Minggu, 28 Februari 2021

IMAN & DELUSI (YOHANES 14: 21)

Bagaimana kita menunjukkan iman?. Ada banyak fenomena dan realita manusia menujukkan apa yang diimaninya, salah satunya dengan mengenakan pakaian agama, menguncapkan istilah-istilah agama, lalu menghadiri pertemuan-pertemuan agama. Ekspresi tersebut tidak salah, nasmun belumlah cukup, karena itu hanya kepada relasi kepada diri sendiri dan Tuhan.  Oleh karena itu apa yang dimani bukan hanya ditujukan kepada diri sendiri tetapi kepada sesama manusia. Pada bagian ini manusia masih banyak yang mengalami kesulitan dan kendala, bahkan gagal menujukkan relasi yang baik dengan sesama sekalipun beragama, oleh karena itu problematika ini sering membawa agama dan iman hanya sebatas delusi. Karena iman tersebut belum mampu menujukkan bukti nyata kepada sesama.

Pada abad kekristenan mula-mula untuk menujukkan apa yang diimani membutuhkan banyak pengorbanan bahkan nyawa, sehingga iman yang sejati terlihat dari kesetiaan dan kesiapaan untuk menghadapi kematian karena iman kepada Yesus Kristus. Sembari berhadapan dengan aniaya namun orang kristen mula-mula juga menujukkan kasih dan pengampunan terhadap yang membencinya. Sebuah kisah pada abad ke 2 pada masa pemerintahan Kaisar Marcus Aurelius (161-170 M) penganiayaan menyebar di beberapa kota di kekaisaran Romawi, salah satu kisah yang dicatat di Perancis (Gaul) tentang kisah Blandina. Ia ditangkap dan disiksa oleh prajurit romawi dan dipaksa untuk menyangkal imannya. Dalam penyiksaan itu ia berkata: "Saya orang Kristen. Kami tidak melakukan sesuatu yang membuat kami perlu merasa malu."  Mendengar perkataan itu Parjurit Romawi semakin geram. Balandina digantung disebuah tiang salib, namun karena masih hidup ia dimasukkan ke arena singa-singa yang kelaparan namun singa-singa tidak menyentuhnya hal itu terjadi sampai dua kali. Namun pada kali yang ketiga dia serang oleh para singa, namun ia belum mati, kemudian tentara membawanya untuk dicambuk, kemudian dimasukkan ke dalam jaring dan diseret banteng liar dan didudukan di sebuah kursi logam yang membara dengan telanjang. Namun ia belum juga mati, lalu seorang prajurit menghunuskan pedangnya untuk membunuh Blandina. Peristiwa tersebut menujukkan bahwa terkadang iman ditunjukkan dengan kesetiaan dan ketaatan meskipun menderita. Tidak selalu iman ditunjukkan dengan aktivitas-aktivitas keagamaan tetapi sikap hidup.
 
Apa itu iman?. Ibrani 11: 1 menyatakan: "iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari sesuatu yang tidak kita lihat." Pada ayat ini ada dua prinsip penting yang perlu kita pahami tentang iman, dalam kaitannya secara umum dan secara khusus tentang keselamatan. Pertama, ungkapan "iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan." Prinsip ini menunjukkan bahwa secara umum manusia memiliki pengharapan. Pengharapan manusia secara umum dapat semakin besar dan dapat semakin kecil hal tersebut bergantung pada dasarnya yaitu iman. Setiap manusia memiliki harapan, harapan semakin besar jika manusia melihat banyak hal positif dan baik yang mendukung untuk mewujudkan harapan. Contoh: Manusia berharap bahwa ia akan menikah, harapan tersebut semakin besar ketika manusia diyakinkan ada seorang pasangan yang menerima dirinya, lalu setelah menikah ada harapan untuk mempunyai seorang anak, harapan tersebut semakin besar ketika diyakinkan dari hasil USG sang istri telah mengandung, kemudian harapan berlanjut agar anaknya sukses dan mandiri, harapan tersebut semakin besar ketika diyakinkan dengan prestasi anak di sekolah yang baik dan terbukannya lowongan pekerjaan bagi sang anak, selanjutnya harapan untuk menikah dan memiliki cucu hadir di dalam diri orang tua, dan harapan tersebut semakin besar tak kala diyakinkan dengan sang anak yang serius untuk mau menikah. Dengan demikian manusia secara umum memiliki sebuah pengharapan dan harapan tersebut semakin besar tak kala ada sesuatu dasar yang meyakinkan akan terwujudnya harapan tersebut.

