Minggu, 28 Februari 2021

IMAN & DELUSI (YOHANES 14: 21)

Bagaimana kita menunjukkan iman?. Ada banyak fenomena dan realita manusia menujukkan apa yang diimaninya, salah satunya dengan mengenakan pakaian agama, menguncapkan istilah-istilah agama, lalu menghadiri pertemuan-pertemuan agama. Ekspresi tersebut tidak salah, nasmun belumlah cukup, karena itu hanya kepada relasi kepada diri sendiri dan Tuhan.  Oleh karena itu apa yang dimani bukan hanya ditujukan kepada diri sendiri tetapi kepada sesama manusia. Pada bagian ini manusia masih banyak yang mengalami kesulitan dan kendala, bahkan gagal menujukkan relasi yang baik dengan sesama sekalipun beragama, oleh karena itu problematika ini sering membawa agama dan iman hanya sebatas delusi. Karena iman tersebut belum mampu menujukkan bukti nyata kepada sesama.

Pada abad kekristenan mula-mula untuk menujukkan apa yang diimani membutuhkan banyak pengorbanan bahkan nyawa, sehingga iman yang sejati terlihat dari kesetiaan dan kesiapaan untuk menghadapi kematian karena iman kepada Yesus Kristus. Sembari berhadapan dengan aniaya namun orang kristen mula-mula juga menujukkan kasih dan pengampunan terhadap yang membencinya. Sebuah kisah pada abad ke 2 pada masa pemerintahan Kaisar Marcus Aurelius (161-170 M) penganiayaan menyebar di beberapa kota di kekaisaran Romawi, salah satu kisah yang dicatat di Perancis (Gaul) tentang kisah Blandina. Ia ditangkap dan disiksa oleh prajurit romawi dan dipaksa untuk menyangkal imannya. Dalam penyiksaan itu ia berkata: "Saya orang Kristen. Kami tidak melakukan sesuatu yang membuat kami perlu merasa malu."  Mendengar perkataan itu Parjurit Romawi semakin geram. Balandina digantung disebuah tiang salib, namun karena masih hidup ia dimasukkan ke arena singa-singa yang kelaparan namun singa-singa tidak menyentuhnya hal itu terjadi sampai dua kali. Namun pada kali yang ketiga dia serang oleh para singa, namun ia belum mati, kemudian tentara membawanya untuk dicambuk, kemudian dimasukkan ke dalam jaring dan diseret banteng liar dan didudukan di sebuah kursi logam yang membara dengan telanjang. Namun ia belum juga mati, lalu seorang prajurit menghunuskan pedangnya untuk membunuh Blandina. Peristiwa tersebut menujukkan bahwa terkadang iman ditunjukkan dengan kesetiaan dan ketaatan meskipun menderita. Tidak selalu iman ditunjukkan dengan aktivitas-aktivitas keagamaan tetapi sikap hidup.
 
Apa itu iman?. Ibrani 11: 1 menyatakan: "iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari sesuatu yang tidak kita lihat." Pada ayat ini ada dua prinsip penting yang perlu kita pahami tentang iman, dalam kaitannya secara umum dan secara khusus tentang keselamatan. Pertama, ungkapan "iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan." Prinsip ini menunjukkan bahwa secara umum manusia memiliki pengharapan. Pengharapan manusia secara umum dapat semakin besar dan dapat semakin kecil hal tersebut bergantung pada dasarnya yaitu iman. Setiap manusia memiliki harapan, harapan semakin besar jika manusia melihat banyak hal positif dan baik yang mendukung untuk mewujudkan harapan. Contoh: Manusia berharap bahwa ia akan menikah, harapan tersebut semakin besar ketika manusia diyakinkan ada seorang pasangan yang menerima dirinya, lalu setelah menikah ada harapan untuk mempunyai seorang anak, harapan tersebut semakin besar ketika diyakinkan dari hasil USG sang istri telah mengandung, kemudian harapan berlanjut agar anaknya sukses dan mandiri, harapan tersebut semakin besar ketika diyakinkan dengan prestasi anak di sekolah yang baik dan terbukannya lowongan pekerjaan bagi sang anak, selanjutnya harapan untuk menikah dan memiliki cucu hadir di dalam diri orang tua, dan harapan tersebut semakin besar tak kala diyakinkan dengan sang anak yang serius untuk mau menikah. Dengan demikian manusia secara umum memiliki sebuah pengharapan dan harapan tersebut semakin besar tak kala ada sesuatu dasar yang meyakinkan akan terwujudnya harapan tersebut.

