Tampilkan postingan dengan label Refeleksi Teologis Made Nopen Supriadi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Refeleksi Teologis Made Nopen Supriadi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 31 Mei 2020

MANDAT BUDAYA DAN MANDAT MISI DALAM KONTEKS PANDEMIK COVID-19

 Oleh: Made Nopen Supriadi
Dalam tulisan ini akan memberikan kajian singkat mengenai implementasi mandat budaya dan mandat misi dalam konteks covid-19. Dalam pembahasan ini secara singkat akan menjelaskan tentang pengertian dari mandat budaya dan mandat misi, pengaruh dosa dalam realisasi mandat budaya dan mandat misi, implementasi Yesus terhadap mandat budaya dan mandat misi, penerapan mandat budaya dan mandat misi pra-covid-19, penerapan mandat budaya pada masa covid-19 dan pada era "new normal."

A. Pengertian Mandat Budaya dan Mandat Misi

1. Analisa Kata
Sebelum membahas lebih pengertian mandat budaya dan mandat misi, maka ada tiga kata penting yang perlu kita mengerti yaitu, kata 'mandat,' 'budaya' dan 'misi'. Kata mandat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan kata benda yang memiliki arti perintah, arahan (instruksi) dan perwakilan. Kata 'budaya' memiliki arti sebagai akal budi, pikiran, adat istiadat, peradaban dan kebiasaan. Kata 'misi' menunjuk kepada pengutusan, dalam konteks iman Kristen kata misi juga menunjuk kepada pengutusan orang percaya atau gereja untuk menjadi saksi bagi 'dunia'. Dengan demikian secara sederhana mandat budaya dan mandat misi dapat diartikan sebagai. Perintah yang diberikan oleh sang pemberi perintah dalam konteks ini Allah Tritunggal (Lih. Kej. 1:26-28 dan Mat. 28:18-20) kepada manusia yang diciptakan untuk mengembangkan dan membangun peradaban dan juga menjadi saksi di dalam peradaban yang dibangun tentang 'kebenaran'.

2. Pengertian Mandat Budaya Dalam Alkitab
Membangun pengertian mandat budaya dan mandat misi sangat penting juga membangun pengertian tersebut berdasarkan dari prinsip Alkitab. Di dalam Alkitab prinsip mandat budaya dituliskan di dalam Kejadian 1: 28, setelah Allah memberkati manusia Allah memerintahkan mereka untuk 'penuhilah bumi,' 'taklukanlah' dan 'berkuasalah'. Daniel P. Martono menjelaskan istilah 'penuhilah bumi' menunjukkan bahwa manusia membangun kehidupan sosial. Dan istilah 'taklukanlah dan berkuasalah' menunjukkan manusia memanfaatkan isi alam. Dalam perkembangan kehidupan manusia ada yang menyalahgunakan ayat ini untuk melakukan 'eksploitasi alam' sehingga merusak tatanan ekosistem. Oleh karena itu memahami mandat budaya dalam arti memanfaatkan isi alam harus memperhatikan Kejadian 2:15 yaitu Allah menempatkan manusia di taman Eden untuk 'mengusahakan' dan 'memelihara'. Dengan demikian manusia diberikan mandat oleh Allah untuk mengembangkan kehidupan sosial, mengembangkan peradaban, ilmu pengetahuan dan sebaginya dengan memanfaatkan alam yang telah diciptakan Allah dan diberikan kepada manusia untuk dikelola. Dalam kajian Yakub Tri Handoko dalam tulisannya tentang 'Mandat Budaya (Kejadian 1:28)' menjelaskan: 

Hal pertama yang perlu kita pahamai adalah bahwa pemberian mandat budaya kepada manusia di Kejadian 1:28 tidak berarti pengalihan kepemilikan atas alam semesta dari Allah kepada manusia. Seluruh bumi tetap menjadi milik Allah (Maz. 24: 1), juga binatang-binatang liar di padang dan di gunung (Maz. 50:10-12). Ulangan 22:6 mengajarkan perlunya manusia melestarikan kehidupan binatang. Apa yang dilakukan seseorang terhadap binatang bahkan akan mempengaruhi keadaa orang itu (Ul. 22:7). salah satu tujuan di adakannya hari sabat adalah supaya binatang dan para budak bisa beristirahat (Kel. 23:12). Allah bahkan mengatur penggunaan lahan untuk bertani/berladang, yaitu suatu ladang boleh dipakai secara terus-menerus selama 6 tahun, sesudah itu tanah itu harus dibiarkan begitu saja pada tahun ketujuh (Ul. 25:3-4). Ayub bahkan sadar bahwa ladang akan mendakwa dia apabila ia telah menyalahgunakannya (Ay. 31: 38-40). (Handoko, 2017)
Dengan demikian penguasaan yang dilakukan adalah penguasaan yang dalam arah memiliki sikap tanggung jawab untuk tetap memelihara kehidupan dan stabilitas ekosistem. Mandat budaya adalah perintah yang diberikan Allah untuk manusia mengembangkan peradaban. Sehingga jika saat ini banyak peradaban yang telah berkembang maka semua itu tidak terlepas dari realisasi mandat budaya. Manusia semakin dibukakan hikmat oleh Allah untuk dapat mengelola isi alam semesta bagi kemajuan berbagai bidang kehidupan, baik itu politik, ekonomi, sains, arsitektur dan lain sebaginya. Jadi mandat budaya adalah mandat dari Allah Tritunggal kepada manusia untuk mengembangkan kehidupan melalui pengelolaan isi alam yang diberikan oleh manusia dengan penuh tanggung jawab.

3. Pengetian Mandat Misi Dalam Alkitab
Alkitab memberikan prinsip di mana Allah menghendaki agar manusia memberitakan pribadi dan karya Allah. Perintah tersebut telah dinyatakan dalam rancangan kekekalan Allah. Efesus 1:3-10 menunjukkan bahwa dalam pemilihan Allah sebelum dunia dijadikan di dalam Kristus manusia ditetapkan dalam kekudusan dan tak becacat di hadapan-Nya (bdg. Rom. 8:29-30). Rancangan tersebut telah ada dalam kekekalan, namun secara manusia realisasinya terjadi berdasarkan kehidupan manusia yang telah dipilih Allah di dalam Kristus akan menyaksikan pribadi dan karya-Nya. Dalam konteks kehidupan manusia perwujudan dari pemilihan Allah, membawa manusia dalam kehidupannya memberitakan tentang kebenaran Allah. Hal tersebut telah direalisasikan dalam penciptaan manusia yang pertama.
Di Taman Eden selain melaksanakan mandat budaya juga telah merealisasikan mandat misi yaitu menyatakan kebenaran dan memuliakan Allah di dalam setiap tanggung jawab. Perintah Allah untuk tidak memakan buah yang dilarang menunjukkan manusia memiliki tanggung jawab untuk merealisasikan kebenaran Allah. Mandat misi ialah membicarakan bagaimana manusia menjadi saksi bagi dunia. Yesus Kristus memberikan mandat misi dengan sangat jelas hal tersebut dapat kita baca di dalam Matius 28:18-20; Markus 16:15-16; Lukas 24:45-48.  Perintah tersebut sungguh sangat jelas menunjukkan bahwa di dalam Kristus manusia memiliki satu mandat penting yaitu mandat misi. Manusia di dalam Kristus diutus untuk memberitakan pribadi dan karya Allah. Manusia memiliki tanggung jawab untuk menyaksikan kebenaran Allah ditengah 'dunia'. Dengan demikian ada kaitan antara mandat budaya dan mandat misi. Budaya yang dibangun hendaknya terarah untuk memuliakan Allah dan misi yang dibangun hendaknya mentransformasi budaya.     

B. Pengaruh Dosa Dalam Realisasi Mandat Budaya Dan Mandat Misi
Secara prinsip mandat budaya dan mandat misi telah diberikan sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Kata 'budaya' dalam bahasa latin yaitu 'cultura' yang diterjemahkan menjadi 'kultur atau budaya'. Kata 'cultura' ini berasal dari kata dasar 'cult' yang memiliki arti 'ibadah atau penyembahan.' Martono menuliskan bahwa kata 'mengusahakan' dalam Kejadian 2:15 memiliki arti 'membajak atau mengolah tanah.' Ia melanjutkan bahwa kata tersebut dalam bahasa latin dituliskan dengan kata 'cultura'. Dengan demikian maka prinsip bekerja mengelola isi alam dan beribadah telah diberikan Tuhan secara bersamaan kepada manusia di Taman Eden. Secara prinsip menjelaskan bahwa pada waktu manusia bekerja maka ia tidak melepaskan hidupnya kepada Tuhan. Manusia melekat kepada Tuhan dalam mengerjakan tanggung jawabnya dan tanggung jawabnya dilakukan karena Tuhan. Jadi sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, manusia telah meberapkan prinsip ideal dalam mandat budaya dan mandat misi.
Kejadian pasal 3 memberikan gambaran bagaimana manusia jatuh ke dalam dosa. Kejatuhan manusia ke dalam dosa memberikan dampak kepada pelaksanaan mandat budaya dan mandat misi. Untuk membahas ini perlu dibagi menjadi dua.
1. Pengaruh Dosa dalam Mandat Budaya
Mandat budaya adalah mandat yang diberikan Allah kepada manusia untuk membangun kehidupan dan peradaban. Allah mengijinkan manusia menguasai dan mengelola serta memelihara alam semesta untuk mengembangkan kehidupan. Namun setelah manusia jatuh ke dalam dosa. Prinsip untuk melaksanakan mandat budaya tetap ada, namun hal tersebut menjadi lebih berat (Bdg. Kej. 3:17-19). Meskipun kondisi melakukan mandat budaya namun peradaban manusia terus berkembang. Pada masa Kain dan Habel sistem pertanian dan peternakan telah berkembang. Lalu pada Kejadian 4:17-26 menunjukkan bahwa keturunan Kain tetap melaksanakan mandat budaya sehingga pada masa itu, kehidupan sosial, seni dan pertukangan semakin menunjukkan kemajuan. Namun yang menjadi masalah ialah perkembangan peradaban tersebut tidak turut disertai sikap tunduk kepada Tuhan. Manusia mulai menunjukkan egoismenya dalam setiap karya yang dibuat. Kejadian 6 menunjukkan bagaimana akhirnya Allah memutuskan untuk memberikan air bah karena peradaban manusia berkembang ke arah yang rusak secara moral dan spiritual. Setelah peristiwa air bah pada Kejadian 11 manusia kembali menunjukkan sikapnya dalam mengembangkan peradaban dengan merencanakan pembangunan sebuah menara yang tinggi, namun karena dosa yang merusak manusia membuat arah dan tujuan pembangunan menara tersebut untuk menentang Allah dan menunjukkan superioritas manusia semata. Hal tersebut menunjukkan bahwa mandat budaya terus berlanjut namun dosa juga ikut meruskkan sesnsi pelaksanaan mandat budaya. Pada Masa kini hal tersebut juga tetap terjadi banyak penemuan sains, perkembangan ekonomi, politik, arsitektur dan seni justru semakin membawa manusia kepada sikap yang menentang Tuhan. Dosa membawa manusia dengan hasil karyanya untuk menyombongkan diri kepada sesama manusia dan juga kepada Tuhan. Sehingga tidak heran jika masa kini kita dapat melihat ada ilmuwan, sastrawan, ekonom, politikus, public figure yang menunjukkan sikap menentang Allah.  
2. Pengaruh Dosa dalam Mandat Misi
Kejatuhan manusia ke dalam dosa membawa manusia gagal untuk menjadi utusan yang memberitakan pribadi dan karya Allah. Kisah Kain yang membunuh Habel menunjukkan bahwa akibat dosa bukan hanya menyebabkan manusia bisa mati secara fisik, tetapi manusia memiliki keberanian untuk mematikan sesama manusia. Hal tersebut terus berlanjut pada keturunan Kain. Dampak kejatuhan manusia ke dalam dosa menghadirkan banyak konflik-konflik dalam kehidupan manusia. Konflik tersebut telah merusak tatanan kehidupan relasional manusia secara sosial. Hingga saat ini dosa terus membawa manusia dalam kondisi yang rusak. Hal tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan mandat bagi manusia untuk menjadi utusan Allah menjadi rusak. Manusia yang seharusnya hidupnya dipakai untuk menggarami dan menerangi dunia justru jatuh pada kondisi hidup yang rusak. Meskipun manusia telah mengalami kerusakan total (total depravity), Allah tetap memberikan manusia pilihan-Nya untuk memberitakan kebenaran. Allah mengutus para Nabi dan Rasul untuk memberitakan tentang penghukuman Allah atas dosa dan penyelamatan Allah bagi manusia. Dengan demikian mandat misi tetap terlaksana di tengah manusia yang berdosa, namun pelaksanaan itu tidak melibatkan seluruh manusia, hanya manusia yang dipilih, dintentukan dan dipanggil Allah.   
3. Rangkuman
Dari pembahasan di atas menunjukkan bahwa kerusakan dosa telah merusak natur manusia dan berdampak pada kehidupan manusia. Kerusakan akibat dosa memberikan pengaruh baik dalam realisasi mandat budaya dan mandat misi. Manusia gagal untuk berfokus untuk mempermuliakan Allah baik dalam mengembangkan peradaban dan gagal untuk bersaksi menjadi garam dan terang bagi dunia yang berdosa.