Harapan yang tidak bisa dilihat dengan mata jasmani dan dipegang dengan tangan, namun hal itu adalah sebuah kenyataan yang hanya dapat dimengerti oleh masing-masing manusia.Namun harapan juga dapat semakin kecil, ketika manusia diperhadapkan dengan banyak hal negatif dan kesulitan. Tidak ada banyak hal yang mendukung dan menyakinkan untuk mencapai harapan tersebut. Sebagai contoh: ketika manusia berharap ingin bisa menikah, namun belum juga mendapatkan orang yang mau menerima dirinya maka harapan untuk menikah menjadi kecil. Apalagi jika ada orang tua yang berharap akan dapat menimang cucu, namun melihat kondisi tidak menyakinkan dan tidak mendukung karena anaknya belum menikah, maka harapan menjadi kecil bahkan bisa terjatuh dalam keputus asaan. Dengan demikian secara umum setiap manusia memiliki pengharapan dan harapan tersebut bisa semakin besar dan kecul berdasarkan dari sesuatu yang mampu meyakinkan dirinya.

Mari kita refleksikan dalam konteks rohani. Manusia memiliki harapan, jika mati maka harapannya masuk surga. Untuk memperbesar harapan tersebut maka manusia melakukan banyak hal untuk memberikan keyakinan bahwa harapan masuk ke surga semakin besar. Manusia berbuat baik, melakukan kegiatan sosial dan banyak menolong sesama, hal-hal demikian dirasakan memberikan dasar keyakinan bahwa ia akan masuk surga. Namun tak kala manusia mendapatkan sebuah panggilan Injil, Roh Kudus memimpin manusia kepada kebenaran dan ketika membaca Alkitab menemukan fakta bahwa "semua manusia berdosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah" (Rom. 3: 23) maka manusia yang pertama telah memiliki harapan yang besar menjadi merenung dan bertanya apakah benar saya akan dapat masuk surga?. Harapan yang besar yang dibangun dengan perbuatan baik, dengan aksi sosial dan suka menolong sesama mulai goyah dan mengcil, keraguan mulai muncul, perbuatan baik tidak mampu memberikan keyakinan apakah bisa ke surga. Lalu ketika kembali membaca Alkitab maka diingatkan bahwa "tidak ada yang benar seorang pun tidak" (Rom. 3: 10). Maka semakin mengecilah harapan manusia yang ingin ke surga, perbuatan baik mulai gagal meyakinka untuk ke surga. Ditambah lagi ketika manusia membaca Alkitab dan menemukan pernyataan: "sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu (Taurat), tetapi mengabaikan satu bagian dari padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya." (Yak. 2: 10). Maka semakin kecil dan habislah harapan manusia untuk kesurga. Manusia mulai mempertanyakan di dalam dirinya apakah saya telah melakukan seluruh hukum Taurat dengan benar dan sempurna?. Maka Roh Kudus yang bekerja akan menyakinkan manusia bahwa betapa berdosanya manusia dan tidak ada kesempatan masuk ke surga dengan perbuatan baik. Maka pada titik ini, perbuatan baik yang dilakukan tidak mampu memberikan harapan yang besar kepada manusia, manusia telah kehilangan harapan dan putus asa karena tidak ada kepastian apakah setelah mati saya masuk surga?. 

Selanjutnya Roh Kudus memimpin manusia untuk terus membaca kebenaran Injil, maka manusia mendapatkan pernyataan Alkitab bahwa hanya karena kasih karunia maka manusia diselamatkan oleh iman, itu bukan hasil perbuatan manusia tetapi pemberian Allah, sehingga manusia tidak bisa memegahkan diri (Ef. 2: 8-9).  Ketika Roh Kudus menuntun manusia semakin memahami kebenaran, maka Injil menuntun manusia kepada Yesus Kristus. Manusia ditunjukkan kepada pribadi dan karya Yesus. Manusia menemukan Yesus yang secara pribadi mampu melaksanakan hukum Taurat dengan sempurna dan Yesus juga yang menggenapi pelaksanaan penghukuman atas manusia yang gagal dan terkutuk di bawah kuasa hukum Taurat. Manusia semakin dibawa untuk menyadari kebutuhannya akan keselamatan, Yesus berkata ketika Ia datang nanti apakah Ia akan menemukan iman di bumi?. Dengan demikian Allah bukan lagi melihat perbuatan baik, tetapi adakah iman manusia yang meyakini bahwa Yesus Kristus adalah Mesias yang telah mati menggantikan manusia yang berdosa. Pada titik ini maka manusia mulai memiliki pengharapan akan keselamatan, keyakinan untuk hidup di surga muncul karena Yesus Kristus yang menjamin, maka iman memperbaharui pengharapan manusia dan meneguhkan pengharapan manusia akan kehiduapn kekal di Sorga. Dengan demikian manusia berada pada titik kehidupan iman yang sejati di dalam keselamatan. 

