Minggu, 31 Mei 2020

MANDAT BUDAYA DAN MANDAT MISI DALAM KONTEKS PANDEMIK COVID-19

 Oleh: Made Nopen Supriadi
Dalam tulisan ini akan memberikan kajian singkat mengenai implementasi mandat budaya dan mandat misi dalam konteks covid-19. Dalam pembahasan ini secara singkat akan menjelaskan tentang pengertian dari mandat budaya dan mandat misi, pengaruh dosa dalam realisasi mandat budaya dan mandat misi, implementasi Yesus terhadap mandat budaya dan mandat misi, penerapan mandat budaya dan mandat misi pra-covid-19, penerapan mandat budaya pada masa covid-19 dan pada era "new normal."

A. Pengertian Mandat Budaya dan Mandat Misi

1. Analisa Kata
Sebelum membahas lebih pengertian mandat budaya dan mandat misi, maka ada tiga kata penting yang perlu kita mengerti yaitu, kata 'mandat,' 'budaya' dan 'misi'. Kata mandat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan kata benda yang memiliki arti perintah, arahan (instruksi) dan perwakilan. Kata 'budaya' memiliki arti sebagai akal budi, pikiran, adat istiadat, peradaban dan kebiasaan. Kata 'misi' menunjuk kepada pengutusan, dalam konteks iman Kristen kata misi juga menunjuk kepada pengutusan orang percaya atau gereja untuk menjadi saksi bagi 'dunia'. Dengan demikian secara sederhana mandat budaya dan mandat misi dapat diartikan sebagai. Perintah yang diberikan oleh sang pemberi perintah dalam konteks ini Allah Tritunggal (Lih. Kej. 1:26-28 dan Mat. 28:18-20) kepada manusia yang diciptakan untuk mengembangkan dan membangun peradaban dan juga menjadi saksi di dalam peradaban yang dibangun tentang 'kebenaran'.

2. Pengertian Mandat Budaya Dalam Alkitab
Membangun pengertian mandat budaya dan mandat misi sangat penting juga membangun pengertian tersebut berdasarkan dari prinsip Alkitab. Di dalam Alkitab prinsip mandat budaya dituliskan di dalam Kejadian 1: 28, setelah Allah memberkati manusia Allah memerintahkan mereka untuk 'penuhilah bumi,' 'taklukanlah' dan 'berkuasalah'. Daniel P. Martono menjelaskan istilah 'penuhilah bumi' menunjukkan bahwa manusia membangun kehidupan sosial. Dan istilah 'taklukanlah dan berkuasalah' menunjukkan manusia memanfaatkan isi alam. Dalam perkembangan kehidupan manusia ada yang menyalahgunakan ayat ini untuk melakukan 'eksploitasi alam' sehingga merusak tatanan ekosistem. Oleh karena itu memahami mandat budaya dalam arti memanfaatkan isi alam harus memperhatikan Kejadian 2:15 yaitu Allah menempatkan manusia di taman Eden untuk 'mengusahakan' dan 'memelihara'. Dengan demikian manusia diberikan mandat oleh Allah untuk mengembangkan kehidupan sosial, mengembangkan peradaban, ilmu pengetahuan dan sebaginya dengan memanfaatkan alam yang telah diciptakan Allah dan diberikan kepada manusia untuk dikelola. Dalam kajian Yakub Tri Handoko dalam tulisannya tentang 'Mandat Budaya (Kejadian 1:28)' menjelaskan: 

Hal pertama yang perlu kita pahamai adalah bahwa pemberian mandat budaya kepada manusia di Kejadian 1:28 tidak berarti pengalihan kepemilikan atas alam semesta dari Allah kepada manusia. Seluruh bumi tetap menjadi milik Allah (Maz. 24: 1), juga binatang-binatang liar di padang dan di gunung (Maz. 50:10-12). Ulangan 22:6 mengajarkan perlunya manusia melestarikan kehidupan binatang. Apa yang dilakukan seseorang terhadap binatang bahkan akan mempengaruhi keadaa orang itu (Ul. 22:7). salah satu tujuan di adakannya hari sabat adalah supaya binatang dan para budak bisa beristirahat (Kel. 23:12). Allah bahkan mengatur penggunaan lahan untuk bertani/berladang, yaitu suatu ladang boleh dipakai secara terus-menerus selama 6 tahun, sesudah itu tanah itu harus dibiarkan begitu saja pada tahun ketujuh (Ul. 25:3-4). Ayub bahkan sadar bahwa ladang akan mendakwa dia apabila ia telah menyalahgunakannya (Ay. 31: 38-40). (Handoko, 2017)
Dengan demikian penguasaan yang dilakukan adalah penguasaan yang dalam arah memiliki sikap tanggung jawab untuk tetap memelihara kehidupan dan stabilitas ekosistem. Mandat budaya adalah perintah yang diberikan Allah untuk manusia mengembangkan peradaban. Sehingga jika saat ini banyak peradaban yang telah berkembang maka semua itu tidak terlepas dari realisasi mandat budaya. Manusia semakin dibukakan hikmat oleh Allah untuk dapat mengelola isi alam semesta bagi kemajuan berbagai bidang kehidupan, baik itu politik, ekonomi, sains, arsitektur dan lain sebaginya. Jadi mandat budaya adalah mandat dari Allah Tritunggal kepada manusia untuk mengembangkan kehidupan melalui pengelolaan isi alam yang diberikan oleh manusia dengan penuh tanggung jawab.

3. Pengetian Mandat Misi Dalam Alkitab
Alkitab memberikan prinsip di mana Allah menghendaki agar manusia memberitakan pribadi dan karya Allah. Perintah tersebut telah dinyatakan dalam rancangan kekekalan Allah. Efesus 1:3-10 menunjukkan bahwa dalam pemilihan Allah sebelum dunia dijadikan di dalam Kristus manusia ditetapkan dalam kekudusan dan tak becacat di hadapan-Nya (bdg. Rom. 8:29-30). Rancangan tersebut telah ada dalam kekekalan, namun secara manusia realisasinya terjadi berdasarkan kehidupan manusia yang telah dipilih Allah di dalam Kristus akan menyaksikan pribadi dan karya-Nya. Dalam konteks kehidupan manusia perwujudan dari pemilihan Allah, membawa manusia dalam kehidupannya memberitakan tentang kebenaran Allah. Hal tersebut telah direalisasikan dalam penciptaan manusia yang pertama.
Di Taman Eden selain melaksanakan mandat budaya juga telah merealisasikan mandat misi yaitu menyatakan kebenaran dan memuliakan Allah di dalam setiap tanggung jawab. Perintah Allah untuk tidak memakan buah yang dilarang menunjukkan manusia memiliki tanggung jawab untuk merealisasikan kebenaran Allah. Mandat misi ialah membicarakan bagaimana manusia menjadi saksi bagi dunia. Yesus Kristus memberikan mandat misi dengan sangat jelas hal tersebut dapat kita baca di dalam Matius 28:18-20; Markus 16:15-16; Lukas 24:45-48.  Perintah tersebut sungguh sangat jelas menunjukkan bahwa di dalam Kristus manusia memiliki satu mandat penting yaitu mandat misi. Manusia di dalam Kristus diutus untuk memberitakan pribadi dan karya Allah. Manusia memiliki tanggung jawab untuk menyaksikan kebenaran Allah ditengah 'dunia'. Dengan demikian ada kaitan antara mandat budaya dan mandat misi. Budaya yang dibangun hendaknya terarah untuk memuliakan Allah dan misi yang dibangun hendaknya mentransformasi budaya.     