C. Implementasi Yesus Terhadap Mandat Budaya & Mandat Misi
Yesus Kristus adalah penggenap Hukum Taurat. Sebagai Penggenap maka Yesus Kristus harus memenuhi standar telah mampu untuk melakukan Hukum Taurat dan menggenapi hukuman kegagalan melakukan Hukum Taurat yang dilakukan oleh manusia yang dipilih dalam keselamatan. Pada bagian ini akan memberikan sebuah refleksi bagaimana Yesus merealisasikan mandat budaya dan mandat misi. Yesus ketika Ia berinkarnasi maka Ia hidup dalam tradisi dan budaya yang telah ada. Namun Yesus sekalipun berada dalam sebuah budaya, Yesus justru tetap melakukan mandat budaya. Hal tersebut ditunjukkan dengan Yesus melakukan transformasi budaya, Yesus menegur kebiasaan yang berdosa yaitu penipuan, penyalahgunaan tempat ibadah, kemunafikan, kekerasan dan ketidakadilan. Banyak hal yang diperbaharui Yesus menjurus kepada prinsip pelaksanaan pola kehdiupan pada masa itu. Yesus tidak melarang membayar pajak kepada Kaisar jika itu memang telah ditetapkan oleh penguasa, namun Yesus melarang para pemungut pajak melakukan pungutan lebih dari apa yang telah ditetapkan. Yesus tidak melarang untuk memberi kepada Allah, namun Yesus melarang jika memberi kepada Allah dijadikan sebagai Alasan untuk mengabaikan pemeliharaan orang tua. Yesus tidak melarang pelaksanaan penghukuman, tetapi Yesus melarang jika pelaksanaan penghukuman tanpa pengadilan yang benar. Yesus tidak melarang para tokoh agama mengajar agama, tetapi Yesus melarang jika mengajar agama dalam hidup yang munafik. Dengan demikian Yesus tetap mengijinkan berkembangnya budaya saat itu namun Yesus lebih memfokuskan bagaimana perkembangan kebudayaan memiliki nilai-nilai Teologis yang benar. Hal tersebut menunjukkan bahwa Yesus dalam tindakan pribadi dan karya-Nya melakukan mandat budaya dan mandat misi bersama. Yesus dalam kebudayaan yang ada tetap memberitakan Kerajaan Allah, yang didalamnya berisi berita pertobatan dan penggenapan janji Mesias di dalam Diri-Nya. Sampai akhir hidupnya Yesus tidak menolak budaya atau tradisi yang menjadikan sarana penghukuman-Nya di kayu Salib, namun Yesus melalui budaya penghukuman Salib justru merealisasikan Misi-Nya. Dengan demikian dari kehdiupan Yesus kita dapat melihat bagaimana budaya dan tradisi sebisa mungkin dikaji dan ditemukan titik tarnsformasinya untuk membawa manusia memahami karya keselamatan. Di dalam Yesus kita dapat belajar sebuah intergrasi antara mandat budaya dan mandat misi.
Setelah karya penebusan Yesus Kristus, maka relasa manusia dan Allah dipulihkan. Pada waktu Yesus naik ke Sorga, maka Roh Kudus dijanjikan kepada para Rasul. Roh Kudus bekerja melahirbarukan manusia yang diselamatkan dan kondisi demikian membawa manusia memiliki kesadaran penuh akan tujuan dan sikap hidup, yaitu memuliakan Allah (Roma 11:36). Pembaharuan yang Roh Kudus kerjakan itulah yang memampukan orang yang percaya kepada Yesus untuk melaksanakan mandat budaya dan mandat misi (Bdg. Ef. 2:1-10). Roh Kudus yang memimpin orang percaya ke dalam kebenaran akan menolong orang percaya menerapkan kebenaran dalam kehdiupannya. Sehingga pada kondisi ini orang percaya akan mampu menjadi garam dan terang.

D. Penerapan Mandat Budaya & Mandat Misi Pada Masa pra-covid-19, covid-19 & "New Normal."
Pada masa pra-covid-19 pelaksanaan mandat budaya dan mandat misi bersifat normal. Manusia menjalin sosialisasi dan banyak yang selalu bersama dalam melakukan pengelolaan alam semesta. Manusia melakukan pengembangan peradaban dan ilmu pengetahuan dengan cara kebersamaan baik bersama dalam tempat maupun bersama juga dalam komunikasi. Namun fakta memperlihatkan sebelum pandemik covid-19 terjadi kebersamaan manusia dalam mengelola alam semesta menjadi hal yang membahayakan banyak ekosistem. Sehingga pelaksanaan mandat budaya banyak memperlihatkan degradasi lingkungan hidup. Dalam tindakan misi manusia telah terbiasa dengan pelaksanaan misi yang langsung hadir ke tengah-tengah masyarakat. Namun kita bisa melihat pada waktu pandemik covid-19 maka banyak kegiatan yang berhubungan dengan interaksi sosial menjadi dibatasi. Protokol kesehatan menganjurkan agar manusia melakukan social distancing, physical distancing, stay at home menjaga kesehatan diri dengan memakai masker, rajin mencuci tangan dengan sabun dan melakukan work from home (WFH). Kondisi demikian mempersulit gerakan manusia dalam melaksanakan pengelolaan alam dan sosialisasi. Pelaksanaan misi yang harusnya bersosialisasi kini tidak dapat dilakukan. Namun apakah hal tersebut mentiadakan pelaksanaan mandat budaya dan mandat misi. Sebelum masa pandemik covid-19 pelaksanaan mandat budaya telah terjadi dan banyak hal kerugian yang terjadi di alam semesta. Pelaksanaan mandat misi juga sudah banyak berkembang melalui media elektronik dan online. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam mandat budaya memang harus ada yang dibenahi, namun dalam mandat misi telah mampu mengantisipasi kondisi covid-19. Namun persoalan timbul, pada masa pandemik covid-19 ketika manusia semakin banyak memanfaatkan teknologi dan media sosial. Justru ada beberapa orang yang menggunakan media sosial untuk menyatakan ajaran yang salah dan tidak Alkitbiah. Kondisi ini semakin mendorong para pemberita Injil untuk mengambil bagian dalam melakukan apolohetika. Lalu dalam konteks mandat budaya, maka pada masa covid-19 menjadi sebuah waktu untuk melakukan refleksi terhadap sikap dalam mengelola dan menguasai alam semesta serta sikap dalam membangun moral peradaban. Beberapa waktu ini telah banyak berita yang menyiarkan akan adanya masa memasuki situasi hidup yang disebut dengan 'new normal.' Kondisi ini juga diharpkan dapat membawa sebuah pemikiran yang baru bagi manusia secara khusus orang percaya dalam mengelola alam semesta dan membangun peradaban yang juga melaksanakan mandat misi. Konsep hidup dalam 'New Normal' juga harus kita pahami sebagai hasil dari pemikiran mandat budaya, yaitu pengembangan pradaban hidup manusia. Namun di dalam kondisi hidup normal baru kita jangan sampai gagal menjadi saksi. Jangan sampai kita menjadi orang Kristen yang hanya mau menggengam dunia dan isinya tapi tidak mau memuliakan Allah Tritunggal.

E. Penutup
Mandat Budaya dan Mandat Misi adalah mandat Allah Tritunggal kepada manusia. Mandat tersebut akan efektif terealisasi secara khusus dalam kehdiupan manusia yang dipilih ke dalam keselamatan. Karena kesadaran dan tanggung jawab mengelola alam semesta tidak terlepas dari kesadaran secara spiritual yang telah diperbaharui oleh Roh Kudus. Pada masa kini pelaksanaan mandat budaya dan mandat misi tidak terhenti tetapi menyesuaikan dengan situasi yang terjadi pada masa pandemik covid-19. Oleh karena itu setiap orang percaya juga diajak semakin berpikir kreatif bagaimana tetap membangun peradaban dan kehidupan semakin baik dan juga membawa orang kepada Kristus di masa kini. Soli Deo Gloria.






