Kedua, ungkapan selanjutnya yaitu tentang iman adalah bukti segala sesuatu yang tidak kita lihat. Pernahkah kita bertanya, kenapa ada bumi, kenapa ada matahari dan kenapa ada bulan?. Kenapa ada musim, laut, pemandangan alam dan alam semesta yang teratur?. Kenapa bisa demikian?. Pertanyaan tersebut akhirnya mampu dijawab dan membuat hati manusia tenang ketika manusia meyakini bahwa karena 'Tuhanlah maka semua tercipta dan terpelihara.' Namun coba manusia mentiadakan Tuhan untuk menjawab pertanyaan tersebut?. Maka manusia pasti akan memiliki rasa bingung dan ketidakmampuan untuk bisa memberikan penjelasan detail tentang hal tersebut, karena manusia perlu membangun teori-teori dan teori-teori tersebut perlu mendapatkan sebuah pengakuan. Namun sehebat apapun teori belum mampu untuk memuaskan adanya keyakinan iman bahwa Tuhanlah yang beperan utama dalam penciptaan dan pengaturan alam semesta. Meksipun di masa yang akan datang Tuhan akan membukakan hikmat kepada manusia lebih dalam dan banyak untuk mengetahui misteri alam semesta, namun pada masa kini keyakinan iman tetaplah memiliki peranan penting untuk menjawab sesuatu yang tidak mampu manusia lihat kembali, yaitu masa lalu dan masa yang akan datang.

Dalam kaitan dengan iman dan keselamatan, manusia tidak pernah melihat Yesus, tidak pernah melihat surga atau neraka. Namun di dalam diri manusia memiliki sebuah keyakinan bahwa Yesus telah memulihkan kehidupannya, keyakinan akan kelahiran baru, keyakinan akan iman, keyakinan akan pertobatan dan keyakinan akan menjalani hidup yang baru, bahkan manusia merasa telah melihat surga sekalipun tidak benar-benar melihat secara mata jasamni, namun iman yang sejati menjadikan nyata apa yang manusia belum bisa lihat. Manusia juga memiliki keyakinan bahwa Alkitan adalah firman Allah dan mempercayai isi Alkitab sebagai kebenaran darimanakah sumber keyakinan ini?. Siapakah yang memberikannya?. Maka inilah iman Kristen yang sejati, ia bukan sekedar keyakinan yang bersandar pada perasaan dan pikiran tetapi berdasar pada Alkitab.

Dalam Yohanes 14: 21 Yesus berkata barasiapa "memegang perintah-Ku" ungkapan tersebut merupakan sebuah kata kerja yang memiliki makna "memiliki dan mengingat perint Yesus". Artinya manusia mampu mengingat perintah-perintah Allah. Dalam sebuah situs website mencatat ada 7 orang yang mampu menghapal ayat-ayat Alkitab dengan sangat banyak:

1. Charles matlock, seorang penginjil tradisional Amerika yang dikenal sebagai "Alkitab berjalan dari Tennessee Bart" menghafalkan hampir seluruh bagian Alkitab. Charles Matlock mulai menghafalkan sejak usia 12 tahun. Ia mengembangkan kemampuannya dari menghafalkan tugas sekolah kepada menghafal Alkitab.

2. Dr. William Evans menulis buku berjudul How to Memorize the Bible pada tahun 1919. Ia dapat menghafalkan seluruh Alkitab versi King James Version dan seluruh bagian Perjanjian Baru dalam Versi American Standard Version. 

3. Van Impe, menghapal 14.000 ayat (hampir setengah Alkitab) setelah 35.000 jam menghafalkannya. Ia menerapkan metode dengan kartu dan menhapal ayat sesuai dengan topik doktrin.