B. Pengaruh Dosa Dalam Realisasi Mandat Budaya Dan Mandat Misi
Secara prinsip mandat budaya dan mandat misi telah diberikan sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Kata 'budaya' dalam bahasa latin yaitu 'cultura' yang diterjemahkan menjadi 'kultur atau budaya'. Kata 'cultura' ini berasal dari kata dasar 'cult' yang memiliki arti 'ibadah atau penyembahan.' Martono menuliskan bahwa kata 'mengusahakan' dalam Kejadian 2:15 memiliki arti 'membajak atau mengolah tanah.' Ia melanjutkan bahwa kata tersebut dalam bahasa latin dituliskan dengan kata 'cultura'. Dengan demikian maka prinsip bekerja mengelola isi alam dan beribadah telah diberikan Tuhan secara bersamaan kepada manusia di Taman Eden. Secara prinsip menjelaskan bahwa pada waktu manusia bekerja maka ia tidak melepaskan hidupnya kepada Tuhan. Manusia melekat kepada Tuhan dalam mengerjakan tanggung jawabnya dan tanggung jawabnya dilakukan karena Tuhan. Jadi sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, manusia telah meberapkan prinsip ideal dalam mandat budaya dan mandat misi.
Kejadian pasal 3 memberikan gambaran bagaimana manusia jatuh ke dalam dosa. Kejatuhan manusia ke dalam dosa memberikan dampak kepada pelaksanaan mandat budaya dan mandat misi. Untuk membahas ini perlu dibagi menjadi dua.
1. Pengaruh Dosa dalam Mandat Budaya
Mandat budaya adalah mandat yang diberikan Allah kepada manusia untuk membangun kehidupan dan peradaban. Allah mengijinkan manusia menguasai dan mengelola serta memelihara alam semesta untuk mengembangkan kehidupan. Namun setelah manusia jatuh ke dalam dosa. Prinsip untuk melaksanakan mandat budaya tetap ada, namun hal tersebut menjadi lebih berat (Bdg. Kej. 3:17-19). Meskipun kondisi melakukan mandat budaya namun peradaban manusia terus berkembang. Pada masa Kain dan Habel sistem pertanian dan peternakan telah berkembang. Lalu pada Kejadian 4:17-26 menunjukkan bahwa keturunan Kain tetap melaksanakan mandat budaya sehingga pada masa itu, kehidupan sosial, seni dan pertukangan semakin menunjukkan kemajuan. Namun yang menjadi masalah ialah perkembangan peradaban tersebut tidak turut disertai sikap tunduk kepada Tuhan. Manusia mulai menunjukkan egoismenya dalam setiap karya yang dibuat. Kejadian 6 menunjukkan bagaimana akhirnya Allah memutuskan untuk memberikan air bah karena peradaban manusia berkembang ke arah yang rusak secara moral dan spiritual. Setelah peristiwa air bah pada Kejadian 11 manusia kembali menunjukkan sikapnya dalam mengembangkan peradaban dengan merencanakan pembangunan sebuah menara yang tinggi, namun karena dosa yang merusak manusia membuat arah dan tujuan pembangunan menara tersebut untuk menentang Allah dan menunjukkan superioritas manusia semata. Hal tersebut menunjukkan bahwa mandat budaya terus berlanjut namun dosa juga ikut meruskkan sesnsi pelaksanaan mandat budaya. Pada Masa kini hal tersebut juga tetap terjadi banyak penemuan sains, perkembangan ekonomi, politik, arsitektur dan seni justru semakin membawa manusia kepada sikap yang menentang Tuhan. Dosa membawa manusia dengan hasil karyanya untuk menyombongkan diri kepada sesama manusia dan juga kepada Tuhan. Sehingga tidak heran jika masa kini kita dapat melihat ada ilmuwan, sastrawan, ekonom, politikus, public figure yang menunjukkan sikap menentang Allah.  
2. Pengaruh Dosa dalam Mandat Misi
Kejatuhan manusia ke dalam dosa membawa manusia gagal untuk menjadi utusan yang memberitakan pribadi dan karya Allah. Kisah Kain yang membunuh Habel menunjukkan bahwa akibat dosa bukan hanya menyebabkan manusia bisa mati secara fisik, tetapi manusia memiliki keberanian untuk mematikan sesama manusia. Hal tersebut terus berlanjut pada keturunan Kain. Dampak kejatuhan manusia ke dalam dosa menghadirkan banyak konflik-konflik dalam kehidupan manusia. Konflik tersebut telah merusak tatanan kehidupan relasional manusia secara sosial. Hingga saat ini dosa terus membawa manusia dalam kondisi yang rusak. Hal tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan mandat bagi manusia untuk menjadi utusan Allah menjadi rusak. Manusia yang seharusnya hidupnya dipakai untuk menggarami dan menerangi dunia justru jatuh pada kondisi hidup yang rusak. Meskipun manusia telah mengalami kerusakan total (total depravity), Allah tetap memberikan manusia pilihan-Nya untuk memberitakan kebenaran. Allah mengutus para Nabi dan Rasul untuk memberitakan tentang penghukuman Allah atas dosa dan penyelamatan Allah bagi manusia. Dengan demikian mandat misi tetap terlaksana di tengah manusia yang berdosa, namun pelaksanaan itu tidak melibatkan seluruh manusia, hanya manusia yang dipilih, dintentukan dan dipanggil Allah.   
3. Rangkuman
Dari pembahasan di atas menunjukkan bahwa kerusakan dosa telah merusak natur manusia dan berdampak pada kehidupan manusia. Kerusakan akibat dosa memberikan pengaruh baik dalam realisasi mandat budaya dan mandat misi. Manusia gagal untuk berfokus untuk mempermuliakan Allah baik dalam mengembangkan peradaban dan gagal untuk bersaksi menjadi garam dan terang bagi dunia yang berdosa.

