Adam
diciptakan sebagai makhluk yang dapat berpikir dan mengembangkan pemikirannya,
hal ini mencerminkan hikmat Allah dan juga membedakan dia dengan binatang (2Pe
2:12, Yud 10). Kita telah pelajari bahwa di taman Eden Adam telah
menggunakan akal budinya dalam kebergantungan-Nya kepada Allah. Dia membangun
pola berpikirnya sesuai dengan petunjuk Allah. Adam pasti menggunakan logika
meskipun dalam bentuk yang sederhana, dan ia menggunakannya dalam ketaklukannya
kepada Allah. Dia tidak pernah mengabaikan kebergantungannya kepada Allah
dengan berpikir logikanya yang mampu untuk memberikan kepada dia penjelasan dan
pengetahuan untuk terpisah dari Allah. Akibatnya, penggunaan Adam dalam
kemampuannya untuk menggunakan akal budinya selalu tunduk pada keterbatasan dan
pimpinan penyataan Allah. Allah selalu dilihat sebagai dasar dari kebenaran dan
gembala dari kebenaran, oleh karena pada saat itu Adam masih dalam keadaan
manusia yang diciptakan menurut gambar Allah dan tanpa dosa. Dari
peranan akal budi berdasarkan logika yang dimiliki oleh manusia sebelum dosa
masuk ke dalam dunia, maka ada beberapa pengamatan dapat kita lakukan.
Pertama, menggunakan akal
budi dan mengembangkan pemikiran itu bukanlah merupakan sesuatu yang salah dan
jahat. Kekristenan telah mendapat berbagai macam serangan dari mereka yang
mengklaim bahwa segala sesuatu harus "masuk akal" dan
"ilmiah." Beberapa orang Kristen berpikir bahwa perlindungan
satu-satunya adalah dengan cara menolak ilmu pengetahuan dan pemakaian akal
budi serta menganggap ke dua hal itu sebagai sesuatu yang jahat. Penggunaan
akal budi bukanlah merupakan sesuatu yang jahat, sebab di dalam taman Eden,
Adam juga menggunakan akal budinya dan dia mengembangkan pemikirannya. Adamlah
yang menamai binatang-binatang dan yang memelihara taman. Yang perlu
diperhatikan adalah apabila pemakaian
akal budi dan pengembangan pemikiran manusia itu dilakukan secara berdiri
sendiri atau terlepas dari Allah, maka hal-hal itu akan memimpin kepada
ketidakbenaran dan kesalahan. Tetapi apabila kedua hal itu dipergunakan dalam
kebergantungan kepada penyataan Allah, maka kebenaran yang akan diketemukan.
Menggunakan akal budi dan mengembangkan pemikiran itu sendiri tidaklah
berlawanan dengan iman atau kebenaran.
Kedua, logika tidaklah
berada di atas fakta perbedaan antara Pencipta dengan ciptaan. Pada saat kita
berbicara tentang manusia dalam menggunakan akal budinya, kita harus ingat
bahwa logika hanya merupakan refleksi dari hikmat dan pengetahuan Allah.
Meskipun dalam Firman Tuhan, Allah merendahkan diri dan menyatakan diri-Nya
dengan istilah yang sesuai dengan daya pikir, logika manusia, namun itu tidak
berarti logika manusia berada di atas atau sejajar dengan Allah dan juga tidak
merupakan bagian dari keberadaan Allah. Logika dalam bentuk-bentuk yang paling
kompleks dan tajam tetap berada dalam ruang lingkup ciptaan dan kualitasnya
sesuai dengan kualitas manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah,
bukan dengan kualitas Allah itu sendiri.
Oleh
karena logika merupakan bagian dari ciptaan maka logika memiliki keterbatasan.
Pertama terlihat dari logika sebagai sistem yang selalu dalam proses berubah
dan berkembang. Bahkan ada beberapa sistem logika yang dalam titik tertentu
berlawanan satu sama lain. Bahkan tidak ada definisi dari
"kontradiksi" yang diakui secara universal. Meskipun apabila semua
manusia dapat sepakat dalam satu sistem untuk mengembangkan suatu pemikiran,
logika manusia tidak dapat dipergunakan sebagai hakim untuk menentukan
kebenaran dan ketidakbenaran.
Kekristenan
pada hal-hal tertentu dapat dikatakan masuk akal dan logis tetapi logika
menemui batas kemampuan pada saat diperhadapkan dengan hal-hal seperti
inkarnasi dari Kristus, dan doktrin Tritunggal. Logika bukanlah Allah dan tidak
boleh diberikan penghormatan yang hanya dimiliki oleh Allah saja. Kebenaran
hanya ditemukan pada penghakiman Allah bukan pada pengadilan logika. Oleh
karena itu kita harus berhati-hati untuk menghindari dua ekstrim yang biasanya
diambil dalam hubungan dengan penggunaan akal budi dan logika. Di satu pihak
ada manusia yang menolak untuk menggunakan akal budi dan setuju pada iman yang
buta. Di lain pihak, ada manusia yang memberikan logika sejumlah ruang untuk
berdiri sendiri dan terlepas dari Allah. Kedua posisi tersebut tidak sesuai
dengan karakter manusia sebelum kejatuhan. Manusia diciptakan sebagai makhluk
yang dapat berpikir dan mengembangkan pemikirannya tetapi dia diharapkan untuk
menyadari keterbatasan pemikirannya dan kebergantungan akan logikanya kepada
Penciptanya. Soli Deo Gloria
(Sumber: John M. Frame: Menaklukan Segala Pikiran Kepada Kristus)