Jumat, 15 Mei 2020

MANUSIA & PENYAKIT: Sebuah Kajian Teologis - Praktis Dalam Menghadapi Covid-19

 Oleh: Made Nopen Supriadi

              Tulisan singkat ini akan membahas mengenai relasi kehidupan manusia dan penyakit. Tulisan ini secara khusus akan menyoroti fakta Alkitab tentang manusia yang mengalami penyakit. Tulisan ini akan memberikan kajian secara Teologis yaitu bagaimana Allah menyikapi fakta-fakta penyakit dalam kehidupan manusia. Namun perlu dipahami terlebih dahulu pengertian sakit dan penyakit. Penyakit adalah sebuah objek dan sakit bisa menunjuk kepada keadaan. Penyajian tersebut akan dikemas secara sistematis dan tinjauan Teologis secara khusus akan menggunakan pendekatan Reformed Theology. 
A. Manusia & Alam Semesta
          Dalam buku yang berjudul Kristus, Manusia & Alam Semesta penulis telah menyajikan fakta bahwa adanya relasi yang tidak harmonis antara manusia dan alam semesta dan sebaliknya alam semesta terhadap manusia. Presuposisi penulis menyakini bahwa kejatuhan manusia ke dalam dosa adalah awal mula hadirnya disharmonis relasi manusia dan alam semesta. Keberdosaan manusia telah membuat manusia melakukan mandat budaya dengan ideal, yaitu berkuasa atas ciptaan dengan memelihara dan mengusahakan ciptaan (Lih. Kej, 1:26-28; 2:15). Setelah Kejatuhan manusia ke dalam dosa manusia berada dalam kondisi rusak total (total depravity of man). Alkitab menyajikan banyak fakta kondisi hidup manusia yang tidak ideal dan disharmonis dengan ciptaan yang lain. Begitu juga sikap manusia terhadap ciptaan yang lain.
B. Manusia & Penyakit
           Kerusakan total manusia (total depravity of man) memberikan dampak kepada keharmonisan kehidupan manusia dengan ciptaan lain. Kematian fisik kepada manusia terjadi setelah manusia jatuh ke dalam dosa. Alkitab memberikan fakta bahwa ada banyak kasus-kasus sebab kematian manusia, baik itu karena perang, kecelakaan, kelaparan, bencana alam, sakit penyakit dsb. Meskipun demikin Alkitab juga menjelaskan bahwa waktu kematian adalah kedaulatan Allah dan hal tersebut bisa terealisasi dengan beragam cara. Pada zaman Alkitab ada beragam penyakit yang menyerang kehidupan manusia. Pada bagian ini akan menuliskan tentang beberapa fakta penyakit yang menyerang manusia di dalam Alkitab dan bagaimana tindakan Allah.
          Alkitab banyak memberikan data dan fakta mengenai keadaan manusia yang terkena penyakit. Dalam kedaulatan Allah tidak ada sakit-penyakit yang terluput dari otoritas Allah. Namun manusia juga tidak bisa serta mereta melakukan klaim bahwa Allah jahat karena penyakit yang terjadi. Dalam penetapan Allah yang kekal segala sesuatu telah tertentu. Sehingga untuk menjelaskan relasi penyakit dalam kehidupan manusia, perlu melihat dalam konteks terbatas. Artinya memahami penyakit dari hubungan relasi antara manusia dengan dirinya dan lingkunganya. Hal tersebut akan dijelaskan pada bagian berikut. 
Fakta Manusia yang Terkena Penyakit Dalam PL
            Ada beberapa kisah yang akan dipaparkan untuk melihat adanya realitas penyakit di dalam Perjanjian Lama. Meskipun tidak semua dituliskan dengan lengkap, beberapa fakta ini bagi penulis sudah cukup.
1. Musa Yang Kena Kusta (Kel. 4:6-7)
          Konteks Musa terkena Kuasa adalah saat Musa mempertanyakan tanda penyertaan Tuhan. Tuhan membuktikan dengan memberikan tanda yaitu tangan musa terkena kusta dan sesudah itu pulih. Namun penyakit Kusata yang terjadi pada Musa tidak lama. Peristiwa tersebut memperlihatkan bahwa Tuhan berotoritas atas sakit-penyakit, penyakit dapat hadir jika Ia menghendaki dan penyakit juga dapat hilang jika ia menghendaki.
2. Tulah Penyakit Sampar dan Barah di Mesir (Kel. 9:1-7; 12:1-16)
          Penyakit sampar yang terjadi di Mesir sangat jelas adalah tulah kepada bangsa Mesir. Penyakit tersebut hanya tertuju kepada bangsa Mesir, padahal di Mesir juga ada umat Israel. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa Tulah adalah kehendak Tuhan dan ditujukan khusus kepada satu bangsa untuk tujuan tertentu. Dalam konteks ini memperlihatkan tulah dimulai dan berhenti karena kehendak Tuhan. Dan Tulah tersebut dinyatakan melalui seorang utusan Tuhan bernama Musa. Tindakan Allah terhadap umat Mesir melalui tulah memperlihatkan bahwa Allah berotoritas lebih dari Firaun.
3. Miryam Terkena Kusta (Bil. 12:1-16)
       Miryam terkena kusta adalah bentuk hukuman yang dialami karena mengatai Musa. Kesalahan utama mereka bukan pada kritik terhadap perempuan Kush yang diambil Musa, tetapi mereka meragukan bahwa Musa adalah utusan TUHAN (ay. 2). Tindakan meragukan Nabi Tuhan membawa Miryam terkena kusta. Hal tersebut menunjukkan bahwa penyakit yang terjadi oleh karena dosa yang terjadi dan memperlihatkan bagaimana Allah membela hamba yang dipilih untuk menyampaikan Kebenaran. 
4. Naaman Yang Sakit Kusta (2 Raj. 5:1-19)
         Naaman terkena kusta padahal dia seorang panglima perang Kerajaan Aram. Seorang panglima juga bisa terkena sakit kusta. hal tersebut menunjukkan bahwa kekuatan fisik dan jabatan tidak bisa menghindarkan manusia dari serangan penyakit. Naaman pada kisah Alkitab mengalami kesembuhan deri penyakit Kusta setelah mencelupkan diri di Sungai Yordan sebanyak tujuh kali ata sperintah nabi Elisa. Kisah tersebut menunjukkan bahwa Tuhan berotoritas atas kesembuhan penyakit. Pada kisah selanjutnya Gehazi pembantu Elisa terkena sakit Kusta (2 Raj. 5:20-27) karena kebohongannya terhadap Elisa. Hal tersebut menunjukkan Tuhan berotoritas menghendaki penyakit hadir pada Gehazi sebagai realisasi penghukuman terhadap kebohongannya.
6. Raja Uzia yang Terkena Kusta (2 Taw. 26:1-21)
         Raja Uzia terkena sakit Kusta karena ia melakukan pelanggaran dalam ceremonial ibadah kepada Allah. Raja Uzia membakar korban yang bukan tugasnya. Tindakan raja Uzia akhirnya mendapat konsekuensi yaitu munculnya penyakit kusta pada dirinya. Hal tersebut dopahami sebagai tindakan Allah menghukum pelanggaran raja Uzia. Dari beberapa kasus menunjukkan bahwa penyakit Kusta sering menjadi alat yang Tuhan gunakan untuk menyatakan otoritasnya atas kesehatan manusia.
7. Raja Hizkia yang sakit (2 Taw. 32:24-33)
          Raja Hizkia hampir meninggal karena sakit, namun Tuhan memberikan kesembuhan kepadanya, umurnya ditambahkan oleh Tuhan. Setelah sembuh Hizkia menjadi tinggi hati dan ia menyesal kembali. Kisah tersebut menunjukkan bahwa Tuhan bukan hanya berotoitas menghendaki adanya penyakit dalam kehidupan manusia, tetapi lebih daripada itu Tuhan berotoritas menetapkan usia hidup manusia. Dari kisah Hizkia menunjukkan penyakit menjadi salah satu saranan untuk Tuhan membatasi usia hidup manusia. Namun penyakit juga menjadi salah satu sarana untuk menyatakan kemuliaan Allah.
Fakta Manusia yang Terkena Penyakit Dalam PB
         Secara ringkas Perjanjian Baru di dalam Kitab Injil banyak menunjukkan orang-orang yang terkena beragam penyakit baik itu sakit ayan, lumpuh, kusta, demam, sakit bungkuk, sakit busung air, sakit pendarahan selama 12 tahun dll  (Lih. Mat. 4:24, 8:2,6,14; Mar. 1:30, 40; Luk. 13:11, 14:2; Yoh. 4:46, 5:5). Pelaku utama dalam penyembuhan penyakit itu adalah Yesus Kristus. Dalam kisah-kisah Injil memperlihatkan bahwa penyakit tidak serta merta karena hukuman Allah atas dosa, tetapi karena Kehendak Allah akan dinyatakan. Banyak kasus orang-orang yang sakit dalam Kitab Injil lebih memfokuskan kepada penyataan Kerajaan Allah. Hal tersebut terlihat ketika Yesus melakukan penyembuhan penyakit maka damai sejahterah dihadirkan. Penyembuhan penyakit yang dilakukan Yesus menjadi salah-satu tanda realisasi Kerajaan Allah. 
        Dalam Kitab Injil memperlihatkan bahwa banyaknya manusia yang mengalami sakit-penyakit menunjukkan bahwa manusia tidak kebal terhadap penyakit. Tubuh manusia memiliki kekuatan yang terbatas untuk dapat menahan penyakit. Oleh karena itu kehadiran Yesus yang menyembuhkan penyakit, bukan untuk menyadarkan manusia bahwa setiap penyakit yang smebuh selalu butuh mujizat, tetapi tindakan Yesus menyembuhkan penyakit untuk menunjukkan integritas ajaran-Nya dan untuk menunjukkan bahwa manusia lemah dan kehidupan manusia butuh anugerah Allah.
Dalam Kisah Para Rasul juga memperlihatkan fakta-fakta di mana beberapa Rasul diberikan otoritas oleh Yesus untuk menyembuhkan penyakit (Lih. Kis. 3:1-10, 5:12-16, 19:12, 28:8). Paulus juga mengingatkkan Timotius agar meminum sedikit anggur karena ada masalah kesehatan. Selanjutnya dalam Kitab Yakobus ada penyakit yang disembuhkan dengan dioleskan minyak hal tersebut menunjukkan adanya pola penyembuhan penyakit. Sehingga manusia diingatkan Tuhan bahwa penyakit tidak hanya dapat disembuhkan dengan mujizat, Tuhan juga menghendaki cara-cara medis dan pola kesehatan untuk dapat menyelesaikan sakit-penyakit. 
Kajian Teologis
         Dengan demikian realitas penyakit telah muncul dalam kehidupan manusia sepanjang sejarah Alkitab. Fakta-fakta Alkitab menunjukkan bahwa penyakit yang dialami oleh manusia tidak terluput dari otoritas Allah. Penyakit tersebut bisa mendatangkan kematian, namun ada juga manusia yang bisa pulih dari penyakit. Oleh karena itu melalui fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa manusia memiliki kelemahan dalam tubuhnya sehingga penyakit dapat menyerang setiap manusia dalam usia berapa saja. Namun ada kasus-kasus yang perlu diperhatikan bahwa ada penyakit yang memang menunjukkan adanya problematika spiritualitas dalam kehidupan manusia. Penyakit yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah buah dari keberdosaan manusia yang jatuh ke dalam dosa. Keharmonisan kehidupan manusia menjadi rusak karena dosa, sehingga salah satu hal yang dialami oleh manusia adalah sakit penyakit. Tetapi perlu diingatkan bahwa tidak semua sakit penyakit disebabkan karena dosa. Penyakit adalah salah satu dampak kejatuhan manusia di dalam dosa, namun tidak berarti setiap manusia mutlak harus sakit meskipun statusnya manusia berdosa. Penyakit adalah kondisi disharmonis yang terjadi setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, oleh karena itu banyak fakta Alkitab menunjukkan manusia bisa mengalami maut karena sakit penyakitnya. 
Yesus Kristus telah melakukan karya penebusan dosa terhadap manusia yang telah dipilih untuk diselamatkan. Namun penebusan Yesus kepada manusia yang berdosa tidak nmenghilangkan realitas adanya penyakit di dalam dunia. Namun Yesus menyelesaikan masalah utama puncak dari serangan penyakit yaitu kematian. Kematian yang dimaksud ini adalah kematian kekal di neraka. Artinya Penebusan Yesus pada masa lalu dan masa kini tidak menghilangkan realitas bahwa manusia bisa terkena penyakit. Tetapi fokus utama adalah banyak penyakit yang menyerang manusia telah membawa manusia kepada kematian. Namun saat kematian ada banyak manusia yang masih terikat dosa karena tidak percaya kepada Yesus Kristus. Oleh karena itu Yesus Kristus memberikan sebuah fokus iman kepada manusia. Sehingga sekalipun sebagai mansuia kita akan mengalami penyakit, bahkan penyakit tersebut dapat mengahantarkan kita pada kematian fisik. Namun Karena karya penebusan Yesus orang percaya terbebas dari kematian kekal sekalipun mati karena penyakit secara fisik.
         Selanjutnya Ada konsep yang perlu dipahami bahwa dari mujizat menunju kepada hikmat. Artinya secara Teologis Allah pernah memberikan mujizat untuk penyembuhan penyakit, tetapi konteks terjadinya mujizat harus diperhatikan, beberapa konteks menunjukkan peristiwa tersebut tidak serta merta terjadi disemua zaman Alkitab. Hal tersebut dapat terlihat dari fakta Alkitab, mujizat hanya terjadi pada masa-masa tertentu dan dengan tujuan tertentu sesuai kehendak Allah. Pada masa PB dan masa kini, telah ada pola kesehatan medis dalam menyembuyhkan penyakit. Allah telah membukakan hikmat begitu banyak kepada manusia dalam berbagai bidang. Salah satunya dalam bidang medis, sehingga pada masa kini ada banyak obat yang telah diramu dan alat medis yang adapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit. Hal tersebut menunjukkan adanya pola dari Mujizat menunju kepada hikmat (from miracels to wisdom). Sehingga pada masa kini orang percaya dapat menggunakan sarana medis sebagai media penyembuhan penyakit. Namun orang percaya juga tidak bisa mengabaikan konsep bahwa tetaplah kesembuhan penyakit ada dalam kehendak Allah. Oleh karena itu orang percaya tidak bisa melupakan prinsip berdoa dan berjuang dalam mengahadapi penyakit.
         Penyakit hanyalah salah satu alat yang digunakan Allah untuk menunjukkan kepada manusia bahwa manusia adalah ciptaan yang tetap memiliki batasan. Baik itu batasan dalam hal kekuatan fisik, batasan usia dan batasan pengetahuan. Penyakit yang ada terjadi dalam kehdiupan manusia menunjukkan bahwa mansia harus memiliki sikap hidup yang rendah hati, artinya jika pintar soal medis tetap hormati Tuhan dan jika sedang sakit tetap hormati Tuhan. Ada banyak manusia ketika sedang sakit tidak hormati Tuhan, ada yang tidak menghormati dengan bergantung pada rasio saja yaitu hanya percaya pada ilmu-ilmu medis. Lalu ada yang tidak menghormati dengan bergantung pada ilmu-ilmu mistis. Oleh karena itu penyakit yang mewaranai banyak kehidupan mansuia dapat dipakai Allah untuk mengarahkan manusia agar menyagadari otoritas Allah atas kehidupannya. Karena manusia bisa saja dimatikan oleh penyakit, celakanya jika manusia dimatikan Allah melalui penyakit dan saat dimatikan manusia tidak menghormati Allah, maka manusia mengalami kondisi yang menyedihkan.
        Penyakit semakin mendorong manusia untuk melakukan mandat budaya (culture mandate). Allah telah memberikan mandat agar manusia berkuasa atas cipataan yang lain. Penyakit ada yang disebabkan karena makhluk ciptaan lainnya, sehingga manusia memiliki tanggung jawab untuk menaklukan penyakit tersebut dengan mengelola alam semesta ini untuk menemukan obat yang tepat. Dengan demikian manusia tidak bersifat pasrah dan menyerah terhadap penyakit yang dialami. Perjuangan orang percaya dalam menaklukan sakit penyakit dapat menunjukkan kesetiaan dalam melakukan mandat budaya. 
         Penyakit tetap ada dalam kedaulatan Allah. Fakta-fakta Alkitab menunjukkan  Allah berotoritas terhadap sakit penyakit. Lalu bukankah Allah berkarya mendatangkan kebaikkan?. Banyak orang percaya terjebak konsep salah memahami kebaikkan Allah, kebaikkan Allah sering dinilai secara subyektif oleh manusia. Sehingga menilai kebaikkan Allah dari sudut kebaikkan apa yang dialami secara pribadi dan banyak mengabaikan melihat kebaikkan apa yang terjadi di luar dirinya akibat penyakit yang dialami. Tidak ada satu bagian kehidupan mansuia yang terluput dari kedaulatan Allah. Penetapan Allah dari kekal tidak berubah. Oleh karena itu baik sakit penyakit tetap sudah ada dalam penetapan Allah yang kekal. Lalu bagaimana menilai penyakit yang hadir saat ini?. Alkitab menjelaskan bahwa penetapan Allah ada di dalam kasih-Nya, sehingga mansuia harus berpikir dengan luas terhadap fakta sakit penyakit yang terjadi dalam kehidupannya. Terkadang keberdosaan manusia cenderung mengarahkan manusia untuk berpikir secara sempit dan subyektif melihat kelemahan yang terjadi bahkan sakit penyakit. Oleh karena miliki perspektif yang luas untuk menilai apakah yang terjadi tidak ada kebaikkan. Allah di dalam penetapan-Nya atas sejarah membawa sejarah dunia untuk memuliakan nama-Nya. Sehingga manusia juga harus menyadari bagaimana tetap memuliakan Allah dalam situasi sulit oleh karena sakit penyakit.
Sikap Terhadap Covid-19
         Coronavirus Disease 19 (Covid-19) adalah penyakit yang disebabkan oleh karena virus. Penyakit yang ditimbulkan adalah gejala sesak nafas akut yang bisa membawa kematian. Hingga saat ini belum ada vaksin khusus untuk serangan virus ini. Bagaimanakah sikap orang percaya?. Rasa takut terhadap virus ini wajar, namun jangan sampai rasa takut akhirnya membuat orang percaya tidak memuliakan Tuhan. Justru dengan adanya virus ini orang percaya yang dipanggil Allah dalam bidang medis dan ilmuwan medis semakin menunjukkan perjuangan dan dedikasinya secara optimal untuk menemukan vaksin dan obat terjadap virus ini. Dan bagi orang percaya yang terpanggil dalam bidang ekonomi dan pengajar semakin menunjukkan dedikasinya dalam memuliakan Allah dengan memberikan pertolongan baik dana dan moral untuk menolong pengadaan alat-alat medisa dan para pengajar bersama-sama mensosialisasikan bagaiamana menjalani kehdiupan berdampingan dengan wabah Covid-19. Wabah virus ini memang banyak menimbulkan kemandekan bagi pola kehidupan manusia, tetapi kita tidak boleh menuntup mata bahwa meskipun dalam sudut pandang kita ada hal negatif yang terjadi yaitu kematian banyak orang karena virus. Namun kita melihat adanya pemulihan alam semesta di berbagai tempat. Banyak manusia menahan diri untuk mengeksploitasi alam dan memberhentikan pabrik-pabrik sehingga ada waktu alam menjadi segar kembali. Namun masih tetap sulit bagi manusia untuk bisa menilai adanya sebuah kebaikkan ditengah banyaknya kematian manusia karena virus ini. Sejarah pada abad pertengahan menunjukkan adanya wabah besar yang melanda Eropa dan membunuh banyak penduduk Eropa, namun situasi tersebut menuntut penduduk Eropa untuk hidup berdampingan dengan wabah dan terus berjuang menemukan obat yang tepat. Demikian juga realita kita saat ini, kita akan dituntut hidup berdampingan dengan Covid-19, meskipun itu dapat mematikan, tetapi sambil vaksin ditemukan kita dapat melaukan kheidupan kita dengan pola-pola yang tetap juga dilakukan dengan hikmat (memakai maske, social distancing, physical distancing, menjaga kebersihan lingkungan dll). Kita juga perlu memiliki kesadaran bahwa kematian tetap ada dalam otoritas Allah, meskipun ada manusia yang meninggal karena Covid-19 tetaplah kematian itu ditetapkan oleh Allah, hanya saja pada konteks tersebut Covid-19 menjadi salah satu alat untuk merealisasikan keterbatasan umur manusia. Namun orang percaya harus tetap menyadari ada juga manusia yang masih bisa sembuh dari virus tersebut. Oleh karena itu mari fokuskan kehidupan kita untuk selalu mempermuliakan Allah. Covid-19 bisa memmbunuh tubuh tidak membunuh iman. Covid-19 masih bisa dilawan dengan hikmat yang ada saat ini meskipun belum 100% berhasil tetapi Allah menghendaki kita juga menggunakan hikmat tersebut. Pusat kehidupan kita manusia adalah mempermuliakan Allah, sehingga jangan sampai ketakutan pada Covid-19 membaw kita gagal mempermuliakan Allah. 
Ecclesia Reformata Semper Reformanda Secundum Verbum Dei 