C. Implementasi Yesus Terhadap Mandat Budaya & Mandat Misi
Yesus Kristus adalah penggenap Hukum Taurat. Sebagai Penggenap maka Yesus Kristus harus memenuhi standar telah mampu untuk melakukan Hukum Taurat dan menggenapi hukuman kegagalan melakukan Hukum Taurat yang dilakukan oleh manusia yang dipilih dalam keselamatan. Pada bagian ini akan memberikan sebuah refleksi bagaimana Yesus merealisasikan mandat budaya dan mandat misi. Yesus ketika Ia berinkarnasi maka Ia hidup dalam tradisi dan budaya yang telah ada. Namun Yesus sekalipun berada dalam sebuah budaya, Yesus justru tetap melakukan mandat budaya. Hal tersebut ditunjukkan dengan Yesus melakukan transformasi budaya, Yesus menegur kebiasaan yang berdosa yaitu penipuan, penyalahgunaan tempat ibadah, kemunafikan, kekerasan dan ketidakadilan. Banyak hal yang diperbaharui Yesus menjurus kepada prinsip pelaksanaan pola kehdiupan pada masa itu. Yesus tidak melarang membayar pajak kepada Kaisar jika itu memang telah ditetapkan oleh penguasa, namun Yesus melarang para pemungut pajak melakukan pungutan lebih dari apa yang telah ditetapkan. Yesus tidak melarang untuk memberi kepada Allah, namun Yesus melarang jika memberi kepada Allah dijadikan sebagai Alasan untuk mengabaikan pemeliharaan orang tua. Yesus tidak melarang pelaksanaan penghukuman, tetapi Yesus melarang jika pelaksanaan penghukuman tanpa pengadilan yang benar. Yesus tidak melarang para tokoh agama mengajar agama, tetapi Yesus melarang jika mengajar agama dalam hidup yang munafik. Dengan demikian Yesus tetap mengijinkan berkembangnya budaya saat itu namun Yesus lebih memfokuskan bagaimana perkembangan kebudayaan memiliki nilai-nilai Teologis yang benar. Hal tersebut menunjukkan bahwa Yesus dalam tindakan pribadi dan karya-Nya melakukan mandat budaya dan mandat misi bersama. Yesus dalam kebudayaan yang ada tetap memberitakan Kerajaan Allah, yang didalamnya berisi berita pertobatan dan penggenapan janji Mesias di dalam Diri-Nya. Sampai akhir hidupnya Yesus tidak menolak budaya atau tradisi yang menjadikan sarana penghukuman-Nya di kayu Salib, namun Yesus melalui budaya penghukuman Salib justru merealisasikan Misi-Nya. Dengan demikian dari kehdiupan Yesus kita dapat melihat bagaimana budaya dan tradisi sebisa mungkin dikaji dan ditemukan titik tarnsformasinya untuk membawa manusia memahami karya keselamatan. Di dalam Yesus kita dapat belajar sebuah intergrasi antara mandat budaya dan mandat misi.
Setelah karya penebusan Yesus Kristus, maka relasa manusia dan Allah dipulihkan. Pada waktu Yesus naik ke Sorga, maka Roh Kudus dijanjikan kepada para Rasul. Roh Kudus bekerja melahirbarukan manusia yang diselamatkan dan kondisi demikian membawa manusia memiliki kesadaran penuh akan tujuan dan sikap hidup, yaitu memuliakan Allah (Roma 11:36). Pembaharuan yang Roh Kudus kerjakan itulah yang memampukan orang yang percaya kepada Yesus untuk melaksanakan mandat budaya dan mandat misi (Bdg. Ef. 2:1-10). Roh Kudus yang memimpin orang percaya ke dalam kebenaran akan menolong orang percaya menerapkan kebenaran dalam kehdiupannya. Sehingga pada kondisi ini orang percaya akan mampu menjadi garam dan terang.

D. Penerapan Mandat Budaya & Mandat Misi Pada Masa pra-covid-19, covid-19 & "New Normal."
Pada masa pra-covid-19 pelaksanaan mandat budaya dan mandat misi bersifat normal. Manusia menjalin sosialisasi dan banyak yang selalu bersama dalam melakukan pengelolaan alam semesta. Manusia melakukan pengembangan peradaban dan ilmu pengetahuan dengan cara kebersamaan baik bersama dalam tempat maupun bersama juga dalam komunikasi. Namun fakta memperlihatkan sebelum pandemik covid-19 terjadi kebersamaan manusia dalam mengelola alam semesta menjadi hal yang membahayakan banyak ekosistem. Sehingga pelaksanaan mandat budaya banyak memperlihatkan degradasi lingkungan hidup. Dalam tindakan misi manusia telah terbiasa dengan pelaksanaan misi yang langsung hadir ke tengah-tengah masyarakat. Namun kita bisa melihat pada waktu pandemik covid-19 maka banyak kegiatan yang berhubungan dengan interaksi sosial menjadi dibatasi. Protokol kesehatan menganjurkan agar manusia melakukan social distancing, physical distancing, stay at home menjaga kesehatan diri dengan memakai masker, rajin mencuci tangan dengan sabun dan melakukan work from home (WFH). Kondisi demikian mempersulit gerakan manusia dalam melaksanakan pengelolaan alam dan sosialisasi. Pelaksanaan misi yang harusnya bersosialisasi kini tidak dapat dilakukan. Namun apakah hal tersebut mentiadakan pelaksanaan mandat budaya dan mandat misi. Sebelum masa pandemik covid-19 pelaksanaan mandat budaya telah terjadi dan banyak hal kerugian yang terjadi di alam semesta. Pelaksanaan mandat misi juga sudah banyak berkembang melalui media elektronik dan online. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam mandat budaya memang harus ada yang dibenahi, namun dalam mandat misi telah mampu mengantisipasi kondisi covid-19. Namun persoalan timbul, pada masa pandemik covid-19 ketika manusia semakin banyak memanfaatkan teknologi dan media sosial. Justru ada beberapa orang yang menggunakan media sosial untuk menyatakan ajaran yang salah dan tidak Alkitbiah. Kondisi ini semakin mendorong para pemberita Injil untuk mengambil bagian dalam melakukan apolohetika. Lalu dalam konteks mandat budaya, maka pada masa covid-19 menjadi sebuah waktu untuk melakukan refleksi terhadap sikap dalam mengelola dan menguasai alam semesta serta sikap dalam membangun moral peradaban. Beberapa waktu ini telah banyak berita yang menyiarkan akan adanya masa memasuki situasi hidup yang disebut dengan 'new normal.' Kondisi ini juga diharpkan dapat membawa sebuah pemikiran yang baru bagi manusia secara khusus orang percaya dalam mengelola alam semesta dan membangun peradaban yang juga melaksanakan mandat misi. Konsep hidup dalam 'New Normal' juga harus kita pahami sebagai hasil dari pemikiran mandat budaya, yaitu pengembangan pradaban hidup manusia. Namun di dalam kondisi hidup normal baru kita jangan sampai gagal menjadi saksi. Jangan sampai kita menjadi orang Kristen yang hanya mau menggengam dunia dan isinya tapi tidak mau memuliakan Allah Tritunggal.

E. Penutup
Mandat Budaya dan Mandat Misi adalah mandat Allah Tritunggal kepada manusia. Mandat tersebut akan efektif terealisasi secara khusus dalam kehdiupan manusia yang dipilih ke dalam keselamatan. Karena kesadaran dan tanggung jawab mengelola alam semesta tidak terlepas dari kesadaran secara spiritual yang telah diperbaharui oleh Roh Kudus. Pada masa kini pelaksanaan mandat budaya dan mandat misi tidak terhenti tetapi menyesuaikan dengan situasi yang terjadi pada masa pandemik covid-19. Oleh karena itu setiap orang percaya juga diajak semakin berpikir kreatif bagaimana tetap membangun peradaban dan kehidupan semakin baik dan juga membawa orang kepada Kristus di masa kini. Soli Deo Gloria.






