Harapan yang tidak bisa dilihat dengan mata jasmani dan dipegang dengan tangan, namun hal itu adalah sebuah kenyataan yang hanya dapat dimengerti oleh masing-masing manusia.Namun harapan juga dapat semakin kecil, ketika manusia diperhadapkan dengan banyak hal negatif dan kesulitan. Tidak ada banyak hal yang mendukung dan menyakinkan untuk mencapai harapan tersebut. Sebagai contoh: ketika manusia berharap ingin bisa menikah, namun belum juga mendapatkan orang yang mau menerima dirinya maka harapan untuk menikah menjadi kecil. Apalagi jika ada orang tua yang berharap akan dapat menimang cucu, namun melihat kondisi tidak menyakinkan dan tidak mendukung karena anaknya belum menikah, maka harapan menjadi kecil bahkan bisa terjatuh dalam keputus asaan. Dengan demikian secara umum setiap manusia memiliki pengharapan dan harapan tersebut bisa semakin besar dan kecul berdasarkan dari sesuatu yang mampu meyakinkan dirinya.

Mari kita refleksikan dalam konteks rohani. Manusia memiliki harapan, jika mati maka harapannya masuk surga. Untuk memperbesar harapan tersebut maka manusia melakukan banyak hal untuk memberikan keyakinan bahwa harapan masuk ke surga semakin besar. Manusia berbuat baik, melakukan kegiatan sosial dan banyak menolong sesama, hal-hal demikian dirasakan memberikan dasar keyakinan bahwa ia akan masuk surga. Namun tak kala manusia mendapatkan sebuah panggilan Injil, Roh Kudus memimpin manusia kepada kebenaran dan ketika membaca Alkitab menemukan fakta bahwa "semua manusia berdosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah" (Rom. 3: 23) maka manusia yang pertama telah memiliki harapan yang besar menjadi merenung dan bertanya apakah benar saya akan dapat masuk surga?. Harapan yang besar yang dibangun dengan perbuatan baik, dengan aksi sosial dan suka menolong sesama mulai goyah dan mengcil, keraguan mulai muncul, perbuatan baik tidak mampu memberikan keyakinan apakah bisa ke surga. Lalu ketika kembali membaca Alkitab maka diingatkan bahwa "tidak ada yang benar seorang pun tidak" (Rom. 3: 10). Maka semakin mengecilah harapan manusia yang ingin ke surga, perbuatan baik mulai gagal meyakinka untuk ke surga. Ditambah lagi ketika manusia membaca Alkitab dan menemukan pernyataan: "sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu (Taurat), tetapi mengabaikan satu bagian dari padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya." (Yak. 2: 10). Maka semakin kecil dan habislah harapan manusia untuk kesurga. Manusia mulai mempertanyakan di dalam dirinya apakah saya telah melakukan seluruh hukum Taurat dengan benar dan sempurna?. Maka Roh Kudus yang bekerja akan menyakinkan manusia bahwa betapa berdosanya manusia dan tidak ada kesempatan masuk ke surga dengan perbuatan baik. Maka pada titik ini, perbuatan baik yang dilakukan tidak mampu memberikan harapan yang besar kepada manusia, manusia telah kehilangan harapan dan putus asa karena tidak ada kepastian apakah setelah mati saya masuk surga?. 

Selanjutnya Roh Kudus memimpin manusia untuk terus membaca kebenaran Injil, maka manusia mendapatkan pernyataan Alkitab bahwa hanya karena kasih karunia maka manusia diselamatkan oleh iman, itu bukan hasil perbuatan manusia tetapi pemberian Allah, sehingga manusia tidak bisa memegahkan diri (Ef. 2: 8-9).  Ketika Roh Kudus menuntun manusia semakin memahami kebenaran, maka Injil menuntun manusia kepada Yesus Kristus. Manusia ditunjukkan kepada pribadi dan karya Yesus. Manusia menemukan Yesus yang secara pribadi mampu melaksanakan hukum Taurat dengan sempurna dan Yesus juga yang menggenapi pelaksanaan penghukuman atas manusia yang gagal dan terkutuk di bawah kuasa hukum Taurat. Manusia semakin dibawa untuk menyadari kebutuhannya akan keselamatan, Yesus berkata ketika Ia datang nanti apakah Ia akan menemukan iman di bumi?. Dengan demikian Allah bukan lagi melihat perbuatan baik, tetapi adakah iman manusia yang meyakini bahwa Yesus Kristus adalah Mesias yang telah mati menggantikan manusia yang berdosa. Pada titik ini maka manusia mulai memiliki pengharapan akan keselamatan, keyakinan untuk hidup di surga muncul karena Yesus Kristus yang menjamin, maka iman memperbaharui pengharapan manusia dan meneguhkan pengharapan manusia akan kehiduapn kekal di Sorga. Dengan demikian manusia berada pada titik kehidupan iman yang sejati di dalam keselamatan. 