Rabu, 21 Agustus 2019

THEOLOGIA SALIB

Salib: Bukti Kasih dan Keadilan Allah, Penderitaan dan Kemenangan Bagi Orang Percaya.

Salib adalah sebuah simbol dalam iman Kristen. Dalam simbol itu memiliki makna Kasih dan Keadilan Allah.
Allah itu adil sehingga dosa pasti dihukum. Namun Allah itu kasih, sehingga Ia menghukum dosa dengan kasih-Nya. Kasih-Nya dalam menghukum dosa dibuktikan dengan memberikan Diri-Nya sendiri yang menanggung hukuman dosa. Itu adalah konsep Allah yang Mahakasih. Tidak ada tempat dan satu simbol manapun yang dapat memberikan bukti pertemuan kasih dan Keadilan Allah. Hanya di dalam Saliblah terjadi pertemuan kasih dan Keadilan Allah. Ketika memandang Salib kita teringat betapa kita manusia berdosa dan layak dihukum disinilah keadilan Allah kita rasakan, tetapi pada saat yang sama kita juga mengerti di Salib juga kita menerima bukti nyata kasih Allah, bahwa hukuman dosa kita telah diselesaikan oleh Yesus Kristus, sehingga ketika memandang Salib kita teringat akan Allah yang maha kasih.
Salib merupakan simbol kasih dan Keadilan Allah. Di dalam salib kita mengerti bahwa Allah telah mendamaikan kita dengan Diri-Nya, di dalam Salib kita melihat bahwa bentuk Vertikal menunjukkan bahwa salib memperdamaikan manusia dengan Tuhan, lalu bentuk Horizontal menunjukkan bahwa manusia diperdamaikan dengan sesama manusia.
Jadi ketika memandang Salib, kita mengerti sebuah konsep cinta kasih. Di dalam salib cinta kasih kepada Tuhan dan sesama terpancar. Di dalam salib pengampunan dinyatakan.