Jumat, 15 Mei 2020

Tinjauan Teologis Tentang Persahabatan Dan Implementasinya Pada Masa Kini


Oleh: Made Nopen Supriadi
Dalam refleksi singkat ini akan membahas mengenai persahabatan yang ditinjau dari perspektif teologis. Dalam refleksi ini akan menuliskan tentang latar belakang dan problematika dalam relasi sesama manusia, selanjutnya menuliskan tentang pandangan Alkitab tentang persahabatan yang ditinjau dari fakta-fakta Alkitab tentang persahabatan, kemudian dilanjutkan dengan implementasi dari persahabatan pada masa kini dan terakhir ialah kesimpulan dari refleksi ini.

Latar Belakang
        Sahabat secara sederhana adalah seseorang yang menjalin sebuah relasi dengan sesama dan terlibat sebuah interaksi. Alkitab memberikan gambaran bahwa kasih semakin dingin, dinginnya kasih di antara manusia membawa manusia menjadi "serigala bagi sesamanya (Homo Homini Lupus)". Kondisi demikian menghadirkan suasana kehidupan manusia yang tidak lagi bersahabat dengan semua manusia. Persahabatan terjalin hanya dibatasi oleh kepentingan, kedekatan (SARA) dan kesetaraan status sosial. 
         Pada tahun 2019, salah satu aras Gereja yaitu PGI mengangkat sebuah tema natal "Menjadi Sahabat Bagi Semua Orang (Bdk. Yoh. 15:14-15)". Tema tersebut memiliki bobot nilai teologis dan etis serta moral yang begitu dalam dan berat. Karena sudah sangat sulit menemukan situasi persahabatan yang terjalin bagi semua orang. Bahkan dalam sejarah dunia belum pernah terjadi ada satu person yang menjalin persahabatan bagi "semua orang". Namun dalam sejarah dunia memberikan bukti bahwa banyak orang yang ingin membangun persahabatan dengan "semua orang" namun keterbatasan kondisi geografis membatasi pergerakan dalam menjalin persahabatan kepada semua orang. 
            Pada masa kini manusia telah memasuki perkembangan zaman yang begitu pesat. Kemajuan teknologi informasi-komunikasi telah mengatasi masalah jarak dan geografis dalam berkomunikasi terhadap sesama manusia. Hal tersebut terbukti dari hadirnya banyak aplikasi media sosial yang memberikan layanan untuk membangun persahabatan dengan siapa saja yang menggunakan aplikasi tersebut. Namun, benarkah persahabatan telah tercipta kepada semua orang dengan kemajuan teknologi ini?. Banyak fakta memperlihatkan bahwa terjadi degradasi sosial karena media sosial: pertama, manusia banyak berkomunikasi dengan sahabat di dunia maya, namun mengabaikan sahabat di dunia nyata. Kedua, manusia justru mudah dipecah belah karena berita-berita Hoaks yang disebarkan di media sosial. Dengan demikian impian terwujudnya persahabatan bagi semua orang melalui kemajuan teknologi zaman gagal terwujud.
          Lalu bagaimana mewujudkan persahabatan bagi semua orang?. Apakah hal tersebut adalah hal yang mustahil?. Adakah harapan tersebut ditemukan di dalam iman Kristen?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka akan dilakukan kajian secara teologis terhadap prinsip persahabatan menurut Perspektif Reform Teology.

Sahabat menurut Injil Yohanes 15:14-15
     Dalam Injil Yohanes menuliskan bahwa Yesus menyebutkan bahwa para murid-Nya juga adalah sahabat-Nya. Pada Ayat 14, menunjukkan bahwa Yesus memberikan sebuah kriteria seseorang yang disebut sebagai sahabat yaitu: "...berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu." perlu dipahami bahwa dalam Theologia Reform tidak ada jasa manusia dapat layak menjadi sahabat Allah jika bukan kasih karunia. Sehingga ayat tersebut menunjukkan bahwa bukan karena jasa para Murid akhirnya mereka diterima menjadi sahabt Kristus tetapi karena Kristus yang bersahabat kepada mereka sehingga mereka menjadi sahabat (Bdg. Yoh. 15:16). Namun setelah Yesus menjadikan mereka sahabat, Yesus juga mengingatkan dalam relasi persahabatan yang diberikan oleh Yesus Kristus, para murid menunjukkan kasihnya kepada Kristus. Hal demikian menunjukkan bahwa dalam persahabatan kepada Kristus, kasih baru dapat terwujud setelah Kristus mengasihi. Lalu bagaimana dengan Yudas Iskariot?. Dalam pasal sebelumnya yaitu Yohanes 13:27 menunjukkan Yudas tidak bersahabat dengan Yesus. Sehingga pada konteks pasal 15 menunjukkan Yesus berbicara kepada para Murid yang memang dipilih sebagai sahabat kecuali Yudas. Hal tersebut menunjukkan Yudas tidak mampu menunjukkan kasih kepada Yesus karena Yudas memang tidak bersahabat kepada Yesus. Yudas menjual Yesus karena di dalam hidupnya sejatinya ia adalah musuh Yesus. Meskipu  secara formal ia mengikuti Yesus dalam beberapa waktu. 
        Bagian ini membawa kita merenungkan status persahabatan kita kepada Yesus. Secara formalitas ada banyak manusia memiliki status sebagai orang Kristen. Namun perlu kembali diselidiki apakah benar karena kasih Kristus yang memanggil untuk menjadi Kristen. Persahabatan yang kamuflase bisa saja terjadi di dalam kehidupan orang Kristen. Simbol-simbol agama dan aktifitas rutin keagamaan bisa menutupi ketidaksejatian persahabatan dengan Kristus. Oleh karena itu Tuhan Yesus menegaskan bahwa karena Ia lebih dahulu mengasihi maka orang yang percaya dapat mengasihi. KeKristenan yang palsu akan menunjukkan penolakan terhadap Kristus baik terhadap pribadi dan karya-Nya. Sehingga ketika ada orang Kristen menolak kebenaran Kritus maka sejatinya ia ada dalam posisi musuh Kristus (extra tou Christou). Dengan demikian tindakan seorang Kristen yang melakukan perintah Yesus semata-mata karena refleksi kasih Yesus yang ada di dalam hidup-Nya.
        Pada ayat 15. Tuhan Yesus menyatakan bahwa 'Aku tidak menyebut kamu lagi hamba'. Apakah artinya ketika percaya Yesus kita tidak menjadi hamba Kristus?. Atau ungkapan hamba Tuhan menjadi tidak relevan?. Oleh karena itu perlu dipahami maksud Yesus mengucapkan perkataan tersebut. Seorang Theolog bernama William Hendriksen menjelaskan bahwa: "Clearly implied in these words of Jesus is the thought that he is not satisfied with merely servile obedience. His Friends are motivated by friendship when they do his bidding. Oberdience is an expression of their love." Jadi Yesus sedang menekankan segi ketaatan. Ia menginginkan agar para Murid menunjukkan ketaatan jangan sebatas hamba tetapi ketaatan yang memiliki kedekatan sebagai sahabat. Namun perlu diperhatikan bahwa konteks perkataan Yesus adalah bersama dengan para Murid yang pada waktu itu benar-benar memiliki relasi sangat dekat (bdg. ay. 20). Dengan demikian status sebagai hamba tetap dimiliki oleh orang yang melayani Kristus. Namun dalam kehambaan tersebut hendaknya orang percaya juga menyadari bahwa dalam kehambaan itu juga tidak memudarkan nilai persahabatan. Sehingga melayani Kristus sebagai hamba-Nya dengan spirit kasih Yesus yang memberikan kedekatan secara spiirtual. 
         Pada masa kini para orang percaya yang melayani Kristus bisa memiliki sikap mengerjakan pelayanan karena ia adalah hamba. Namun seringkali karena kehambaan-Nya justru menengelamkan kesadaran bahwa Yesus mengasihi-Nya. Sehingga kedekata spiritualitas bersama Yesus menjadi tergeser karena status hamba yang harus melakukan segala hal. Ingat Yesus memang menginginkan kita melakukan perintah-Nya karena itu kita menjadi hamba-Nya, namun Yesus tidak menginginkan juga saat kita melakukan perintah-Nya sebagai hamba tidak memiliki kedekatan secara spiritualitas. Gambaran ini menunjukkan pelayan Kristen yang mengalami kekeringan rohani. Degradasi spiritualitas seringkalai terjadi karena sibuknya kita melakukan tugas sebagai hamba sehingga rasa malas untuk dekat kepada Sang Tuan terjadi. Maka jika demikian pelayanan seorang Kristen hanya karena ketakutan terhadap hukum dan perintah Tuan. Harusnya Pelayanan dilakukan dengan penuh kasih, sehingga seorang Kristen yang melayani, sekalipun banyak mengerjakan tanggung jawab sebagai hamba, namun tetap memiliki kedekatan secara Rohani dengan Sang Tuan yaitu Yesus Kristus.
        Pada kalimat Yesus yang terakhir menegaskan bahwa Yesus menjadikan mereka sahabat karena mereka telah diberitahu apa yang Yesus terima dari Bapa-Nya. Menjadi sahabat Kristus adalah siap menerima apa yang menjadi firman-Nya. Kedekatan bersama Yesus terjadi bukan hanya kita melakukan sesuatu bagi-Nya tetapi mengetahui hal-hal lebih dalam dari Kebenaran Injil itu juga penting. Karena kedekatan bisa terwujud dari apa yang kita ketahui dengan benar. Semakin kita tahu maka rasa dekat semakin kuat, tetapi semakin kita tidak tahu rasa dekat semakin jauh. Yesus menghendaki kita tidak hanya terlalu menyibukan diri dengan melakukan sesuatu bagia Dia. Tetapi Yesus mengingatkan agar kita juga memberikan diri untuk mau tahu apa yang menjadi Firman-Nya.

