama, demikian juga kedua anak-anaknya sendiri. Sebenarnya John Calvin tidak
ingin pergi, tetapi Raja Charles, penguasa Holy Roman Empire telah memanggil
para pemimpin- pemimpin Roma Katholik dan para Sarjana Protestan untuk
berkumpul dan mendiskusikan bagaimana mereka bisa menghentikan perdebatan di
antara mereka dan membentuk satu kesatuan untuk melawan kerajaan Turki yang
hendak menguasai pemerintahannya.
Setelah tiga bulan kemudian, John Calvin kembali ke rumah
untuk sebulan lamanya, sebelum dia harus kembali melanjutkan tugas pelayanannya
untuk menghadiri suatu konferensi yang dihimpun oleh Raja Charles. "Saya
dipaksa untuk pergi", dia menuliskannya, tetapi dia berangkat juga.
Ketika dia menghandiri konprensi tersebut, dia menerima
kabar bahwa Strasbourg diserang oleh wabah penyakit pes. Dia sangat mencemaskan
istrinya. "Siang dan malam, saya selalu memikirkan istri saya." Dia
menyadari bahwa penyakit pes ini telah mengambil nyawa suami Idelette setahun
yang lalu, ada kemungkinan Idellete akan terserang oleh penyakit tersebut oleh
karena dia belum pulih benar setelah sembuh dari sakitnya. Dia menulis surat
kepada istrinya dan meminta dia untuk meninggalkan Strasbourg, sampai wabah
penyakit tersebut berlalu.
Akan tetapi, Idelette telah bertindak duluan. Dia telah
membawa anak- anaknya untuk mengungsi ke rumah kakaknya, Lambert. Lambert
dulunya adalah seorang tuan tanah yang kaya di Liege, sebelum dia dipaksa untuk
pergi dan meninggalkan semua yang dimilikinya. Tetapi hanya dalam beberapa
tahun saja semenjak kedatangannya di Strasbourg, dia kembali memulihkan
reputasinya menjadi seorang penduduk yang terhormat.
Pada penghujung tahun tersebut, John Calvin dipanggil
kembali untuk menghadiri suatu konprensi. Dia dan Idelette terpisah selama 32
minggu dari 45 minggu pertama semenjak hari pernikahan mereka. Walaupun
demikian, John Calvin masih dihadapkan pada suatu tantangan yang lebih besar
daripada hanya sekedar perpisahan mereka yang cukup lama. John Cavin dihadapkan
pada suatu dilema dimana dia disuruh untuk kembali ke Geneva. Dia tidak mau
pergi, "Saya lebih baik menghadapi "100 kali kematian" daripada
diberi kebebasan untuk memilih, saya lebih baik melakukan apa saja yang lain di
dunia ini."
Tetapi pada bulan September, tahun 1541. John Calvin
menuju Geneva untuk melihat kemungkinan apakah dia harus merubah pikirannya.
"Saya menyerahkan hati saya kepada Tuhan sebagai persembahan", dia
menuliskan. Idelette tinggal di Strasbourg untuk sementara, sampai Calvin
merasa yakin kalau Geneva akan aman untuk Idelette dan anak- anaknya. Geneva
memberikan John Calvin banyak hadiah. "Ada jubah baru dari kain beludru
hitam, yang dihiasi dengan bulu domba. Dan disediakan rumah di Rue de
Chanoines, yang terletak di suatu jalan kecil dekat katederal. Di belakang
rumah tersebut didapati taman yang menghadap ke danau yang biru." Para
dewan anggota mengirimkan kereta kuda mewah untuk menjemput Ideletta,
anak-anaknya dan membawa semua perabotan dari Strasbourg ke Geneva. Ini
merupakan suatu perpindahan yang traumatis baik bagi Idelette maupun John Calvin
sendiri. Strasbourg telah menjadi rumah bagi Ideletta dan juga anak-anaknya.
Apalagi kakaknya, Lambert, beserta keluarganya juga tinggal di Strasbourg.
Semua yang diketahui oleh dia mengenai Geneva adalah berdasarkan cerita
pengalaman John Calvin selama dia berada di Geneva, dan semuanya itu
menggambarkan suatu ketidakpastian dan kebimbangan, jika bukan pencobaan dan
penderitaan.
Pada akhirnya, Idelette pergi juga menuju Geneva. Dan
setelah dia mulai menetap di rumah baru mereka di Rue de Chanoines No. 11, dia
merasa bahagia. Keadaan di Geneva sama sekali berbeda dengan keadaan di asrama
Strasbourg yang penuh sesak.