Salib juga mengingatkan manusia bahwa salib adalah simbol penderitaan. Setiap orang yang memandang salib harus mengerti bahwa hidup ini ada dalam pemderitaan, karena Yesus Kristus ketika di salib merasakan kelelahan, penderitaan, kesakitan dan kematian. Ketika kita memandang Salib maka kita diingatkan bahwa iman kita diperhadapkan dengan penderitaan. Hidup sebagai pengikut Kristus akan mengalami penderitaan. Namun pada saat yang sama pada waktu kita memandang salib, kita diingatkan akan sebuah kemenangan. Yesus meskipun merasakan penderitaan Salib, Ia menunjukkan kemenangan. Ia lelah di salib tetapi masih memikirkan kelelahan orang lain, Ia menderita di Salin tetapi masih memikirkan penderitaan orang lain, Ia akan mati di Salib tetapi memikirkan keselamatan orang lain, bahkan Ia diejek dan dicacimaki tetapi masih memberikan pengampunan, Ia berkata: "Ya Bapa ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat!". Yesus menunjukkan kemenangan atas penderitaan-Nya dan itu dibuktikan di atas kayu Salib. Saat di mana manusia bisa mengucapkan sumpah serapah dan caci maki karena rasa sakit di Salib justru Yesus tidak jatuh dalam dosa saat menderita, justru Ia menunjukkan kemenangan-Nya atas dosa saat di Salib. Bahkan kemenangan itu semakin nyata saat Ia benar-benar taat menyerahkan nyawa-Nya kepada Bapa-Nya. Ia bisa saja memakai otoritasnya untuk menghindarkan diri dari penderitaan Salib, tetapi Ia taat dan menang atas keinginan daging.
Dengan demikian ketika kita memandang Salib kita sadar kita akan menderita tetapi kita juga disadarkan bahwa kita dapat menang dalam menghadapi penderitaan, karena kita mengingat Yesus yang menang atas penderitaan di Salib.
Penutup
Salib menunjukkan keadilan dan kasih Allah. Salib menunjukkan penderitaan dan kemenangan. Berita tentang Salib memang banyak dibenci, namun makna kehidupan terdalam memancar dari Salib. Salib bukan sekedar simbol yang harus terpakai, tetapi salib adalah simbol yang harus dihidupi dalam keseharian orang percaya. Dengan menghidupi salib maka cinta kasih kepada Tuhan dan sesama terpancar dari diri seorang Kristen.

Mezbah = Salib
Dalam konteks PL, Allah menetapkan hukum penghapusan dosa dengan cara memberikan korban penebusan dosa yaitu Domba yang tidak bercacat. Korban tersebut dipersembahkan di atas Mezbah. Lalu apakah orang Kristen masa kini masih melakukan hal itu jika ingin menebus dosanya?... Tidak!.

Dalam konteks PB, Allah telah menggenapi hukum penghapusan dosa dengan cara memberikan korban penebusan dosa yang sempurna, yaitu Yesus Kristus. Yesus Kristus disebut dalam Injil Yohanes 1:29 sebagai "... Anak domba Allah, yang menghapus dosa manusia." Yesus sebagai penggenapan dari korban yang sempurna dalam menebus dosa. Yesus Kristus sebagai korban yang sempurna rela mengorbankan Diri-Nya di Kayu Salib.

Jika kita melihat dalam PL mezbah adalah tempat meletakkan korban penebus dosa yaitu Domba yang tak bercacat. Dalam PB Salib adalah tempat meletakkan korban penebus dosa yang sempurna yaitu Anak domba Allah Yesus Kristus. Jadi mezbah dalam PL adalah bayangan dari Salib dalam PB. Salib dalam PB memberikan terang untuk memahami penggenapan pengorban korban penebus dosa do atas mezbah.

Jadi di Saliblah kita melihat nilai pengorbanan yang begitu agung. Yesus Kristus rela mengorbankan Diri-Nya menjadi tebusan dosa banyak orang dan itu hanya dilakukan satu kali (Ibr. 9:28). Maka ketika kita menghidupi makna salib kita menjadi pengikut Kristus yang siap hidup dalam pengorbanan. Yesus mengorbankan hidup-Nya bagi manusia yang berdosa, maka kita juga harus siap berkorban agar manusia yang berdosa mengerti pengorbanan Kristus yang menebus dosa. Pengorbanan Kristus adalah pengorbanan yang menggantikan (subtitusi) hukuman, murka Allah atas manusia yang berdosa ditumpahkan kepada Yesus Kristus, sehingga siapa yang percaya kepada Yesus tidak ada di bawah hukuman murka Allah. Karena salib Kristus telah menjadi tanda pengorbanan dan kasih Allah.
Oleh karena itu membangun mezbah keluarga artinya keluarga Kristen harus menghidupi makna salib dalam keluarganya. Mezbah keluarga sejati adalah karya Salib Kristus. Keluarga yang membangun mezbah keluarga melihat dan mengerti makna salib yang menunjukkan cinta kasih, keadilan, pengorban, Penderitaan dan kemenangan.
Soli Deo Gloria

Ditulis oleh: Made N. Supriadi (23/08/2019)

Ditulis oleh: Made N. Supriadi (21/08/2019)

Kamis, 07 Maret 2019

SISA ISRAEL: Sebuah Refleksi Terhadap Roma 10:16 – 11:24

Oleh: Made Nopen Supriadi, S.Th
           Banyak sikap bermunculan baik positif dan negatif terhadap Bangasa Israel saat ini?, bahkan ada yang menghubungkan Israel = Kristen. Lalu jika ada tindakan Israel terhadap Palestina maka, beberapa kelompok mengartikan sama dengan orang Kristen yang melakukan kejahatan. Benarkah demikian? Oleh karena itu kita akan memahami tentang sisa Israel dalam konteks Pemikiran Rasul Paulus. Sisa Israel dapat dimengerti dalam dua sudut pandang: Sisa Israel secara National dan Sisa Israel Secara Spiritual.
1. Secara National:
Israel merupakan keturunan Yakub. Allah mengubah nama Yakub menjadi Israel. Dan dari anak laki-laki Yakub hasil pernikahan Lea dan Rahel: Ruben, Simeon, Lewi, Yehuda, Isakhar, Zebulon, Gad, Asyer, Benyamin, Dan, Naftali, Yusuf (Manase dan Efraim). Tanah Kanaan dibagi menjadi 12 bagian sesuai denagn suku Israel, namun Suku Lewi tidak mendapat bagian tetapi harus berada disemua bagian suku-suku secara khusus bertugas sebagai imam. Terbentuknya kebangsaan Israel bermula saat keluar dari perbudakan di tanah Mesir, selama 40 tahun di Padang Gurun mereka akhirnya memasuki tanah Kanaan. Allah langsung memerintah bangsa Israel melalui para orang pilihan-Nya baik itu Nabi, Imam dan para Hakim, inilah sistem pemerintah Theokrasi. Setelah Musa meninggal kepemimpinan dialihkan kepada Yosua, setelah Yosua meninggal Israel dipimipin oleh Hakim-hakim. Lalu Bangsa Israel menginginkan seorang Raja maka disinilah sistem monarki dimulai. Allah menunjuk Saul menjadi Raja, lalu Daud dan Salomo, pada tahun 930 setelah Salomo meninggal maka Kerajaan terpecah menjadi dua, yaitu Israel Utara dan Israel Selatan. Israel Utara di pimpin oleh Yerobeam dan Israel Selatan dipimpin oleh Rehabeam. Kerajaan Israel Utara terdiri dari 10 Suku (Ruben, Simeon, Isakhar, Zebulon, Gad, Asyer, Dan, Naftali, Manase, Efraim) dan Kerajaan Israel Selatan 2 Suku (Yehuda dan Benyamin). Mereka hidup berdosa dihadapan Tuhan dan Tuhan pakai Kerajaan yang berdosa untuk menghukum mereka Israel Utara dihukum Allah memakai Kerajaan Asyur pada tahun 722 BC terjadi pembuangan dan Israel Utara tidak pernah kembali sisa yang ada inilah yang berkawin campur dengan bangsa disekitar tanah Kanaan mereka inilah yang disebut sebagai Orang Samaria. Lalu Israel Selatan juga tidak bertobat dari dosanya, membanggakan Bait Suci yang hanya simbol tempat ibadah. Akhirnya Tuhan memakai Kerajaan Babel 612 BC Kerajaan Babel berhasil mengalahkan Kerajaan Asyur. Sehingga Israel selatan mengalami 3 kali pembungan ke Kerajaan Babel. 1. Pada tahun 605 BC inilah Daniel dan kawan-kawan (orang-orang pandai dan berhikmat di angkut ke Babel). 2. Pada tahun 597 inilah 18.000 penduduk Israel Selatan dan di dalamnya ada Yehezkiel. 3. Pada tahun 586 Para raja diangkut ke Babel dan bait Suci dihancurkan disinilah Yeremia melihat kondisi menyedihkan dari Israel. Setelah kurang lebih 70 tahun mengalami pembuangan ke Babel. Pada tahun 539 Allah membangkitkan Kerajaan Persia yang dipimpin oleh Raja Koresh mengalahkan Babel dan melalui Raja Koresh mereka diijinkan pulang ke tanah Kanaan dan membangun daerah mereka, melalui para Nabi Tuhan yaitu Hagai, Zakharia dan Maleakhi bangsa Israel kembali memabngun Bait Allah, Tembok Yerusalem dan beribadah kepada Allah. Jadi inilah sisa Israel secara national pada Konteks Tuhan Yesus dan Rasul Paulus hidup.
2. Secara spiritual
Pada waktu Allah berinkarnasi ke dalam Dunia (Yoh. 1:12) Israel banyak menolak Yesus sebagai Mesias, karena konsep tentang Mesias saat itu seorang pembebas secara politis dan membangun Kejaraajan Isarel seperti pada masa Raja Daud. Penyaliban Yesus Kristus merupakan titik mula pembagian Israel secara spiritual dari sisa bangsa Israel yang pulang dari pembuangan. Jadi Siapakah sisa Israel secara Spiritual?
a.     Orang Israel yang dipilih menurut Kasih Karunia (Roma 11:5).
Istilah ”menurut pilihan kasih karunia” dalam bahasa Yunani ”Eklogen Xaristos / pemilihan berdasarkan Anugerah”. Mengapa Anugerah? Dalam Roma 11:1-4 Paulus memakai sejarah Elia di mana Tuhan masih menjaha 7.000 orang tetap percaya kepada-Nya saat Elia melihat seluruh umat Israel berpaling dari Tuhan. Hal inilah yang menunjukkan bahwa telah ada pemilihan Allah dalam hal iman kepada Allah. Dalam sejarah umat Isarel merupakan bangsa Pilihan. Pemilihan sebagai bangsa berlaku kepada semua keturunan genetik dari Abraham, tetapi pemilihan dalam konteks keselamatan hanya kepada personal yang diberikan kasih karunia oleh Allah. Umat Israel yang dipilih oleh Allah merupakan orang-orang yang akan percaya kepada Yesus Kristus. Dalam Roma 10:14-17 menunjukkan bagaimana Iman tersebut diberikan Allah. Ayat 17 ”jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.” (lat. Ergo ex fides auditu, auditus atem per Verbum Dei). Prof. A. Berkeley Mickelsen, B.D., Ph.D menuliskan: ”Bila manusia percaya kepada Kristus mereka berseru kepada-Nya. Tidak mungkin orang berseru jika orang itu tidak percaya. Tidak mungkin orang percaya tanpa mendengar. Tidak mungkin orang mendengar tanpa ada yang memberitakan. Tidak mungkin ada yang memberitakan jika tidak ada yang diutus.” Jadi hal ini menunjukkan bahwa karena Allahlah yang mengutus, maka ada pemberitaan, maka ada yang mendengarkan, maka ada yang percaya maka ada yang berseru. Calvin menyatakan iman hasil dari pemilihan. Oleh karena itu untuk menjelaskan hal ini, pikiran kita dalam iman Kristen harus siap berpikir secara supra-rasional dan rasional. Secara supra-rasional kita mengimani bahwa iman pun diberikan Allah bagi orang yang ditentukan untuk diselamatkan. Dan secara Rasional kita melihat fakta-fakta bahwa orang yang beriman mengaku dengan mulut dan percaya dalam hati bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamatnya (Lih. Rom. 10:9-11).
Secara manusia Paulus melihat saat berita tetang Kristus telah diperdengarkan ke seluruh Israel (Roma 10: 18). Istilah memang ”mereka telah mendengarnya”. Namun konteks ayat yang dikutip tersebut berdasarkan Mazmur 19:5 tentang alam semesta yang dipersonifikasikan menggemakan nama Tuhan. Menjawab pertanyaan tersebut Dave Hagelberg, M.Th menuliskan: ”Dalam Mazmur 19 ayat ini menunjuk pada kesaksian alam semesta mengenai kemuliaan Allah, suatu kesaksian  yang telah menjangkau seluruh dunia. Seolah-olah Paulus berkata, ”Ya, sama seperti kesaksian alam semesta sudah sampai ke ujung bumi, demikian juga berita tentang pengorbanan Mesias sudah mencapai seluruh Israel.” Jadi berita tentang Yesus Kristus tidak mungkin tidak didengar oleh bangsa Israel, karena mereka tidak ada alasan untuk berdalih bahwa mereka tidak pernah mendengar. Tetapi Paulus kembali menuliskan bahwa semua karena kedaulatan Allah. Dalam The Five Point of Calvinism yang disingkat dengan Akronim TULIP yaitu tentang Unconditional Election (pemilihan tanpa syarat).  Edwin H. Palmeer menjelaskan: ”Allah tidak pernah mendasarkan pilihan-Nya pada apa yang manusia pikirkan, katakan, lakukan atau pada keberadaan manusia.”. Jadi sisa Israel secara spiritual adalah keturunan Abraham yang percaya kepada Yesus Kristus.
b.    Orang Israel yang merasakan cemburu Ilahi (Roma 10:19, 11:11,14)
Kata cemburu dalam bahasa Yunani ”parazelosai” dari kata dasar ”parazeloo” kata ini ditulis hanya 4 x di dalam PB (Rom. 10:19, 11:11,14 dan 1 Kor. 10:22). Kata cemburu ini jika dipahami secara positif merupakan cara untuk menarik perhatian. Dave Hagelberg menuliskan sebuah kisah nyata:
”Suatu percakapan yang sungguh terjadi beberapa tahun yang lalu di dalam sebuah asrama di Israel. Beberapa orang duduk bersama-sama membicarakan hal-hal rohani. Mereka semua orang Yahudi, ekcuali satu orang. Ternyata hanya satu di antara mereka yaitu orang Yahudi yang belum percaya kepada Tuhan Yesus. Setelah diskusi yang panjang Orang yahudi yang belum percaya Yesus ini bertanya kepada beberapa orang Yahudi diruangan tersebut dan mereka mengakui percaya Yesus sebagai Mesias, lalu tiba kepada seorang bukan Yahudi dan ia percaya juga bahwa Yesus adalah Mesias. Lalu orang Yahudi yang belum percay ini berkata: ”kamu bukan orang Yahudi kenapa bisa percaya Yesus”. Ternyata orang itu mulai mengerti bahwa Yesus-Dai yang lahir di Betlehem sebagai orang Yahudi, yang dinubuatkan dalam Kitab Suci orang Yahudi, dikenal oelh orang bukan Yahudi. Sedangkan ia sebagai orang Yahudi asli belum mengenal Dia. Jadi kecemburuan yang dimaksud untuk mengantarkan orang kepada Yesus.
          Oleh karena itu Rasul Paulus juga mengingatkan agar orang yang percaya dari Non Yahudi jangan menyombongkan diri dengan iman yang diberikan oleh Tuhan (Roma 11: 16-24). Karena Allah berdaulat dapat mengembalikan siapa saja menjadi ranting dari pohon zaitun-Nya.
Penutup
Israel memiliki nilai istimewa secara historis, tetapi tidak secara soteriologis. Israel sejati ialah orang yang dipilih Allah masuk dalam keselamatan di dalam Yesus Kristus.
Soli Deo Gloria