4. Jon Goetch, wakil presiden eksekutif di West Coast Baptist College menghafal lebih dari 14.000 ayat. Ia menghapal sambil berolahraga dan jalan kaki.

5. Nadine Hammonds seorang tunanetra yang berhasil menghafal puluhan Kitan dalam Alkitab.

6. Herdian Putranto, seorang mahasiswa Unair yang menghafal Alkitab sejak SMP.

Dalam kehidupan manusia ada beberapa tahapan penting ketika mempelajari tentang hukum Taurat, yaitu: membaca, menulis, menghafal, mengajar dan melakukan. Pada tahap membaca, menulis dan menghafal ada banyak manusia bisa melakukannya dengan sangat baik. Namun pada tahap mengajar dan melakukan maka semua manusia gagal melakukannya. Hal tersebut terlihat ketika Yesus Kristus menegur para murid agar waspada terhadap ragi orang farisi dan saduki yaitu ajarannya (Mat. 16: 5-12) dan teguran Yesus kepada orang-orang Farisi yang munafik (Mat. 23).  Oleh karena itu iman yang sejati adalah iman yang bukan hanya mengaku percaya Yesus namun iman yang juga melakukan apa yang Yesus perintahkan. 

Dalam Yohanes 14 merupakan konteks ketika para murid melakukan perjamuan makan bersama, dalam bagian Injil Lukas 22: 24-27 terjadi diskusi tentang siapakan yang terbesar di antara para Murid. Para murid terjebak dalam sebuah delusi, mereka berpikir bahwa mengikut Yesus akan menjadi yang terbesar dan memiliki kedudukan penting serta dilayani, delusi para Murid adalah megalomania (merasa diri besar). Para murid bersama Yesus namun ingin merasa diri lebih besar dari yang lain, akhirnya Yesus menyelesaikan delusi para murid dengan menyatakan bahwa siapa yang terbesar adalah yang melayani. Tindakan Yesus yang membasuh kaki para murid dalam Yohanes 13 menunjukkan sikap hamba kepada para murid. Dengan demikian, Yesus mengingatkan para murid agar tidak terjebak dalam sebuah delusi, yaitu megalomania. Yesus ingin para murid menjadi seorang pelayan dalam memberitakan Injil. Bahkan dalam mengasihi sesama.

Problematika delusi megalomania pada masa kini tidak hilang dalam gereja, kegagalan dalam melakukan perintah Yesus ialah ketika orang Krsiten mulai merasa diri lebih besar dari yang lain. Ketika manusia merasa lebih besar dari yang lain bahkan memiliki konsep penilaian bahwa sesamanya manusia lebih rendah, maka manusia ingin memposisikan diri sama dengan Tuhan. Iman yang sejati ditunjukkan dengan sikap saling mengasihi, bahkan Yesus memberikan perintah untuk "memikul salib." Ungkapan memikul salib pada konteks Yesus dipahamai sebagai hukuman mati, dengan demikian Yesus memberikan pengajaran jika ingin mengikut Yesus maka kita harus mengalami kematian, yaitu kita siap sedia dimatikan kehidupan lama kita dan kembali dihidupkan dengan kehidupan yang baru. Sebab hidup yang kita hidupi bukan kita lagi melainkan Kristus yang hidup di dalam kita. Istilah perintah menunjuk juga kepada hukum Taurat dan teladan Yesus Kristus. Ada konsep yang diperbaharui ketika Yesus Kristus telah hadir di dunia. Para murid yang awalnya sibuk menghafal hukum-hukum Taurat namun ketika mengikuti Yesus mereka melihat kesempurnaan Yesus dalam melakukan hukum Taurat dan mereka hanya tinggal mengikuti teladan dari Yesus Kristus. Sama seperti kita, siapa yang sanggup selalu membaca hukum Taurat dan menghafal, setelah itu melakukan?. Maka ini adalah sebuah kesulitan, namun jika kita membaca kisah Yesus maka kita mengerti teladan apa yang harus kita ikuti dari Kristus yaitu kasihnya kepada Bapa di Sorga dan sesama manusia. Dengan demikian iman yang kita hidup bukan sekedar delusi yaitu iman yang tanpa dasar, tetapi iman yang memiliki dasar dan fokus yaitu Yesus Kristus. (MNS). (Bahan Khotbah di GKY Bengkulu, 28/02/2021)