Kedua, ungkapan selanjutnya yaitu tentang iman adalah bukti segala sesuatu yang tidak kita lihat. Pernahkah kita bertanya, kenapa ada bumi, kenapa ada matahari dan kenapa ada bulan?. Kenapa ada musim, laut, pemandangan alam dan alam semesta yang teratur?. Kenapa bisa demikian?. Pertanyaan tersebut akhirnya mampu dijawab dan membuat hati manusia tenang ketika manusia meyakini bahwa karena 'Tuhanlah maka semua tercipta dan terpelihara.' Namun coba manusia mentiadakan Tuhan untuk menjawab pertanyaan tersebut?. Maka manusia pasti akan memiliki rasa bingung dan ketidakmampuan untuk bisa memberikan penjelasan detail tentang hal tersebut, karena manusia perlu membangun teori-teori dan teori-teori tersebut perlu mendapatkan sebuah pengakuan. Namun sehebat apapun teori belum mampu untuk memuaskan adanya keyakinan iman bahwa Tuhanlah yang beperan utama dalam penciptaan dan pengaturan alam semesta. Meksipun di masa yang akan datang Tuhan akan membukakan hikmat kepada manusia lebih dalam dan banyak untuk mengetahui misteri alam semesta, namun pada masa kini keyakinan iman tetaplah memiliki peranan penting untuk menjawab sesuatu yang tidak mampu manusia lihat kembali, yaitu masa lalu dan masa yang akan datang.

Dalam kaitan dengan iman dan keselamatan, manusia tidak pernah melihat Yesus, tidak pernah melihat surga atau neraka. Namun di dalam diri manusia memiliki sebuah keyakinan bahwa Yesus telah memulihkan kehidupannya, keyakinan akan kelahiran baru, keyakinan akan iman, keyakinan akan pertobatan dan keyakinan akan menjalani hidup yang baru, bahkan manusia merasa telah melihat surga sekalipun tidak benar-benar melihat secara mata jasamni, namun iman yang sejati menjadikan nyata apa yang manusia belum bisa lihat. Manusia juga memiliki keyakinan bahwa Alkitan adalah firman Allah dan mempercayai isi Alkitab sebagai kebenaran darimanakah sumber keyakinan ini?. Siapakah yang memberikannya?. Maka inilah iman Kristen yang sejati, ia bukan sekedar keyakinan yang bersandar pada perasaan dan pikiran tetapi berdasar pada Alkitab.

Dalam Yohanes 14: 21 Yesus berkata barasiapa "memegang perintah-Ku" ungkapan tersebut merupakan sebuah kata kerja yang memiliki makna "memiliki dan mengingat perint Yesus". Artinya manusia mampu mengingat perintah-perintah Allah. Dalam sebuah situs website mencatat ada 7 orang yang mampu menghapal ayat-ayat Alkitab dengan sangat banyak:

1. Charles matlock, seorang penginjil tradisional Amerika yang dikenal sebagai "Alkitab berjalan dari Tennessee Bart" menghafalkan hampir seluruh bagian Alkitab. Charles Matlock mulai menghafalkan sejak usia 12 tahun. Ia mengembangkan kemampuannya dari menghafalkan tugas sekolah kepada menghafal Alkitab.

2. Dr. William Evans menulis buku berjudul How to Memorize the Bible pada tahun 1919. Ia dapat menghafalkan seluruh Alkitab versi King James Version dan seluruh bagian Perjanjian Baru dalam Versi American Standard Version. 

3. Van Impe, menghapal 14.000 ayat (hampir setengah Alkitab) setelah 35.000 jam menghafalkannya. Ia menerapkan metode dengan kartu dan menhapal ayat sesuai dengan topik doktrin.

4. Jon Goetch, wakil presiden eksekutif di West Coast Baptist College menghafal lebih dari 14.000 ayat. Ia menghapal sambil berolahraga dan jalan kaki.

5. Nadine Hammonds seorang tunanetra yang berhasil menghafal puluhan Kitan dalam Alkitab.

6. Herdian Putranto, seorang mahasiswa Unair yang menghafal Alkitab sejak SMP.

Dalam kehidupan manusia ada beberapa tahapan penting ketika mempelajari tentang hukum Taurat, yaitu: membaca, menulis, menghafal, mengajar dan melakukan. Pada tahap membaca, menulis dan menghafal ada banyak manusia bisa melakukannya dengan sangat baik. Namun pada tahap mengajar dan melakukan maka semua manusia gagal melakukannya. Hal tersebut terlihat ketika Yesus Kristus menegur para murid agar waspada terhadap ragi orang farisi dan saduki yaitu ajarannya (Mat. 16: 5-12) dan teguran Yesus kepada orang-orang Farisi yang munafik (Mat. 23).  Oleh karena itu iman yang sejati adalah iman yang bukan hanya mengaku percaya Yesus namun iman yang juga melakukan apa yang Yesus perintahkan. 