Selasa, 19 Februari 2019

MEMANDANG ALLAH DALAM KESALEHAN (Sebuah Refleksi Pemikiran Teologis Ayub dalam Kehidupan John Calvin)

Oleh: Made Nopen Supriadi, S.Th
Dalam Alkitab kata saleh ditulis dengan tamim. Kata tersebut muncul dalam pembahasan mengenai pribadi Ayub yang saleh. Kata saleh tersebut memiliki arti integrity, Perfect. Kesalehan adalah kehidupan yang dalam kondisi ideal. Hal tersebut tidak didapatkan begitu saja oleh manusia. Karena hanya Allah saja yang memiliki keidealan tersebut. Oleh karena itu secara teologis, manusia dapat hidup saleh karena Allahlah yang membentuk manusia dalam kesalehan. Tanpa Allah manusia tidak akan dapat menginginkan hal-hal yang baik apalagi saleh (Lih. Total Depravity of Man).
       Dalam kesalehan hidup Ayub, ia justru banyak mengalami problematika yang sangat berat. Iblis diijinkan Allah untuk mencobai Ayub. Pencobaan pertama bersifat eksternal, Ayub kehilangan seluruh harta, anak dan budaknya. Pencobaan kedua bersifat internal yaitu Iblis menghajar Ayub dengan penyakit kulit yang membuat istrinya tidak betah dan meminta agar mengutuki Allah. Namun Alkitab mencatat dalam kesemuanya itu Ayub tidak berdosa, bahkan ia memiliki sikap dan pandangan yang tetap ideal kepada Tuhan, dengan siap menerima bukan hanya baik tetapi yang buruk dari Tuhan. Kesalehan Ayub membuat ia tetap memiliki pemikiran teologis yang benar tentang Allah.
       Doktrin Teodisi menjadi hal yang terlihat dalam pemikiran Ayub. Ia percaya Allah tidak bersalah sama sekali dalam penderitaan yang ia alami. Ia tidak mau menuduh Allah dengan pandangan negatif. Kesalehan hidup Ayub memimpin dirinya berpikir benar tentang Allah tanpa memberikan tuduhan dan kecaman yang salah kepada Allah. Ayub tidak berteriak bahwa Allah jahat, Allah kejam tetapi ia justru tidak didapati berdosa dalam perkataannya kepada Allah saat penderitaan muncul.
      Buku Institutio yang ditulis oleh John Calvin (1509-1564), seorang tokoh reformator Gereja. Memberikan arahan agar manusia yang membacanya terarah kepada kesalehan hidup. Calvin tidak hanya membentuk pembaca secara intelektualitas dalam memahami Alkitab tetapi ia juga mengharapkan manusia mengerti akan kesalehan hidup dari buku tersebut. Jika kita melihat apa hubungan buku Intitutio dengan pengalaman hidup Calvin?.
      Dalam catatan Majalah Momentum no. 29/Triwulan I/1996 yang diterbitkan oleh Lembaga Reformed Injili Indonesia (LRII), menuliskan tentang sejarah kisah kehidupan keluarga Calvin. Berikut kisah seingkat kehidupan John Calvin dan keluarganya:

Kita melihat kehidupan John Calvin sebagai suatu kehidupan yang serius, akan tetapi pada saat kita melihat dia mencari seorang calon istri, ini merupakan suatu hal yang menarik yang cukup menggegerkan khususnya pada abad 20 ini. Sangatlah sulit ditentukan secara pasti kapan masa pencarian itu dimulai. Setelah Calvin menginjak usia 29 tahun dan menjalani masa kependetaanya di gereja berbahasa Perancis di pengungsian Strasbourg, dia tidak mempunyai banyak waktu untuk memikirkan masalah perkawinan. Di samping itu, dia pernah menulis bahwa, "Saya tidak akan pernah bercampur dengan orang-orang yang dituduh menyerang Roma, seperti orang-orang Yunani yang bertempur melawan Troy, yang hanya bisa mengambil istri orang lain." Jadi dia sama sekali tidak terburu-buru.

Akan tetapi Strasbourg lebih dari sekedar tempat pengungsian bagi Calvin. Tidak berapa lama setelah dia berada di kota itu, dia tinggal bersama dengan Martin dan Elizabeth Bucer. Martin adalah seorang pendeta yang ramah dari gereja St. Thomas di kota tersebut. Dan Elizabeth adalah seorang tuan rumah yang ramah juga seperti Martin. Rumah mereka terkenal sebagai "pondok kebenaran". John Calvin tidak pernah melihat suatu pernikahan yang begitu bahagia. Bucer sangat bahagia sehingga dia menganjurkan tentang pernikahan kepada semua rekan sepelayanannya "Calvin, kamu harus mencari seorang istri." Martin mengatakan ini kepada Calvin lebih dari satu kali.

Philip Melanchthon pernah sekali memperhatikan bahwa John Calvin kelihatan seperti seorang yang pendiam dan pelupa, walaupun itu bukan merupakan karakternya, setelah menghadiri suatu konprensi yang melelahkan sepanjang hari. "Baiklah! Baiklah!", kata Melanchthon, "...sepertinya theolog kita ini sedang memikirkan seorang calon istri." Pada saat itu, Melanchthon telah menikah selama 19 tahun dan pernikahannya merupakan suatu pernikahan yang bahagia. Ny. Melanchthon, adalah seorang yang humoris, yang merawat Philip dengan sangat baik. Satu-satunya keluhan yang pernah disampaikan Philip kepada John Calvin, adalah, "Dia (Ny. Melanchthon) senantiasa mempunyai pikiran bahwa saya akan mati kelaparan jika saya tidak selalu diberi makan yang banyak."

Demikian juga Calvin, menyadari bahwa dia memerlukan seseorang untuk memperhatikannya. Ketika dia pindah keluar dari "pondok kebenaran" Bucer, dia menyewa satu rumah untuk dirinya sendiri, saudara- saudaranya, adik tirinya dan beberapa murid yang tinggal bersama dengan dia. Dia merasa bahwa beban untuk mengurus suatu rumah tangga sangatlah sulit, dan pada saat yang bersamaan dia juga harus melayani sebagai seorang pendeta di gereja yang sedang berkembang. Ini merupakan alasan lain yang menunjang Calvin untuk mencari seorang pendamping. Oleh sebab itu, dia memberitahukan pada koleganya bahwa dia sekarang siap untuk dicarikan seorang istri dan dia terbuka untuk semua saran-saran.

Tentu saja, seperti biasa, dia tahu apa yang dikehendakinya. Kwalifikasi dari "pekerjaan" tersebut adalah : "Harus diingat bahwa apa yang saya harapkan dari istri saya - dia harus merupakan seseorang yang halus di dalam budi bahasanya, tidak terlalu rewel, hemat, sabar dan apabila memungkinkan dia harus bisa memperhatikan kesehatan saya juga. Saya tidak seperti anak-anak muda umumnya yang hanya jatuh cinta dan tertarik dengan keadaan fisik dari seseorang."