Para dewan kota meminjamkan Calvin perabotan-perabotan,
oleh karena mereka tidak memiliki banyak perabotan. Di belakang rumah mereka
ada kebun yang ditanami sayur, pohon-pohon untuk obat dan bumbu masak dan juga
ditanami berbagai bunga yang mengharumkan udara, semua ini dirawat oleh
Idelette. Ketika para tamu berkunjung, dengan bangga John Calvin menunjukkan
kepada mereka kebun yang dirawat oleh Idelette.
Pada musim panas mereka yang pertama di Geneva, Idelette
melahirkan seorang bayi laki-laki prematur. Si kecil Jacques meninggal dunia
pada usia 2 minggu. Ini merupakan suatu pukulan yang berat untuk mereka berdua.
"Tuhan memberikan suatu pelajaran kepada kami melalui kematian putera
kami." John menuliskan kesedihannya kepada sesama koleganya. "Tetapi
Dia sendiri sebagai seorang Bapa, mengetahui apa yang terbaik untuk
anak-anak-Nya."
Tiga tahun kemudian, putri mereka juga meninggal pada saat
dilahirkan, dan dua tahun kemudian, ketika John dan Idelette menginjak usia 39
tahun, lahirlah anak ketiga yang prematur, yang juga meninggal kemudiannya.
Setelah semua kejadian yang menimpa mereka, kondisi kesehatan Idelette mulai
menurun; yang disertai dengan batuk-batuk yang memberatkannya.
Walaupun kehidupan di Geneva bagi John Calvin lebih baik,
akan tetapi ini juga bukan merupakan suatu kehidupan yang mudah. Dia mempunyai
banyak musuh di kota tersebut sama seperti ia mempunyai banyak sahabat.
Beberapa penduduk kota tersebut memanggil anjing-anjing mereka
"Calvin". Tetapi yang membuat Calvin lebih marah, apabila mereka juga
mengikutsertakan Idelette di dalam gunjingan mereka.
Pernikahan Idelette yang pertama dengan John Stordeur
bukanlah merupakan suatu pernikahan yang bersifat suatu upacara pemberkatan
resmi, oleh karena ajaran Anabaptis mempercayai bahwa pernikahan itu merupakan
suatu hal yang sakral, bukan merupakan suatu tindakan hukum. Beberapa tahun
kemudian, gunjingan-gunjingan tersebut makin meluas ke seluruh kota dan mereka
berpendapat bahwa Idellete adalah seorang wanita yang mempunyai reputasi yang
jelek, dan bahwa kedua anaknya tersebut itu lahir di luar nikah. John Calvin
dan Idelette pada saat ini tidak bisa mempunyai anak, mereka mengatakan bahwa
Tuhan sedang menghukum mereka oleh karena perbuatan-perbuatan amoral Idelette
di waktu lampau.
Walaupun kesehatan Idelette semakin menurun, Idelette
tetap berusaha unuk menjaga supaya John tetap berada pada keadaan emosi yang
stabil. Teman-teman mereka mengatakan bahwa John berada pada keadaan di mana
dia bisa mengontrol emosinya dengan baik, walaupun dia harus dihadapkan dengan
berbagai macam serangan.
Idelette masih berusia 30 tahunan ketika dia diserang oleh
penyakit, kemungkinan tuberkulosa (TBC), yang merupakan penyebab utama dari
kemunduran kesehatannya. Di bulan Agustus 1548, John Calvin menulis, "Dia
begitu dikuasai rasa sakitnya sehingga dia sendiri hampir sama sekali tidak
mampu untuk mendukung dirinya sendiri." Pada tahun 1549, ketika dia
berusia 40 tahun, dia terbaring dengan lemahnya. Idelette hanya baru menikah
dengan John untuk 9 tahun, pada saat dia terbaring sakit. Di tempat tidurnya,
Idelette mempunyai dua masalah yang sangat diperhatikannya. Salah satunya
adalah bahwa sakit penyakitnya janganlah sampai menghalangi pelayanannya Jon
Calvin. Yang satunya lagi adalah anak-anakNya.
Di kemudian hari, di salah satu surat John Calvin, dia
menuliskan, "Semenjak saya mengetahui bahwa kekhawatirannya terhadap
anak-anaknya akan sangat menghabiskan tenaganya, saya mengambil kesempatan ini,
tiga hari sebelum hari kematiannya untuk mengatakan bahwa saya tidak akan
mengecewakan dia di dalam bertanggungjawab terhadap anak- anaknya." Dia
kemudian membalas saya dengan berkata bahwa, "Saya (Idelette) telah
mempercayakan anak-anak saya ke dalam tangan Tuhan." Ketika saya menjawab
dia bahwa biarpun demikian, saya (John Calvin) tidak akan hanya berpangku
tangan dan tidak melakukan apa-apa. Kemudian dia menjawab, "Saya
mengetahui bahwa kamu tidak akan melalaikan itu semua, walaupun engkau tahu
telah saya serahkan sepenuhnya ke dalam tangan Tuhan."