Dalam Yohanes 14 merupakan konteks ketika para murid melakukan perjamuan makan bersama, dalam bagian Injil Lukas 22: 24-27 terjadi diskusi tentang siapakan yang terbesar di antara para Murid. Para murid terjebak dalam sebuah delusi, mereka berpikir bahwa mengikut Yesus akan menjadi yang terbesar dan memiliki kedudukan penting serta dilayani, delusi para Murid adalah megalomania (merasa diri besar). Para murid bersama Yesus namun ingin merasa diri lebih besar dari yang lain, akhirnya Yesus menyelesaikan delusi para murid dengan menyatakan bahwa siapa yang terbesar adalah yang melayani. Tindakan Yesus yang membasuh kaki para murid dalam Yohanes 13 menunjukkan sikap hamba kepada para murid. Dengan demikian, Yesus mengingatkan para murid agar tidak terjebak dalam sebuah delusi, yaitu megalomania. Yesus ingin para murid menjadi seorang pelayan dalam memberitakan Injil. Bahkan dalam mengasihi sesama.

Problematika delusi megalomania pada masa kini tidak hilang dalam gereja, kegagalan dalam melakukan perintah Yesus ialah ketika orang Krsiten mulai merasa diri lebih besar dari yang lain. Ketika manusia merasa lebih besar dari yang lain bahkan memiliki konsep penilaian bahwa sesamanya manusia lebih rendah, maka manusia ingin memposisikan diri sama dengan Tuhan. Iman yang sejati ditunjukkan dengan sikap saling mengasihi, bahkan Yesus memberikan perintah untuk "memikul salib." Ungkapan memikul salib pada konteks Yesus dipahamai sebagai hukuman mati, dengan demikian Yesus memberikan pengajaran jika ingin mengikut Yesus maka kita harus mengalami kematian, yaitu kita siap sedia dimatikan kehidupan lama kita dan kembali dihidupkan dengan kehidupan yang baru. Sebab hidup yang kita hidupi bukan kita lagi melainkan Kristus yang hidup di dalam kita. Istilah perintah menunjuk juga kepada hukum Taurat dan teladan Yesus Kristus. Ada konsep yang diperbaharui ketika Yesus Kristus telah hadir di dunia. Para murid yang awalnya sibuk menghafal hukum-hukum Taurat namun ketika mengikuti Yesus mereka melihat kesempurnaan Yesus dalam melakukan hukum Taurat dan mereka hanya tinggal mengikuti teladan dari Yesus Kristus. Sama seperti kita, siapa yang sanggup selalu membaca hukum Taurat dan menghafal, setelah itu melakukan?. Maka ini adalah sebuah kesulitan, namun jika kita membaca kisah Yesus maka kita mengerti teladan apa yang harus kita ikuti dari Kristus yaitu kasihnya kepada Bapa di Sorga dan sesama manusia. Dengan demikian iman yang kita hidup bukan sekedar delusi yaitu iman yang tanpa dasar, tetapi iman yang memiliki dasar dan fokus yaitu Yesus Kristus. (MNS). (Bahan Khotbah di GKY Bengkulu, 28/02/2021)

Minggu, 31 Mei 2020

MANDAT BUDAYA DAN MANDAT MISI DALAM KONTEKS PANDEMIK COVID-19

 Oleh: Made Nopen Supriadi
Dalam tulisan ini akan memberikan kajian singkat mengenai implementasi mandat budaya dan mandat misi dalam konteks covid-19. Dalam pembahasan ini secara singkat akan menjelaskan tentang pengertian dari mandat budaya dan mandat misi, pengaruh dosa dalam realisasi mandat budaya dan mandat misi, implementasi Yesus terhadap mandat budaya dan mandat misi, penerapan mandat budaya dan mandat misi pra-covid-19, penerapan mandat budaya pada masa covid-19 dan pada era "new normal."

A. Pengertian Mandat Budaya dan Mandat Misi

1. Analisa Kata
Sebelum membahas lebih pengertian mandat budaya dan mandat misi, maka ada tiga kata penting yang perlu kita mengerti yaitu, kata 'mandat,' 'budaya' dan 'misi'. Kata mandat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan kata benda yang memiliki arti perintah, arahan (instruksi) dan perwakilan. Kata 'budaya' memiliki arti sebagai akal budi, pikiran, adat istiadat, peradaban dan kebiasaan. Kata 'misi' menunjuk kepada pengutusan, dalam konteks iman Kristen kata misi juga menunjuk kepada pengutusan orang percaya atau gereja untuk menjadi saksi bagi 'dunia'. Dengan demikian secara sederhana mandat budaya dan mandat misi dapat diartikan sebagai. Perintah yang diberikan oleh sang pemberi perintah dalam konteks ini Allah Tritunggal (Lih. Kej. 1:26-28 dan Mat. 28:18-20) kepada manusia yang diciptakan untuk mengembangkan dan membangun peradaban dan juga menjadi saksi di dalam peradaban yang dibangun tentang 'kebenaran'.