Pada saat itu, Calvin sedang menghadapi masalah sehingga dia berharap bebannya akan sedikit ringan apabila dia mempunyai seorang istri; walaupun sebenarnya tidak menyelesaikan masalahnya. "Saya tidak pandai menyimpan uang. Sangatlah mengherankan bagaimana uang saya semuanya habis untuk semua keperluan di luar keperluan biasa". Seperti apa yang dituliskan oleh T.H.L Parker, "...kesehatan Calvin sangatlah menurun, dia juga bukan merupakan seorang yang bisa mengatur diri sendiri, dia seorang yang tidak sabaran dan kemungkinan akan berubah menjadi lebih baik apabila dia menikah."

Pada kenyataannya, Calvin sangat yakin bahwa langkah berikut di dalam kehidupannya untuk tahun 1539 adalah menikah, sehingga dia menetapkan satu tanggal, beberapa hari setelah Paskah adalah merupakan hari pernikahannya. William Farel, teman dekatnya, yang akan melangsungkan upacara pernikahan tersebut. Tapi kita tidak tahu adalah apakah dia sudah memilih seorang calon istri?

Beberapa bulan kemudian, calon pertama dipertemukan dengan Calvin. Dia adalah seorang wanita Jerman yang kaya, yang mempunyai seorang kakak yang menjadi manajer kampanye wanita itu. Mereka merupakan pendukung Calvin yang setia, dan kakaknya berpendapat bahwa pernikahan di antara mereka berdua akan merupakan suatu pernikahan yang saling menguntungkan. Calvin sering mengatakan bahwa dia ingin sekali hidup sebagai seorang ilmuwan. Dan hasil dari royalti penjualan buku-bukunya tidak memberikan hasil yang cukup memuaskan; ini akan merupakan suatu hal yang membantu kehidupannya apabila dia menikah dengan seorang wanita yang kaya.

Akan tetapi, Calvin mempunyai dua permasalahan dengan calon pertama ini; alasan yang pertama - dia tidak mengerti sama sekali mengenai bahasa Perancis dan tidak menunjukkan itikad untuk mempelajarinya; alasan yang kedua - seperti yang dia jelaskan kepada Farel bahwa, "Dia pasti akan membawa emas kawin yang banyak dan hal tersebut akan sangat memalukan bagi diri saya, sebagai seorang hamba Tuhan yang miskin. Dan saya juga berpendapat bahwa dia juga tidak akan merasa puas hanya dengan menjadi seorang istri hamba Tuhan yang sederhana."

Farel mempunyai seorang calon yang cukup memenuhi syarat untuk dikenalkan dengan Calvin. Dia cukup mahir dalam bahasa Perancis, dan merupakan seorang Protestan yang saleh; akan tetapi berbeda usia mereka cukup jauh, di mana Calvin 15 tahun lebih muda dari wanita tersebut. Calvin tidak pernah menginginkan yang ini.

Calon berikutnya merupakan seorang wanita yang mahir di dalam bahasa Perancis dan dia juga tidak mempunyai harta yang berlimpah; teman- teman Calvin sangat menyetujui. Calvin kelihatannya sangat tertarik, dan merupakan suatu alasan yang cukup kuat untuk mengundang dia ke Strasbourg untuk berkenalan. Calvin sekali lagi mengingatkan Farel, "Apabila semuanya berjalan dengan lancar, dan ini yang sungguh-sungguh kita harapkan semua, maka upacara pernikahannya tidak akan ditunda dan melewati tanggal 10 Maret." Pada saat itu, Calvin telah berusia 31 tahun, tepatnya pada tahun 1540. "Saya harapkan kamu bisa hadir dan memberkati pernikahan ini," tetapi Calvin menambahkan, "saya akan kelihatan seperti orang bodoh apabila semua yang kita harapkan kali ini tidak akan berjalan sesuai dengan rencana." Dan ternyata rencana pernikahan tersebut tidak pernah terlaksana sesuai dengan yang telah ditetapkan.

John sangat malu dengan semua masalah yang ditimbulkannya dan semua surat-surat yang dikirimnya kepada William Farel; dia menulis di salah satu suratnya kepada Farel, "Saya masih belum menemukan seorang istri pun dan saya merasa sungkan untuk melanjutkan "pencarian" tersebut." Akan tetapi, pada saat dia berhenti untuk mencari, dia menemukan pasangannya. Di antara para jemaatnya ada seorang janda muda, Idelette de Bure Stordeur. Dia, suaminya dan kedua anaknya, datang ke Strasbourg sebagai penganut Anabaptis. Setelah mendengarkan khotbah- khorbah dari John Calvin mengenai eksposisi-eksposisi Alkitab, pandangan mereka berubah menjadi pandangan Reformed.

Jean Stordeur, suami Idelette, merupakan seorang pemimpin Anabaptis dan tidak diragukan bahwa John Calvin sering mendiskusikan masalah- masalah theologi dengan keluarga Stordeur di tempat kediaman mereka. Pada tahun 1537, ketika Calvin masih berada di Geneva, Stordeur telah datang ke kota itu untuk berdebat dengan para Reformator di kota itu. Stordeur kalah di dalam perdebatan tersebut dan diperintahkan untuk keluar dari kota itu dan kembali ke Strasbourg. Tidak kita ragukan bahwa diskusi itu dilanjutkan ketika dua tahun kemudian Calvin tiba ke Strasbourg. Pada akhirnya, Calvin berhasil menyakinkan mereka dengan ayat-ayat dari Alkitab mengenai perbedaan-perbedaan yang ada tetapi tidak semuanya. Di dalam beberapa hal, Calvin memasukkan beberapa hal mengenai pemikirannya sendiri. Tetapi setelah itu suami istri Stordeur mengikuti kebaktian di gereja Calvin, dan turut serta di dalam Perjamuan Kudus, anak mereka kemudian di baptis oleh Calvin - setelah melalui diskusi yang cukup lama; pada akhirnya seluruh keluarga Stordeur menjadi anggota jemaat di gereja tersebut yang mana anggota jemaatnya telah mencapai 500 orang pelarian dari Perancis dan negara- negara yang letaknya di bawah Perancis.

Kemudian pada tahun 1540 di musim semi, Jean Stordeur diserang oleh penyakit pes dan tiba-tiba meninggal. Idelleta menangisi kematian suaminya, John Calvin merasa sedih karena kehilangan seorang teman. Pada saat John Calvin sudah menyerah mengenai rencana pernikahan oleh karena kegagalan-kegagalan sebelumnya pada saat itulah teman- temannya, pendeta Martin Bucer menganjurkan kepada Calvin, "Mengapa tidak mempertimbangkan Ideletta sebagai calon istrimu?". Dan John Calvin benar-benar mempertimbangkan saran tersebut.

Idelette adalah seorang wanita yang menarik, cerdas, seorang yang berbudi bahasa, dan dia berasal dari kalangan kelas menengah atas. Dia juga seorang wanita yang berkarakter dan sangat bersemangat. Tidak memerlukan waktu terlalu lama bagi sang Reformator untuk menulis surat kepada William Farel, meminta kesediaan dia untuk datang dan melangsungkan upacara pernikahan tersebut. Kali ini bukanlah alarm yang salah lagi; dan pada bulan Agustus, John dan Idelette resmi dinikahkan.

Untuk Idellette, dia lebih memperhatikan kesejahteraan anak-anaknya bahwa mereka memiliki seorang ayah yang baik, sedangkan untuk John, dia merasa lega oleh karena telah menemukan seorang istri yang baik. Penyesuaian besar pertama bagi Idellete adalah pindah ke asrama Calvin dan tinggal bersama dengan para murid-muridnya, dan belajar untuk menyesuaikan diri dengan pengurus rumah tangga yang mempunyai lidah yang "tajam".

Idellete juga harus dihadapkan dengan masalah kesehatan. Mereka berdua, jatuh sakit tidak lama setelah hari pernikahan mereka dan diharuskan untuk tinggal di tempat tidur. Calvin mengirimkan kartu ucapan terima kasih kepada William Farel dan mencantumkan, "...sepertinya semua ini telah diatur, sehingga pernikahan kami tidak berkesan terlalu "menggembirakan", Tuhan telah memberikan suatu kebahagiaan yang sepantasnya kami dapatkan."

Di dalam tulisan-tulisannya, John Calvin tidak pernah banyak menyinggung masalah-masalah pribadinya, dan demikian juga mengenai istrinya. Sama sekali berbeda dengan Martin Luther - akan tetapi melalui surat-suratnya kita bisa menarik suatu kesimpulan bahwa Idellete adalah adalah seorang istri yang benar-benar memperhatikan suaminya, demikian juga kepada anak-anaknya. Penulis biografi Calvin menyimpulkan bahwa Idelette adalah seorang wanita yang kuat dan berpribadi; dan John Calvin sendiri menggambarkan dia sebagai seorang penolong yang setia darinya, serta merupakan seorang teman hidup yang paling menyenangkan. John Calvin pastilah tidak kecewa dengan pernikahannya tersebut.

Walaupun dia sangat menikmati kebersamaan Idelette di sampingnya, akan tetapi pada tahun pertama pernikahan mereka - dia tidak begitu mempunyai banyak waktu. Setelah mereka sembuh, John Calvin harus berkeliling, meninggalkan Idellete untuk mengurusi permasalahan- permasalahan yang timbul di asrama, demikian juga kedua anak-anaknya sendiri. Sebenarnya John Calvin tidak ingin pergi, tetapi Raja Charles, penguasa Holy Roman Empire telah memanggil para pemimpin- pemimpin Roma Katholik dan para Sarjana Protestan untuk berkumpul dan mendiskusikan bagaimana mereka bisa menghentikan perdebatan di antara mereka dan membentuk satu kesatuan untuk melawan kerajaan Turki yang hendak menguasai pemerintahannya.

Setelah tiga bulan kemudian, John Calvin kembali ke rumah untuk sebulan lamanya, sebelum dia harus kembali melanjutkan tugas pelayanannya untuk menghadiri suatu konferensi yang dihimpun oleh Raja Charles. "Saya dipaksa untuk pergi", dia menuliskannya, tetapi dia berangkat juga.

Ketika dia menghandiri konprensi tersebut, dia menerima kabar bahwa Strasbourg diserang oleh wabah penyakit pes. Dia sangat mencemaskan istrinya. "Siang dan malam, saya selalu memikirkan istri saya." Dia menyadari bahwa penyakit pes ini telah mengambil nyawa suami Idelette setahun yang lalu, ada kemungkinan Idellete akan terserang oleh penyakit tersebut oleh karena dia belum pulih benar setelah sembuh dari sakitnya. Dia menulis surat kepada istrinya dan meminta dia untuk meninggalkan Strasbourg, sampai wabah penyakit tersebut berlalu.

Akan tetapi, Idelette telah bertindak duluan. Dia telah membawa anak- anaknya untuk mengungsi ke rumah kakaknya, Lambert. Lambert dulunya adalah seorang tuan tanah yang kaya di Liege, sebelum dia dipaksa untuk pergi dan meninggalkan semua yang dimilikinya. Tetapi hanya dalam beberapa tahun saja semenjak kedatangannya di Strasbourg, dia kembali memulihkan reputasinya menjadi seorang penduduk yang terhormat.