Pada hari kematiannya, John sangat terkesan dengan
ketenangannya. "Dia tiba-tiba berseru sehingga semua orang bisa melihat
bahwa rohnya telah meninggalkan dunia ini. Inilah seruan terakhirnya,"Ya
kebangkitan yang mulia! Ya Allah Abraham dan Bapa dari kami semua, sungguh
semua orang percaya sepanjang abad yang telah percaya kepada-Mu tidak menaruh
pengharapan kepada hal yang sia-sia. Dan sekarang saya memusatkan pengharapan
hanya kepada-Nya." Kalimat pernyataan yang singkat ini lebih diserukan
secara nyaring daripada hanya sekedar suara bisikan. Ini bukan merupakan suatu
pernyataan yang didiktekan oleh orang lain kepada dia. Pernyataan tersebut
merupakan kata-kata yang keluar dari pemikirannya sendiri."
Satu jam kemudian, Idelette sudah tidak dapat berbicara
dan dia berada dalam keadaan setengah sadar. "Akan tetapi raut wajahnya
masih mencerminkan suatu tanda kesadaran mentalnya", John berusaha untuk
mengingat peristiwa pada saat itu. "saya membisikkan beberapa kata kepada
dia mengenai anugerah Kristus, pengharapan akan kehidupan kekal, pernikahan
kami dan kematiannya yang diambang pintu. Kemudian saya berpindah ke samping
dan berdoa. Tidak lama kemudian, dia secara perlahan-lahan menghembuskan
nafasnya yang terakhir."
John menghadapi masa-masa kesedihan yang sangat mendalam.
Dia menulis kepada temannya, Viret, "Kamu mengetahui bagaimana pekanya
perasaan saya. Jika saya tidak mengontrol diri saya dengan kuat, saya tidak
akan mampu menghadapi masa-masa sulit tersebut sampai saat ini. Kesedihannku
sangat mendalam. Teman hidupku yang terbaik telah "diambil" dari
kehidupanku. Apabila saya menghadapi kesulitan, dia selalu siap untuk
mendengarkannya dan saling berbagi-rasa, bukan hanya dalam pembuangan dan
kemiskinan bahkan sampai pada saat terakhir kepergiannya pun dia masih
mendengarkan saya."
Surat kepada temannya, William Farel, dia menuliskan bahwa
"Saya tidak dapat menjauhi diri saya dari kesedihan yang sangat memukul
ini. Teman-teman yang lain juga berusaha untuk menghibur saya...Sekiranya Tuhan
Yesus... memberikan saya kekuatan di dalam pencobaan yang berat ini." John
Calvin baru berusia 40 tahun pada saat Idelette meninggal dunia, tetapi dia
tidak pernah menikah lagi. Di kemudian hari, dia menceritakan tentang keunikan
Idelette dan dia bermaksud untuk menghabiskan sisa hidupnya di dalam
"kesendirian".
Kehidupan Idelette de bure Calvin merupakan suatu
kehidupan yang dipenuhi dengan kepedihan, tetapi dia tidak pernah merajuk, dia
membawa kebahagiaan dan damai di manapun dia berada. John telah mengetahui
banyak mengenai Allah Bapa itu berdaulat, tetapi melalui kehidupan dan kematian
Idelette, Idelette mengajari dia mengenai Roh Kudus sebagai Penghibur.
Dari
peristiwa tersebut memperlihatkan bahwa Calvin yang memiliki hidup yang saleh,
dan percaya juga pada predestinsi Allah, tidak pernah menghakimi Allah atas
kesulitan hidup yang dialaminya. Sehingga dengan demikian, kehidupan yang saleh
sangat penting agar kita mampu mengehentikan dan membatasi asumsi-asumsi
negatif terhadap Tuhan atas penderitaan yang kita alami. Justru kesalehan yang
diberikan Allah membawa kita untuk memuliakan Allah dalam penderitaan kita.
Kehilangan bisa menimbulkan kependihan di hati dan bisa membawa hati kita marah
kepada Tuhan tetapi dalam kesalehan kita menyadari Allah tidak pernah salah dan
Allah tetap mulia.
Ecclesia Reformata Semper Reformanda,
Secundum Verbum Dei.