Implementasi
       Lalu bagaimana mewujudkan persahabatan bagi semua orang?. Berdasarkan kajian Injil Yohanes menunjukkan bahwa untuk menjadi sahabat bagi semua orang, kita harus menjadi sahabat Kristus. Mengapa?. Karena tanpa kasih Yesus yang ada di dalam kehidupan kita, maka ada banyak bahaya saat kita bersahabat dengan semua orang. Tidak semua orang cinta dan suka kepada kita. Namun jika ada kasih Kristus, maka orang yang membenci dan mengakimi kita dapat kembali kita rangkul sebagai sahabat. Kasih Kristus akan menolong kita tetap menjaga sikap saat ada banyak orang yang mengaku sahabat tetapi sejatinya musuh, sehingga kita bisa bersaksi tentang Kasih Yesus. Abraham Kuyper mengatakan bahwa "tidak ada satu incinpun di dunia ini tidak miliki Kristus." Hal itu benar, sehingga tidak ada satu orang pun juga yang tidak dikasihi oleh orang Kristen. Maka siap pun manusia ia berhak mendapatkan bagian kasih. 
         Menjadi sahabat bagi semua orang memang tidaklah mungkin, karena tidak ada satu pun manusia yang mengenal semua manusia di dunia ini. Sekalipun ada kemajuan Teknologi melalui akun media sosial, tetapi itu belum bisa menolong manusia mengenal semua orang. Sehingga dalam persepketif relasional maka hal tersebut tidak mungkin tercapai. Tidak ada manusia yang bisa menjadi sahabat bagai semua orang. Namun secara nilai hal tersebut dapat teralisasi yaitu bagaimana nilai Kasih Yesus menjadi bagian semua orang. Maka secara fisik tidak ada manusia yang bisa jadi sahabat semua orang, namun secara prinsip itu bisa terjadi karena kasih Kristus dinyatakan bagi semua orang. Dalam Teologi Reform ada Anugerah Umum. Anugerah umum memperlihatkan bahwa Allah masih memberikan kasih kepada semua manusia dan hal tersebut terlihat melalui ciptaan-Nya yaitu Matahari, Cuaca dan Oksigen. Maka hanya kasihlah yang bisa secara universal mempersahabatkan semua orang, dan kasih tersebut ialah kasih Kristus. Oleh karena itu jika ingin membangun persahabatan kepada banyak orang maka kedepankanlah kasih Kristus.
       Di dalam iman Kristen untuk menjadi sahabat bagi semua orang itu perlu namun perlu disadari bahwa cakupan kawasan untuk bersahabat itu terbatas. Tidak bisa orang Indonesia bersahabat dengan orang di Kutub Utara. Namun di dalam Iman Kristen perwujudan persahabatan secara global daapat direalisasikan melalui tindakan mengharagai kemanusiaan. Menjadi sahabat bagi semua orang secara kuantitas itu tidak mungkin, tetapi memiliki kualitas persahabatan bagai sesama itu bisa. Artinya, kualitas persahabatan didasarkan kepada Kasih Kristus. Jadi dalam Theologia Reformed kualitas kasih itu yang utama, meskipun kuantitas untuk mengadihi terbatas. Namun adalah sebuah celaka jika kita bosa bersahabat dengan semua orang namun kualitas persahabatan tersebut tidak benar. Maka yang benar ialah menjadi sahabat yang berkualitas, yaitu sahabat Kristus dan memberikan persahabatan yang berkualitas yaitu menghadirkan Kristus bagi sesama. Maka dengan persahabatan yang berkualitas akan menghidarkan persoalan dalam persahabatan, baik itu masalah komunikasi dengan sahabat di dunia maya, namun mengabaikan sahabat di dunia nyata. Ancaman dari berita-berita Hoaks yang disebarkan di media sosial.
         Sebagai penutup penulis menegaskan bahwa kasih Yesus adalah landasan utama membangun persahabatan yang bernilai tinggi dan berkualitas. Jika kita tidak mampu mengasihi semua orang secara jumlah, maka kasihilah beberapa orang yang bersama kita dengan kasih yang berkualitas. Persahabatan yang sejati adalah persahabatan yang menunjukkan nilai-nilai yang peduli bagi sesama. Karena itu persahabatan yang berkualitas hanya dapat terjadi dengan sungguh-sungguh, ketika manusia bersahabat dengan tujuan mempermuliakan Allah.
Ecclesia Reformata semper Reformanda Secundum Verbum Dei.