2. Pengertian Mandat Budaya Dalam Alkitab
Membangun pengertian mandat budaya dan mandat misi sangat penting juga membangun pengertian tersebut berdasarkan dari prinsip Alkitab. Di dalam Alkitab prinsip mandat budaya dituliskan di dalam Kejadian 1: 28, setelah Allah memberkati manusia Allah memerintahkan mereka untuk 'penuhilah bumi,' 'taklukanlah' dan 'berkuasalah'. Daniel P. Martono menjelaskan istilah 'penuhilah bumi' menunjukkan bahwa manusia membangun kehidupan sosial. Dan istilah 'taklukanlah dan berkuasalah' menunjukkan manusia memanfaatkan isi alam. Dalam perkembangan kehidupan manusia ada yang menyalahgunakan ayat ini untuk melakukan 'eksploitasi alam' sehingga merusak tatanan ekosistem. Oleh karena itu memahami mandat budaya dalam arti memanfaatkan isi alam harus memperhatikan Kejadian 2:15 yaitu Allah menempatkan manusia di taman Eden untuk 'mengusahakan' dan 'memelihara'. Dengan demikian manusia diberikan mandat oleh Allah untuk mengembangkan kehidupan sosial, mengembangkan peradaban, ilmu pengetahuan dan sebaginya dengan memanfaatkan alam yang telah diciptakan Allah dan diberikan kepada manusia untuk dikelola. Dalam kajian Yakub Tri Handoko dalam tulisannya tentang 'Mandat Budaya (Kejadian 1:28)' menjelaskan: 

Hal pertama yang perlu kita pahamai adalah bahwa pemberian mandat budaya kepada manusia di Kejadian 1:28 tidak berarti pengalihan kepemilikan atas alam semesta dari Allah kepada manusia. Seluruh bumi tetap menjadi milik Allah (Maz. 24: 1), juga binatang-binatang liar di padang dan di gunung (Maz. 50:10-12). Ulangan 22:6 mengajarkan perlunya manusia melestarikan kehidupan binatang. Apa yang dilakukan seseorang terhadap binatang bahkan akan mempengaruhi keadaa orang itu (Ul. 22:7). salah satu tujuan di adakannya hari sabat adalah supaya binatang dan para budak bisa beristirahat (Kel. 23:12). Allah bahkan mengatur penggunaan lahan untuk bertani/berladang, yaitu suatu ladang boleh dipakai secara terus-menerus selama 6 tahun, sesudah itu tanah itu harus dibiarkan begitu saja pada tahun ketujuh (Ul. 25:3-4). Ayub bahkan sadar bahwa ladang akan mendakwa dia apabila ia telah menyalahgunakannya (Ay. 31: 38-40). (Handoko, 2017)
Dengan demikian penguasaan yang dilakukan adalah penguasaan yang dalam arah memiliki sikap tanggung jawab untuk tetap memelihara kehidupan dan stabilitas ekosistem. Mandat budaya adalah perintah yang diberikan Allah untuk manusia mengembangkan peradaban. Sehingga jika saat ini banyak peradaban yang telah berkembang maka semua itu tidak terlepas dari realisasi mandat budaya. Manusia semakin dibukakan hikmat oleh Allah untuk dapat mengelola isi alam semesta bagi kemajuan berbagai bidang kehidupan, baik itu politik, ekonomi, sains, arsitektur dan lain sebaginya. Jadi mandat budaya adalah mandat dari Allah Tritunggal kepada manusia untuk mengembangkan kehidupan melalui pengelolaan isi alam yang diberikan oleh manusia dengan penuh tanggung jawab.

3. Pengetian Mandat Misi Dalam Alkitab
Alkitab memberikan prinsip di mana Allah menghendaki agar manusia memberitakan pribadi dan karya Allah. Perintah tersebut telah dinyatakan dalam rancangan kekekalan Allah. Efesus 1:3-10 menunjukkan bahwa dalam pemilihan Allah sebelum dunia dijadikan di dalam Kristus manusia ditetapkan dalam kekudusan dan tak becacat di hadapan-Nya (bdg. Rom. 8:29-30). Rancangan tersebut telah ada dalam kekekalan, namun secara manusia realisasinya terjadi berdasarkan kehidupan manusia yang telah dipilih Allah di dalam Kristus akan menyaksikan pribadi dan karya-Nya. Dalam konteks kehidupan manusia perwujudan dari pemilihan Allah, membawa manusia dalam kehidupannya memberitakan tentang kebenaran Allah. Hal tersebut telah direalisasikan dalam penciptaan manusia yang pertama.
Di Taman Eden selain melaksanakan mandat budaya juga telah merealisasikan mandat misi yaitu menyatakan kebenaran dan memuliakan Allah di dalam setiap tanggung jawab. Perintah Allah untuk tidak memakan buah yang dilarang menunjukkan manusia memiliki tanggung jawab untuk merealisasikan kebenaran Allah. Mandat misi ialah membicarakan bagaimana manusia menjadi saksi bagi dunia. Yesus Kristus memberikan mandat misi dengan sangat jelas hal tersebut dapat kita baca di dalam Matius 28:18-20; Markus 16:15-16; Lukas 24:45-48.  Perintah tersebut sungguh sangat jelas menunjukkan bahwa di dalam Kristus manusia memiliki satu mandat penting yaitu mandat misi. Manusia di dalam Kristus diutus untuk memberitakan pribadi dan karya Allah. Manusia memiliki tanggung jawab untuk menyaksikan kebenaran Allah ditengah 'dunia'. Dengan demikian ada kaitan antara mandat budaya dan mandat misi. Budaya yang dibangun hendaknya terarah untuk memuliakan Allah dan misi yang dibangun hendaknya mentransformasi budaya.     