Pada penghujung tahun tersebut, John Calvin dipanggil kembali untuk menghadiri suatu konprensi. Dia dan Idelette terpisah selama 32 minggu dari 45 minggu pertama semenjak hari pernikahan mereka. Walaupun demikian, John Calvin masih dihadapkan pada suatu tantangan yang lebih besar daripada hanya sekedar perpisahan mereka yang cukup lama. John Cavin dihadapkan pada suatu dilema dimana dia disuruh untuk kembali ke Geneva. Dia tidak mau pergi, "Saya lebih baik menghadapi "100 kali kematian" daripada diberi kebebasan untuk memilih, saya lebih baik melakukan apa saja yang lain di dunia ini."

Tetapi pada bulan September, tahun 1541. John Calvin menuju Geneva untuk melihat kemungkinan apakah dia harus merubah pikirannya. "Saya menyerahkan hati saya kepada Tuhan sebagai persembahan", dia menuliskan. Idelette tinggal di Strasbourg untuk sementara, sampai Calvin merasa yakin kalau Geneva akan aman untuk Idelette dan anak- anaknya. Geneva memberikan John Calvin banyak hadiah. "Ada jubah baru dari kain beludru hitam, yang dihiasi dengan bulu domba. Dan disediakan rumah di Rue de Chanoines, yang terletak di suatu jalan kecil dekat katederal. Di belakang rumah tersebut didapati taman yang menghadap ke danau yang biru." Para dewan anggota mengirimkan kereta kuda mewah untuk menjemput Ideletta, anak-anaknya dan membawa semua perabotan dari Strasbourg ke Geneva. Ini merupakan suatu perpindahan yang traumatis baik bagi Idelette maupun John Calvin sendiri. Strasbourg telah menjadi rumah bagi Ideletta dan juga anak-anaknya. Apalagi kakaknya, Lambert, beserta keluarganya juga tinggal di Strasbourg. Semua yang diketahui oleh dia mengenai Geneva adalah berdasarkan cerita pengalaman John Calvin selama dia berada di Geneva, dan semuanya itu menggambarkan suatu ketidakpastian dan kebimbangan, jika bukan pencobaan dan penderitaan.

Pada akhirnya, Idelette pergi juga menuju Geneva. Dan setelah dia mulai menetap di rumah baru mereka di Rue de Chanoines No. 11, dia merasa bahagia. Keadaan di Geneva sama sekali berbeda dengan keadaan di asrama Strasbourg yang penuh sesak.

Para dewan kota meminjamkan Calvin perabotan-perabotan, oleh karena mereka tidak memiliki banyak perabotan. Di belakang rumah mereka ada kebun yang ditanami sayur, pohon-pohon untuk obat dan bumbu masak dan juga ditanami berbagai bunga yang mengharumkan udara, semua ini dirawat oleh Idelette. Ketika para tamu berkunjung, dengan bangga John Calvin menunjukkan kepada mereka kebun yang dirawat oleh Idelette.

Pada musim panas mereka yang pertama di Geneva, Idelette melahirkan seorang bayi laki-laki prematur. Si kecil Jacques meninggal dunia pada usia 2 minggu. Ini merupakan suatu pukulan yang berat untuk mereka berdua. "Tuhan memberikan suatu pelajaran kepada kami melalui kematian putera kami." John menuliskan kesedihannya kepada sesama koleganya. "Tetapi Dia sendiri sebagai seorang Bapa, mengetahui apa yang terbaik untuk anak-anak-Nya."

Tiga tahun kemudian, putri mereka juga meninggal pada saat dilahirkan, dan dua tahun kemudian, ketika John dan Idelette menginjak usia 39 tahun, lahirlah anak ketiga yang prematur, yang juga meninggal kemudiannya. Setelah semua kejadian yang menimpa mereka, kondisi kesehatan Idelette mulai menurun; yang disertai dengan batuk-batuk yang memberatkannya.

Walaupun kehidupan di Geneva bagi John Calvin lebih baik, akan tetapi ini juga bukan merupakan suatu kehidupan yang mudah. Dia mempunyai banyak musuh di kota tersebut sama seperti ia mempunyai banyak sahabat. Beberapa penduduk kota tersebut memanggil anjing-anjing mereka "Calvin". Tetapi yang membuat Calvin lebih marah, apabila mereka juga mengikutsertakan Idelette di dalam gunjingan mereka.

Pernikahan Idelette yang pertama dengan John Stordeur bukanlah merupakan suatu pernikahan yang bersifat suatu upacara pemberkatan resmi, oleh karena ajaran Anabaptis mempercayai bahwa pernikahan itu merupakan suatu hal yang sakral, bukan merupakan suatu tindakan hukum. Beberapa tahun kemudian, gunjingan-gunjingan tersebut makin meluas ke seluruh kota dan mereka berpendapat bahwa Idellete adalah seorang wanita yang mempunyai reputasi yang jelek, dan bahwa kedua anaknya tersebut itu lahir di luar nikah. John Calvin dan Idelette pada saat ini tidak bisa mempunyai anak, mereka mengatakan bahwa Tuhan sedang menghukum mereka oleh karena perbuatan-perbuatan amoral Idelette di waktu lampau.

Walaupun kesehatan Idelette semakin menurun, Idelette tetap berusaha unuk menjaga supaya John tetap berada pada keadaan emosi yang stabil. Teman-teman mereka mengatakan bahwa John berada pada keadaan di mana dia bisa mengontrol emosinya dengan baik, walaupun dia harus dihadapkan dengan berbagai macam serangan.

Idelette masih berusia 30 tahunan ketika dia diserang oleh penyakit, kemungkinan tuberkulosa (TBC), yang merupakan penyebab utama dari kemunduran kesehatannya. Di bulan Agustus 1548, John Calvin menulis, "Dia begitu dikuasai rasa sakitnya sehingga dia sendiri hampir sama sekali tidak mampu untuk mendukung dirinya sendiri." Pada tahun 1549, ketika dia berusia 40 tahun, dia terbaring dengan lemahnya. Idelette hanya baru menikah dengan John untuk 9 tahun, pada saat dia terbaring sakit. Di tempat tidurnya, Idelette mempunyai dua masalah yang sangat diperhatikannya. Salah satunya adalah bahwa sakit penyakitnya janganlah sampai menghalangi pelayanannya Jon Calvin. Yang satunya lagi adalah anak-anakNya.

Di kemudian hari, di salah satu surat John Calvin, dia menuliskan, "Semenjak saya mengetahui bahwa kekhawatirannya terhadap anak-anaknya akan sangat menghabiskan tenaganya, saya mengambil kesempatan ini, tiga hari sebelum hari kematiannya untuk mengatakan bahwa saya tidak akan mengecewakan dia di dalam bertanggungjawab terhadap anak- anaknya." Dia kemudian membalas saya dengan berkata bahwa, "Saya (Idelette) telah mempercayakan anak-anak saya ke dalam tangan Tuhan." Ketika saya menjawab dia bahwa biarpun demikian, saya (John Calvin) tidak akan hanya berpangku tangan dan tidak melakukan apa-apa. Kemudian dia menjawab, "Saya mengetahui bahwa kamu tidak akan melalaikan itu semua, walaupun engkau tahu telah saya serahkan sepenuhnya ke dalam tangan Tuhan."

Pada hari kematiannya, John sangat terkesan dengan ketenangannya. "Dia tiba-tiba berseru sehingga semua orang bisa melihat bahwa rohnya telah meninggalkan dunia ini. Inilah seruan terakhirnya,"Ya kebangkitan yang mulia! Ya Allah Abraham dan Bapa dari kami semua, sungguh semua orang percaya sepanjang abad yang telah percaya kepada-Mu tidak menaruh pengharapan kepada hal yang sia-sia. Dan sekarang saya memusatkan pengharapan hanya kepada-Nya." Kalimat pernyataan yang singkat ini lebih diserukan secara nyaring daripada hanya sekedar suara bisikan. Ini bukan merupakan suatu pernyataan yang didiktekan oleh orang lain kepada dia. Pernyataan tersebut merupakan kata-kata yang keluar dari pemikirannya sendiri."

Satu jam kemudian, Idelette sudah tidak dapat berbicara dan dia berada dalam keadaan setengah sadar. "Akan tetapi raut wajahnya masih mencerminkan suatu tanda kesadaran mentalnya", John berusaha untuk mengingat peristiwa pada saat itu. "saya membisikkan beberapa kata kepada dia mengenai anugerah Kristus, pengharapan akan kehidupan kekal, pernikahan kami dan kematiannya yang diambang pintu. Kemudian saya berpindah ke samping dan berdoa. Tidak lama kemudian, dia secara perlahan-lahan menghembuskan nafasnya yang terakhir."

John menghadapi masa-masa kesedihan yang sangat mendalam. Dia menulis kepada temannya, Viret, "Kamu mengetahui bagaimana pekanya perasaan saya. Jika saya tidak mengontrol diri saya dengan kuat, saya tidak akan mampu menghadapi masa-masa sulit tersebut sampai saat ini. Kesedihannku sangat mendalam. Teman hidupku yang terbaik telah "diambil" dari kehidupanku. Apabila saya menghadapi kesulitan, dia selalu siap untuk mendengarkannya dan saling berbagi-rasa, bukan hanya dalam pembuangan dan kemiskinan bahkan sampai pada saat terakhir kepergiannya pun dia masih mendengarkan saya."

Surat kepada temannya, William Farel, dia menuliskan bahwa "Saya tidak dapat menjauhi diri saya dari kesedihan yang sangat memukul ini. Teman-teman yang lain juga berusaha untuk menghibur saya...Sekiranya Tuhan Yesus... memberikan saya kekuatan di dalam pencobaan yang berat ini." John Calvin baru berusia 40 tahun pada saat Idelette meninggal dunia, tetapi dia tidak pernah menikah lagi. Di kemudian hari, dia menceritakan tentang keunikan Idelette dan dia bermaksud untuk menghabiskan sisa hidupnya di dalam "kesendirian".

Kehidupan Idelette de bure Calvin merupakan suatu kehidupan yang dipenuhi dengan kepedihan, tetapi dia tidak pernah merajuk, dia membawa kebahagiaan dan damai di manapun dia berada. John telah mengetahui banyak mengenai Allah Bapa itu berdaulat, tetapi melalui kehidupan dan kematian Idelette, Idelette mengajari dia mengenai Roh Kudus sebagai Penghibur. 
         Dari peristiwa tersebut memperlihatkan bahwa Calvin yang memiliki hidup yang saleh, dan percaya juga pada predestinsi Allah, tidak pernah menghakimi Allah atas kesulitan hidup yang dialaminya. Sehingga dengan demikian, kehidupan yang saleh sangat penting agar kita mampu mengehentikan dan membatasi asumsi-asumsi negatif terhadap Tuhan atas penderitaan yang kita alami. Justru kesalehan yang diberikan Allah membawa kita untuk memuliakan Allah dalam penderitaan kita. Kehilangan bisa menimbulkan kependihan di hati dan bisa membawa hati kita marah kepada Tuhan tetapi dalam kesalehan kita menyadari Allah tidak pernah salah dan Allah tetap mulia.
Ecclesia Reformata Semper Reformanda, Secundum Verbum Dei.