MANUSIA & PENYAKIT: Sebuah Kajian Teologis - Praktis Dalam Menghadapi Covid-19

 Oleh: Made Nopen Supriadi

              Tulisan singkat ini akan membahas mengenai relasi kehidupan manusia dan penyakit. Tulisan ini secara khusus akan menyoroti fakta Alkitab tentang manusia yang mengalami penyakit. Tulisan ini akan memberikan kajian secara Teologis yaitu bagaimana Allah menyikapi fakta-fakta penyakit dalam kehidupan manusia. Namun perlu dipahami terlebih dahulu pengertian sakit dan penyakit. Penyakit adalah sebuah objek dan sakit bisa menunjuk kepada keadaan. Penyajian tersebut akan dikemas secara sistematis dan tinjauan Teologis secara khusus akan menggunakan pendekatan Reformed Theology. 
A. Manusia & Alam Semesta
          Dalam buku yang berjudul Kristus, Manusia & Alam Semesta penulis telah menyajikan fakta bahwa adanya relasi yang tidak harmonis antara manusia dan alam semesta dan sebaliknya alam semesta terhadap manusia. Presuposisi penulis menyakini bahwa kejatuhan manusia ke dalam dosa adalah awal mula hadirnya disharmonis relasi manusia dan alam semesta. Keberdosaan manusia telah membuat manusia melakukan mandat budaya dengan ideal, yaitu berkuasa atas ciptaan dengan memelihara dan mengusahakan ciptaan (Lih. Kej, 1:26-28; 2:15). Setelah Kejatuhan manusia ke dalam dosa manusia berada dalam kondisi rusak total (total depravity of man). Alkitab menyajikan banyak fakta kondisi hidup manusia yang tidak ideal dan disharmonis dengan ciptaan yang lain. Begitu juga sikap manusia terhadap ciptaan yang lain.
B. Manusia & Penyakit
           Kerusakan total manusia (total depravity of man) memberikan dampak kepada keharmonisan kehidupan manusia dengan ciptaan lain. Kematian fisik kepada manusia terjadi setelah manusia jatuh ke dalam dosa. Alkitab memberikan fakta bahwa ada banyak kasus-kasus sebab kematian manusia, baik itu karena perang, kecelakaan, kelaparan, bencana alam, sakit penyakit dsb. Meskipun demikin Alkitab juga menjelaskan bahwa waktu kematian adalah kedaulatan Allah dan hal tersebut bisa terealisasi dengan beragam cara. Pada zaman Alkitab ada beragam penyakit yang menyerang kehidupan manusia. Pada bagian ini akan menuliskan tentang beberapa fakta penyakit yang menyerang manusia di dalam Alkitab dan bagaimana tindakan Allah.
          Alkitab banyak memberikan data dan fakta mengenai keadaan manusia yang terkena penyakit. Dalam kedaulatan Allah tidak ada sakit-penyakit yang terluput dari otoritas Allah. Namun manusia juga tidak bisa serta mereta melakukan klaim bahwa Allah jahat karena penyakit yang terjadi. Dalam penetapan Allah yang kekal segala sesuatu telah tertentu. Sehingga untuk menjelaskan relasi penyakit dalam kehidupan manusia, perlu melihat dalam konteks terbatas. Artinya memahami penyakit dari hubungan relasi antara manusia dengan dirinya dan lingkunganya. Hal tersebut akan dijelaskan pada bagian berikut. 
Fakta Manusia yang Terkena Penyakit Dalam PL
            Ada beberapa kisah yang akan dipaparkan untuk melihat adanya realitas penyakit di dalam Perjanjian Lama. Meskipun tidak semua dituliskan dengan lengkap, beberapa fakta ini bagi penulis sudah cukup.
1. Musa Yang Kena Kusta (Kel. 4:6-7)
          Konteks Musa terkena Kuasa adalah saat Musa mempertanyakan tanda penyertaan Tuhan. Tuhan membuktikan dengan memberikan tanda yaitu tangan musa terkena kusta dan sesudah itu pulih. Namun penyakit Kusata yang terjadi pada Musa tidak lama. Peristiwa tersebut memperlihatkan bahwa Tuhan berotoritas atas sakit-penyakit, penyakit dapat hadir jika Ia menghendaki dan penyakit juga dapat hilang jika ia menghendaki.
2. Tulah Penyakit Sampar dan Barah di Mesir (Kel. 9:1-7; 12:1-16)
          Penyakit sampar yang terjadi di Mesir sangat jelas adalah tulah kepada bangsa Mesir. Penyakit tersebut hanya tertuju kepada bangsa Mesir, padahal di Mesir juga ada umat Israel. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa Tulah adalah kehendak Tuhan dan ditujukan khusus kepada satu bangsa untuk tujuan tertentu. Dalam konteks ini memperlihatkan tulah dimulai dan berhenti karena kehendak Tuhan. Dan Tulah tersebut dinyatakan melalui seorang utusan Tuhan bernama Musa. Tindakan Allah terhadap umat Mesir melalui tulah memperlihatkan bahwa Allah berotoritas lebih dari Firaun.
3. Miryam Terkena Kusta (Bil. 12:1-16)
       Miryam terkena kusta adalah bentuk hukuman yang dialami karena mengatai Musa. Kesalahan utama mereka bukan pada kritik terhadap perempuan Kush yang diambil Musa, tetapi mereka meragukan bahwa Musa adalah utusan TUHAN (ay. 2). Tindakan meragukan Nabi Tuhan membawa Miryam terkena kusta. Hal tersebut menunjukkan bahwa penyakit yang terjadi oleh karena dosa yang terjadi dan memperlihatkan bagaimana Allah membela hamba yang dipilih untuk menyampaikan Kebenaran. 
4. Naaman Yang Sakit Kusta (2 Raj. 5:1-19)
         Naaman terkena kusta padahal dia seorang panglima perang Kerajaan Aram. Seorang panglima juga bisa terkena sakit kusta. hal tersebut menunjukkan bahwa kekuatan fisik dan jabatan tidak bisa menghindarkan manusia dari serangan penyakit. Naaman pada kisah Alkitab mengalami kesembuhan deri penyakit Kusta setelah mencelupkan diri di Sungai Yordan sebanyak tujuh kali ata sperintah nabi Elisa. Kisah tersebut menunjukkan bahwa Tuhan berotoritas atas kesembuhan penyakit. Pada kisah selanjutnya Gehazi pembantu Elisa terkena sakit Kusta (2 Raj. 5:20-27) karena kebohongannya terhadap Elisa. Hal tersebut menunjukkan Tuhan berotoritas menghendaki penyakit hadir pada Gehazi sebagai realisasi penghukuman terhadap kebohongannya.
6. Raja Uzia yang Terkena Kusta (2 Taw. 26:1-21)
         Raja Uzia terkena sakit Kusta karena ia melakukan pelanggaran dalam ceremonial ibadah kepada Allah. Raja Uzia membakar korban yang bukan tugasnya. Tindakan raja Uzia akhirnya mendapat konsekuensi yaitu munculnya penyakit kusta pada dirinya. Hal tersebut dopahami sebagai tindakan Allah menghukum pelanggaran raja Uzia. Dari beberapa kasus menunjukkan bahwa penyakit Kusta sering menjadi alat yang Tuhan gunakan untuk menyatakan otoritasnya atas kesehatan manusia.
7. Raja Hizkia yang sakit (2 Taw. 32:24-33)