B. Pengaruh Dosa Dalam Realisasi Mandat Budaya Dan Mandat Misi
Secara prinsip mandat budaya dan mandat misi telah diberikan sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Kata 'budaya' dalam bahasa latin yaitu 'cultura' yang diterjemahkan menjadi 'kultur atau budaya'. Kata 'cultura' ini berasal dari kata dasar 'cult' yang memiliki arti 'ibadah atau penyembahan.' Martono menuliskan bahwa kata 'mengusahakan' dalam Kejadian 2:15 memiliki arti 'membajak atau mengolah tanah.' Ia melanjutkan bahwa kata tersebut dalam bahasa latin dituliskan dengan kata 'cultura'. Dengan demikian maka prinsip bekerja mengelola isi alam dan beribadah telah diberikan Tuhan secara bersamaan kepada manusia di Taman Eden. Secara prinsip menjelaskan bahwa pada waktu manusia bekerja maka ia tidak melepaskan hidupnya kepada Tuhan. Manusia melekat kepada Tuhan dalam mengerjakan tanggung jawabnya dan tanggung jawabnya dilakukan karena Tuhan. Jadi sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, manusia telah meberapkan prinsip ideal dalam mandat budaya dan mandat misi.
Kejadian pasal 3 memberikan gambaran bagaimana manusia jatuh ke dalam dosa. Kejatuhan manusia ke dalam dosa memberikan dampak kepada pelaksanaan mandat budaya dan mandat misi. Untuk membahas ini perlu dibagi menjadi dua.
1. Pengaruh Dosa dalam Mandat Budaya
Mandat budaya adalah mandat yang diberikan Allah kepada manusia untuk membangun kehidupan dan peradaban. Allah mengijinkan manusia menguasai dan mengelola serta memelihara alam semesta untuk mengembangkan kehidupan. Namun setelah manusia jatuh ke dalam dosa. Prinsip untuk melaksanakan mandat budaya tetap ada, namun hal tersebut menjadi lebih berat (Bdg. Kej. 3:17-19). Meskipun kondisi melakukan mandat budaya namun peradaban manusia terus berkembang. Pada masa Kain dan Habel sistem pertanian dan peternakan telah berkembang. Lalu pada Kejadian 4:17-26 menunjukkan bahwa keturunan Kain tetap melaksanakan mandat budaya sehingga pada masa itu, kehidupan sosial, seni dan pertukangan semakin menunjukkan kemajuan. Namun yang menjadi masalah ialah perkembangan peradaban tersebut tidak turut disertai sikap tunduk kepada Tuhan. Manusia mulai menunjukkan egoismenya dalam setiap karya yang dibuat. Kejadian 6 menunjukkan bagaimana akhirnya Allah memutuskan untuk memberikan air bah karena peradaban manusia berkembang ke arah yang rusak secara moral dan spiritual. Setelah peristiwa air bah pada Kejadian 11 manusia kembali menunjukkan sikapnya dalam mengembangkan peradaban dengan merencanakan pembangunan sebuah menara yang tinggi, namun karena dosa yang merusak manusia membuat arah dan tujuan pembangunan menara tersebut untuk menentang Allah dan menunjukkan superioritas manusia semata. Hal tersebut menunjukkan bahwa mandat budaya terus berlanjut namun dosa juga ikut meruskkan sesnsi pelaksanaan mandat budaya. Pada Masa kini hal tersebut juga tetap terjadi banyak penemuan sains, perkembangan ekonomi, politik, arsitektur dan seni justru semakin membawa manusia kepada sikap yang menentang Tuhan. Dosa membawa manusia dengan hasil karyanya untuk menyombongkan diri kepada sesama manusia dan juga kepada Tuhan. Sehingga tidak heran jika masa kini kita dapat melihat ada ilmuwan, sastrawan, ekonom, politikus, public figure yang menunjukkan sikap menentang Allah.  
2. Pengaruh Dosa dalam Mandat Misi
Kejatuhan manusia ke dalam dosa membawa manusia gagal untuk menjadi utusan yang memberitakan pribadi dan karya Allah. Kisah Kain yang membunuh Habel menunjukkan bahwa akibat dosa bukan hanya menyebabkan manusia bisa mati secara fisik, tetapi manusia memiliki keberanian untuk mematikan sesama manusia. Hal tersebut terus berlanjut pada keturunan Kain. Dampak kejatuhan manusia ke dalam dosa menghadirkan banyak konflik-konflik dalam kehidupan manusia. Konflik tersebut telah merusak tatanan kehidupan relasional manusia secara sosial. Hingga saat ini dosa terus membawa manusia dalam kondisi yang rusak. Hal tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan mandat bagi manusia untuk menjadi utusan Allah menjadi rusak. Manusia yang seharusnya hidupnya dipakai untuk menggarami dan menerangi dunia justru jatuh pada kondisi hidup yang rusak. Meskipun manusia telah mengalami kerusakan total (total depravity), Allah tetap memberikan manusia pilihan-Nya untuk memberitakan kebenaran. Allah mengutus para Nabi dan Rasul untuk memberitakan tentang penghukuman Allah atas dosa dan penyelamatan Allah bagi manusia. Dengan demikian mandat misi tetap terlaksana di tengah manusia yang berdosa, namun pelaksanaan itu tidak melibatkan seluruh manusia, hanya manusia yang dipilih, dintentukan dan dipanggil Allah.   
3. Rangkuman
Dari pembahasan di atas menunjukkan bahwa kerusakan dosa telah merusak natur manusia dan berdampak pada kehidupan manusia. Kerusakan akibat dosa memberikan pengaruh baik dalam realisasi mandat budaya dan mandat misi. Manusia gagal untuk berfokus untuk mempermuliakan Allah baik dalam mengembangkan peradaban dan gagal untuk bersaksi menjadi garam dan terang bagi dunia yang berdosa.