          Raja Hizkia hampir meninggal karena sakit, namun Tuhan memberikan kesembuhan kepadanya, umurnya ditambahkan oleh Tuhan. Setelah sembuh Hizkia menjadi tinggi hati dan ia menyesal kembali. Kisah tersebut menunjukkan bahwa Tuhan bukan hanya berotoitas menghendaki adanya penyakit dalam kehidupan manusia, tetapi lebih daripada itu Tuhan berotoritas menetapkan usia hidup manusia. Dari kisah Hizkia menunjukkan penyakit menjadi salah satu saranan untuk Tuhan membatasi usia hidup manusia. Namun penyakit juga menjadi salah satu sarana untuk menyatakan kemuliaan Allah.
Fakta Manusia yang Terkena Penyakit Dalam PB
         Secara ringkas Perjanjian Baru di dalam Kitab Injil banyak menunjukkan orang-orang yang terkena beragam penyakit baik itu sakit ayan, lumpuh, kusta, demam, sakit bungkuk, sakit busung air, sakit pendarahan selama 12 tahun dll  (Lih. Mat. 4:24, 8:2,6,14; Mar. 1:30, 40; Luk. 13:11, 14:2; Yoh. 4:46, 5:5). Pelaku utama dalam penyembuhan penyakit itu adalah Yesus Kristus. Dalam kisah-kisah Injil memperlihatkan bahwa penyakit tidak serta merta karena hukuman Allah atas dosa, tetapi karena Kehendak Allah akan dinyatakan. Banyak kasus orang-orang yang sakit dalam Kitab Injil lebih memfokuskan kepada penyataan Kerajaan Allah. Hal tersebut terlihat ketika Yesus melakukan penyembuhan penyakit maka damai sejahterah dihadirkan. Penyembuhan penyakit yang dilakukan Yesus menjadi salah-satu tanda realisasi Kerajaan Allah. 
        Dalam Kitab Injil memperlihatkan bahwa banyaknya manusia yang mengalami sakit-penyakit menunjukkan bahwa manusia tidak kebal terhadap penyakit. Tubuh manusia memiliki kekuatan yang terbatas untuk dapat menahan penyakit. Oleh karena itu kehadiran Yesus yang menyembuhkan penyakit, bukan untuk menyadarkan manusia bahwa setiap penyakit yang smebuh selalu butuh mujizat, tetapi tindakan Yesus menyembuhkan penyakit untuk menunjukkan integritas ajaran-Nya dan untuk menunjukkan bahwa manusia lemah dan kehidupan manusia butuh anugerah Allah.
Dalam Kisah Para Rasul juga memperlihatkan fakta-fakta di mana beberapa Rasul diberikan otoritas oleh Yesus untuk menyembuhkan penyakit (Lih. Kis. 3:1-10, 5:12-16, 19:12, 28:8). Paulus juga mengingatkkan Timotius agar meminum sedikit anggur karena ada masalah kesehatan. Selanjutnya dalam Kitab Yakobus ada penyakit yang disembuhkan dengan dioleskan minyak hal tersebut menunjukkan adanya pola penyembuhan penyakit. Sehingga manusia diingatkan Tuhan bahwa penyakit tidak hanya dapat disembuhkan dengan mujizat, Tuhan juga menghendaki cara-cara medis dan pola kesehatan untuk dapat menyelesaikan sakit-penyakit. 
Kajian Teologis
         Dengan demikian realitas penyakit telah muncul dalam kehidupan manusia sepanjang sejarah Alkitab. Fakta-fakta Alkitab menunjukkan bahwa penyakit yang dialami oleh manusia tidak terluput dari otoritas Allah. Penyakit tersebut bisa mendatangkan kematian, namun ada juga manusia yang bisa pulih dari penyakit. Oleh karena itu melalui fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa manusia memiliki kelemahan dalam tubuhnya sehingga penyakit dapat menyerang setiap manusia dalam usia berapa saja. Namun ada kasus-kasus yang perlu diperhatikan bahwa ada penyakit yang memang menunjukkan adanya problematika spiritualitas dalam kehidupan manusia. Penyakit yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah buah dari keberdosaan manusia yang jatuh ke dalam dosa. Keharmonisan kehidupan manusia menjadi rusak karena dosa, sehingga salah satu hal yang dialami oleh manusia adalah sakit penyakit. Tetapi perlu diingatkan bahwa tidak semua sakit penyakit disebabkan karena dosa. Penyakit adalah salah satu dampak kejatuhan manusia di dalam dosa, namun tidak berarti setiap manusia mutlak harus sakit meskipun statusnya manusia berdosa. Penyakit adalah kondisi disharmonis yang terjadi setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, oleh karena itu banyak fakta Alkitab menunjukkan manusia bisa mengalami maut karena sakit penyakitnya. 
Yesus Kristus telah melakukan karya penebusan dosa terhadap manusia yang telah dipilih untuk diselamatkan. Namun penebusan Yesus kepada manusia yang berdosa tidak nmenghilangkan realitas adanya penyakit di dalam dunia. Namun Yesus menyelesaikan masalah utama puncak dari serangan penyakit yaitu kematian. Kematian yang dimaksud ini adalah kematian kekal di neraka. Artinya Penebusan Yesus pada masa lalu dan masa kini tidak menghilangkan realitas bahwa manusia bisa terkena penyakit. Tetapi fokus utama adalah banyak penyakit yang menyerang manusia telah membawa manusia kepada kematian. Namun saat kematian ada banyak manusia yang masih terikat dosa karena tidak percaya kepada Yesus Kristus. Oleh karena itu Yesus Kristus memberikan sebuah fokus iman kepada manusia. Sehingga sekalipun sebagai mansuia kita akan mengalami penyakit, bahkan penyakit tersebut dapat mengahantarkan kita pada kematian fisik. Namun Karena karya penebusan Yesus orang percaya terbebas dari kematian kekal sekalipun mati karena penyakit secara fisik.
         Selanjutnya Ada konsep yang perlu dipahami bahwa dari mujizat menunju kepada hikmat. Artinya secara Teologis Allah pernah memberikan mujizat untuk penyembuhan penyakit, tetapi konteks terjadinya mujizat harus diperhatikan, beberapa konteks menunjukkan peristiwa tersebut tidak serta merta terjadi disemua zaman Alkitab. Hal tersebut dapat terlihat dari fakta Alkitab, mujizat hanya terjadi pada masa-masa tertentu dan dengan tujuan tertentu sesuai kehendak Allah. Pada masa PB dan masa kini, telah ada pola kesehatan medis dalam menyembuyhkan penyakit. Allah telah membukakan hikmat begitu banyak kepada manusia dalam berbagai bidang. Salah satunya dalam bidang medis, sehingga pada masa kini ada banyak obat yang telah diramu dan alat medis yang adapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit. Hal tersebut menunjukkan adanya pola dari Mujizat menunju kepada hikmat (from miracels to wisdom). Sehingga pada masa kini orang percaya dapat menggunakan sarana medis sebagai media penyembuhan penyakit. Namun orang percaya juga tidak bisa mengabaikan konsep bahwa tetaplah kesembuhan penyakit ada dalam kehendak Allah. Oleh karena itu orang percaya tidak bisa melupakan prinsip berdoa dan berjuang dalam mengahadapi penyakit.