C. Implementasi Yesus Terhadap Mandat Budaya & Mandat Misi
Yesus Kristus adalah penggenap Hukum Taurat. Sebagai Penggenap maka Yesus Kristus harus memenuhi standar telah mampu untuk melakukan Hukum Taurat dan menggenapi hukuman kegagalan melakukan Hukum Taurat yang dilakukan oleh manusia yang dipilih dalam keselamatan. Pada bagian ini akan memberikan sebuah refleksi bagaimana Yesus merealisasikan mandat budaya dan mandat misi. Yesus ketika Ia berinkarnasi maka Ia hidup dalam tradisi dan budaya yang telah ada. Namun Yesus sekalipun berada dalam sebuah budaya, Yesus justru tetap melakukan mandat budaya. Hal tersebut ditunjukkan dengan Yesus melakukan transformasi budaya, Yesus menegur kebiasaan yang berdosa yaitu penipuan, penyalahgunaan tempat ibadah, kemunafikan, kekerasan dan ketidakadilan. Banyak hal yang diperbaharui Yesus menjurus kepada prinsip pelaksanaan pola kehdiupan pada masa itu. Yesus tidak melarang membayar pajak kepada Kaisar jika itu memang telah ditetapkan oleh penguasa, namun Yesus melarang para pemungut pajak melakukan pungutan lebih dari apa yang telah ditetapkan. Yesus tidak melarang untuk memberi kepada Allah, namun Yesus melarang jika memberi kepada Allah dijadikan sebagai Alasan untuk mengabaikan pemeliharaan orang tua. Yesus tidak melarang pelaksanaan penghukuman, tetapi Yesus melarang jika pelaksanaan penghukuman tanpa pengadilan yang benar. Yesus tidak melarang para tokoh agama mengajar agama, tetapi Yesus melarang jika mengajar agama dalam hidup yang munafik. Dengan demikian Yesus tetap mengijinkan berkembangnya budaya saat itu namun Yesus lebih memfokuskan bagaimana perkembangan kebudayaan memiliki nilai-nilai Teologis yang benar. Hal tersebut menunjukkan bahwa Yesus dalam tindakan pribadi dan karya-Nya melakukan mandat budaya dan mandat misi bersama. Yesus dalam kebudayaan yang ada tetap memberitakan Kerajaan Allah, yang didalamnya berisi berita pertobatan dan penggenapan janji Mesias di dalam Diri-Nya. Sampai akhir hidupnya Yesus tidak menolak budaya atau tradisi yang menjadikan sarana penghukuman-Nya di kayu Salib, namun Yesus melalui budaya penghukuman Salib justru merealisasikan Misi-Nya. Dengan demikian dari kehdiupan Yesus kita dapat melihat bagaimana budaya dan tradisi sebisa mungkin dikaji dan ditemukan titik tarnsformasinya untuk membawa manusia memahami karya keselamatan. Di dalam Yesus kita dapat belajar sebuah intergrasi antara mandat budaya dan mandat misi.
Setelah karya penebusan Yesus Kristus, maka relasa manusia dan Allah dipulihkan. Pada waktu Yesus naik ke Sorga, maka Roh Kudus dijanjikan kepada para Rasul. Roh Kudus bekerja melahirbarukan manusia yang diselamatkan dan kondisi demikian membawa manusia memiliki kesadaran penuh akan tujuan dan sikap hidup, yaitu memuliakan Allah (Roma 11:36). Pembaharuan yang Roh Kudus kerjakan itulah yang memampukan orang yang percaya kepada Yesus untuk melaksanakan mandat budaya dan mandat misi (Bdg. Ef. 2:1-10). Roh Kudus yang memimpin orang percaya ke dalam kebenaran akan menolong orang percaya menerapkan kebenaran dalam kehdiupannya. Sehingga pada kondisi ini orang percaya akan mampu menjadi garam dan terang.