         Penyakit hanyalah salah satu alat yang digunakan Allah untuk menunjukkan kepada manusia bahwa manusia adalah ciptaan yang tetap memiliki batasan. Baik itu batasan dalam hal kekuatan fisik, batasan usia dan batasan pengetahuan. Penyakit yang ada terjadi dalam kehdiupan manusia menunjukkan bahwa mansia harus memiliki sikap hidup yang rendah hati, artinya jika pintar soal medis tetap hormati Tuhan dan jika sedang sakit tetap hormati Tuhan. Ada banyak manusia ketika sedang sakit tidak hormati Tuhan, ada yang tidak menghormati dengan bergantung pada rasio saja yaitu hanya percaya pada ilmu-ilmu medis. Lalu ada yang tidak menghormati dengan bergantung pada ilmu-ilmu mistis. Oleh karena itu penyakit yang mewaranai banyak kehidupan mansuia dapat dipakai Allah untuk mengarahkan manusia agar menyagadari otoritas Allah atas kehidupannya. Karena manusia bisa saja dimatikan oleh penyakit, celakanya jika manusia dimatikan Allah melalui penyakit dan saat dimatikan manusia tidak menghormati Allah, maka manusia mengalami kondisi yang menyedihkan.
        Penyakit semakin mendorong manusia untuk melakukan mandat budaya (culture mandate). Allah telah memberikan mandat agar manusia berkuasa atas cipataan yang lain. Penyakit ada yang disebabkan karena makhluk ciptaan lainnya, sehingga manusia memiliki tanggung jawab untuk menaklukan penyakit tersebut dengan mengelola alam semesta ini untuk menemukan obat yang tepat. Dengan demikian manusia tidak bersifat pasrah dan menyerah terhadap penyakit yang dialami. Perjuangan orang percaya dalam menaklukan sakit penyakit dapat menunjukkan kesetiaan dalam melakukan mandat budaya. 
         Penyakit tetap ada dalam kedaulatan Allah. Fakta-fakta Alkitab menunjukkan  Allah berotoritas terhadap sakit penyakit. Lalu bukankah Allah berkarya mendatangkan kebaikkan?. Banyak orang percaya terjebak konsep salah memahami kebaikkan Allah, kebaikkan Allah sering dinilai secara subyektif oleh manusia. Sehingga menilai kebaikkan Allah dari sudut kebaikkan apa yang dialami secara pribadi dan banyak mengabaikan melihat kebaikkan apa yang terjadi di luar dirinya akibat penyakit yang dialami. Tidak ada satu bagian kehidupan mansuia yang terluput dari kedaulatan Allah. Penetapan Allah dari kekal tidak berubah. Oleh karena itu baik sakit penyakit tetap sudah ada dalam penetapan Allah yang kekal. Lalu bagaimana menilai penyakit yang hadir saat ini?. Alkitab menjelaskan bahwa penetapan Allah ada di dalam kasih-Nya, sehingga mansuia harus berpikir dengan luas terhadap fakta sakit penyakit yang terjadi dalam kehidupannya. Terkadang keberdosaan manusia cenderung mengarahkan manusia untuk berpikir secara sempit dan subyektif melihat kelemahan yang terjadi bahkan sakit penyakit. Oleh karena miliki perspektif yang luas untuk menilai apakah yang terjadi tidak ada kebaikkan. Allah di dalam penetapan-Nya atas sejarah membawa sejarah dunia untuk memuliakan nama-Nya. Sehingga manusia juga harus menyadari bagaimana tetap memuliakan Allah dalam situasi sulit oleh karena sakit penyakit.
Sikap Terhadap Covid-19
         Coronavirus Disease 19 (Covid-19) adalah penyakit yang disebabkan oleh karena virus. Penyakit yang ditimbulkan adalah gejala sesak nafas akut yang bisa membawa kematian. Hingga saat ini belum ada vaksin khusus untuk serangan virus ini. Bagaimanakah sikap orang percaya?. Rasa takut terhadap virus ini wajar, namun jangan sampai rasa takut akhirnya membuat orang percaya tidak memuliakan Tuhan. Justru dengan adanya virus ini orang percaya yang dipanggil Allah dalam bidang medis dan ilmuwan medis semakin menunjukkan perjuangan dan dedikasinya secara optimal untuk menemukan vaksin dan obat terjadap virus ini. Dan bagi orang percaya yang terpanggil dalam bidang ekonomi dan pengajar semakin menunjukkan dedikasinya dalam memuliakan Allah dengan memberikan pertolongan baik dana dan moral untuk menolong pengadaan alat-alat medisa dan para pengajar bersama-sama mensosialisasikan bagaiamana menjalani kehdiupan berdampingan dengan wabah Covid-19. Wabah virus ini memang banyak menimbulkan kemandekan bagi pola kehidupan manusia, tetapi kita tidak boleh menuntup mata bahwa meskipun dalam sudut pandang kita ada hal negatif yang terjadi yaitu kematian banyak orang karena virus. Namun kita melihat adanya pemulihan alam semesta di berbagai tempat. Banyak manusia menahan diri untuk mengeksploitasi alam dan memberhentikan pabrik-pabrik sehingga ada waktu alam menjadi segar kembali. Namun masih tetap sulit bagi manusia untuk bisa menilai adanya sebuah kebaikkan ditengah banyaknya kematian manusia karena virus ini. Sejarah pada abad pertengahan menunjukkan adanya wabah besar yang melanda Eropa dan membunuh banyak penduduk Eropa, namun situasi tersebut menuntut penduduk Eropa untuk hidup berdampingan dengan wabah dan terus berjuang menemukan obat yang tepat. Demikian juga realita kita saat ini, kita akan dituntut hidup berdampingan dengan Covid-19, meskipun itu dapat mematikan, tetapi sambil vaksin ditemukan kita dapat melaukan kheidupan kita dengan pola-pola yang tetap juga dilakukan dengan hikmat (memakai maske, social distancing, physical distancing, menjaga kebersihan lingkungan dll). Kita juga perlu memiliki kesadaran bahwa kematian tetap ada dalam otoritas Allah, meskipun ada manusia yang meninggal karena Covid-19 tetaplah kematian itu ditetapkan oleh Allah, hanya saja pada konteks tersebut Covid-19 menjadi salah satu alat untuk merealisasikan keterbatasan umur manusia. Namun orang percaya harus tetap menyadari ada juga manusia yang masih bisa sembuh dari virus tersebut. Oleh karena itu mari fokuskan kehidupan kita untuk selalu mempermuliakan Allah. Covid-19 bisa memmbunuh tubuh tidak membunuh iman. Covid-19 masih bisa dilawan dengan hikmat yang ada saat ini meskipun belum 100% berhasil tetapi Allah menghendaki kita juga menggunakan hikmat tersebut. Pusat kehidupan kita manusia adalah mempermuliakan Allah, sehingga jangan sampai ketakutan pada Covid-19 membaw kita gagal mempermuliakan Allah. 
Ecclesia Reformata Semper Reformanda Secundum Verbum Dei