D. Penerapan Mandat Budaya & Mandat Misi Pada Masa pra-covid-19, covid-19 & "New Normal."
Pada masa pra-covid-19 pelaksanaan mandat budaya dan mandat misi bersifat normal. Manusia menjalin sosialisasi dan banyak yang selalu bersama dalam melakukan pengelolaan alam semesta. Manusia melakukan pengembangan peradaban dan ilmu pengetahuan dengan cara kebersamaan baik bersama dalam tempat maupun bersama juga dalam komunikasi. Namun fakta memperlihatkan sebelum pandemik covid-19 terjadi kebersamaan manusia dalam mengelola alam semesta menjadi hal yang membahayakan banyak ekosistem. Sehingga pelaksanaan mandat budaya banyak memperlihatkan degradasi lingkungan hidup. Dalam tindakan misi manusia telah terbiasa dengan pelaksanaan misi yang langsung hadir ke tengah-tengah masyarakat. Namun kita bisa melihat pada waktu pandemik covid-19 maka banyak kegiatan yang berhubungan dengan interaksi sosial menjadi dibatasi. Protokol kesehatan menganjurkan agar manusia melakukan social distancing, physical distancing, stay at home menjaga kesehatan diri dengan memakai masker, rajin mencuci tangan dengan sabun dan melakukan work from home (WFH). Kondisi demikian mempersulit gerakan manusia dalam melaksanakan pengelolaan alam dan sosialisasi. Pelaksanaan misi yang harusnya bersosialisasi kini tidak dapat dilakukan. Namun apakah hal tersebut mentiadakan pelaksanaan mandat budaya dan mandat misi. Sebelum masa pandemik covid-19 pelaksanaan mandat budaya telah terjadi dan banyak hal kerugian yang terjadi di alam semesta. Pelaksanaan mandat misi juga sudah banyak berkembang melalui media elektronik dan online. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam mandat budaya memang harus ada yang dibenahi, namun dalam mandat misi telah mampu mengantisipasi kondisi covid-19. Namun persoalan timbul, pada masa pandemik covid-19 ketika manusia semakin banyak memanfaatkan teknologi dan media sosial. Justru ada beberapa orang yang menggunakan media sosial untuk menyatakan ajaran yang salah dan tidak Alkitbiah. Kondisi ini semakin mendorong para pemberita Injil untuk mengambil bagian dalam melakukan apolohetika. Lalu dalam konteks mandat budaya, maka pada masa covid-19 menjadi sebuah waktu untuk melakukan refleksi terhadap sikap dalam mengelola dan menguasai alam semesta serta sikap dalam membangun moral peradaban. Beberapa waktu ini telah banyak berita yang menyiarkan akan adanya masa memasuki situasi hidup yang disebut dengan 'new normal.' Kondisi ini juga diharpkan dapat membawa sebuah pemikiran yang baru bagi manusia secara khusus orang percaya dalam mengelola alam semesta dan membangun peradaban yang juga melaksanakan mandat misi. Konsep hidup dalam 'New Normal' juga harus kita pahami sebagai hasil dari pemikiran mandat budaya, yaitu pengembangan pradaban hidup manusia. Namun di dalam kondisi hidup normal baru kita jangan sampai gagal menjadi saksi. Jangan sampai kita menjadi orang Kristen yang hanya mau menggengam dunia dan isinya tapi tidak mau memuliakan Allah Tritunggal.

E. Penutup
Mandat Budaya dan Mandat Misi adalah mandat Allah Tritunggal kepada manusia. Mandat tersebut akan efektif terealisasi secara khusus dalam kehdiupan manusia yang dipilih ke dalam keselamatan. Karena kesadaran dan tanggung jawab mengelola alam semesta tidak terlepas dari kesadaran secara spiritual yang telah diperbaharui oleh Roh Kudus. Pada masa kini pelaksanaan mandat budaya dan mandat misi tidak terhenti tetapi menyesuaikan dengan situasi yang terjadi pada masa pandemik covid-19. Oleh karena itu setiap orang percaya juga diajak semakin berpikir kreatif bagaimana tetap membangun peradaban dan kehidupan semakin baik dan juga membawa orang kepada Kristus di masa kini. Soli Deo Gloria.