Jumat, 25 September 2015

Dosa Turunan (Mazmur 51: 7)

  Untuk pemimpin biduan. Mazmur dari Daud, (2) ketika nabi Natan datang kepadanya setelah ia menghampiri Batsyeba. (3) Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar! (4) Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku! (5) Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku. (6) Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat, supaya ternyata Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu. (7) Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku.        
        John Locke (1632 – 1704) adalah seorang filsuf dari Inggris yang menjadi salah satu tokoh utama dari pendekatan empirisme. Empirisme adalah paham yang menjadikan pengalaman sebagai standar kebenaran. Jadi apa yang dialami itulah yang benar. Salah satu teori mengenai manusia yang dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) ialah teori Tabula rasa. Teori mengajarkan bahwa pikiran (manusia) ketika lahir berupa “kertas kosong” tanpa aturan untuk memroses data, dan data yang ditambahkan serta aturan untuk memrosesnya dibentuk hanya oleh pengalaman alat inderanya. Anggapan Locke, tabula rasa berarti bahwa pikiran individu “kosong” saat lahir, dan juga ditekankan tentang kebebasan individu untuk mengisi jiwanya sendiri. Teori tabula rasa ini sudah banyak melekat pada pemikiran manusia. Sehingga manusia sering memberi asumsi bahwa anak berdosa karena belajar dari lingkungan.
  1. Teori tabula rasa bertentangan dengan ajaran Alkitab. Dalam Mazmur 51 : 7 manyatakan: ”Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku” Dalam NIV menuliskan : ” Surely I was sinful at birth, sinful from the time my mother conceived me.” Jadi sejak dalam kandungan manusia bukanlah kertas kosong namun telah melekat natur dosa (tabiat dosa), itu artinya pengetahuan tentang dosa sudah ada pada seorang bayi. Maka teori tabula rasa itu salah. Selanjutnya pemahaman yang berpotensi menjurus pada pemahaman tabula rasa juga hadir dalam kekristenan. Ada sebuah syair : ”ku tak membawa apa pun juga saat ku datang ke dunia…” Jika dicermati syair lagu ini maka Saya memberikan evaluasi. Apa yg tidak kita bawa saat lahir?
    1. Jika bicara soal harta kekayaan it bisa saja.
    2. Jika bicara secara esensi maka it tdk bisa, karena kita lahir sudah dalam tabiat dosa.
    3. Kita lahir juga sudah membawa materi yaitu tubuh fisik.
    Jadi saat kita lahir secara esensi kita sdh membawa sesuatu. Dalam Mazmur 51: 7 menyatakan bahwa ”… dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku”. Itu artinya manusia saat dalam kandungan dan lahir sudah memiliki natur dan sifat yang dibawa secara daging dari orang tuanya. Dalam perkembangan ilmu sains kedokteran merumuskan teori sifat-sifat manusia dari DNA (Deoxyribo Nucleic Acid), kajian pewarisan sifat pada DNA pertama kali berhasil dimurnikan pada tahun 1868 oleh ilmuwan Swiss Friedrich Miescher di Tubingen, Jerman. Namun, penelitian terhadap peranan DNA di dalam sel baru dimulai pada awal abad 20. DNA dan protein dianggap dua molekul yang paling memungkinkan sebagai pembawa sifat genetis berdasarkan teori tersebut. Crick, Watson, dan Wilkins mendapatkan hadiah Nobel Kedokteran pada 1962 atas penemuan ini. Pada manusia telah diketahui cukup banyak sifat yang diturunkan. Hal tersebut juga didukung dalam teori psikologi yg membuktikan bahwa manusia telah memiliki natur sifat. Pertama kali penelitian dilakukan oleh neuro-psikolog Michael Persinger di awal tahun 1990-an, dan laporan yang lebih baru pada tahun 1997 oleh neurolog V.S. Ramachandran bersama timnya di Universitas California mengenai adanya ”Titik Tuhan” (God Spot) dalam otak manusia.[1] Penemuan tersebut menekankan bahwa God Spot sebagai wadah yang memiliki potensi spiritual.[2] Titik Tuhan (God Spot) ini menyebabkan manusia bersikap idealistis mencari solusi-solusi ideal, memiliki hasrat pada sesuatu yang tinggi, memimpikan masa depan yang baik dan Titik Tuhan (God Spot) aktif ketika manusia merasa sedang berhubungan dengan kebenaran-kebenaran sebuah agama.[3] Oleh karena itu benar apa yang dikatakan dalam Yohanes 3: 6 “Apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh, adalah roh.” Dari data-data di atas menjelaskan bahwa manusia memiliki natur sifat yang telah di bawa sejak dalam kandungan, Oleh karena manusia telah jatuh dalam dosa maka natur tersebut dikuasai dosa.
     Ajaran dosa turunan ini ditegaskan oleh John Calvin dengan mengatakan:  ”… anak-anak pun, meski belum menghasilkan perbuatan yang merupakan buah kefasikan, telah mengandung benihnya di dalam dirinya.”[4] Jadi bayi yang baru dilahirkan tidak akan berbuat dosa tetapi ia sudah berada dalam "keadaan" atau "tabiat" dosa. Contoh sederhana, siapa yang mengajar seorang anak berbohong? Atau kumpulkan bayi-bayi yang sudah bisa merangkak atau berjalan, letakkan di suatu tempat dan berikan pula sesuatu – katakanlah mainan -- yang menarik perhatian mereka. Apakah yang mereka perbuat? Pasti bakal terjadi rebutan mainan, dan pasti bakal ada yang menangis karena tidak kebagian. Apakah yang menyebabkan semua ini? Sejak kecil udah berebut, apalagi kalo udah besar.  Banyak pakar yang menyelidiki bahwa seorang anak berbohong tanpa diajar atau tanpa pengaruh lingkungannya. Demikian pula seorang anak kecil dapat saja merampas mainan temannya tanpa diajar oleh orang tuanya, melainkan atas dorongan di dalam dirinya sendiri. Inilah "tabiat dosa".







    [1] Agus Nggermanto, Quantum…, h.118
    [2] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power: Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan, (Jakarta: Penerbit Arga, 2007), h.96
    [3]  Danar Zohar, Ian Marshall, Spiritual…, h.122-123
    [4] John Calvin, Institutio (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 61

HATI DAN AKAL DALAM BERIMAN

Oleh: Made Nopen Supriadi, S.Th
         Kedua pola ini selalu hadir dalam argumentasi manusia. Ada yang menekankan konsep "I think" dan juga "I fill". Para penganut paham rasionalisme lebih menekankan konsep "I think" (saya pikir) karena ia mempunyai bukti yang dapat dipikirkan. Penganut konsep ini sering mengumpulkan bukti-bukti yang telah teruji, sehingga ia berkata karena pernah melihat bukti sebelumnya, sehingga memunculakn konsep "pasti". Dalam karya-karya pemikir seperti Hegel (1770-1831), Charles Darwin (1809-1882), Karl Max (1818-1883), Ludwig Feurbach (1804-1872), Imanuel Kant (1724-1804) beberapa orang besar ini tidak memihak keKristenan, bahkan di antara mereka belajar teologi dan menjadi musuh gereja. Mengapa? karena ada kegagalan bagaimana caranya mempertemukan dan menyikronkan, mengharmoniskan iman dengan pengetahuan. (Stephen Tong, Iman, Rasio dan Kebenaran, 16). Lalu para penganut paham empirisme menekankan "I Fill" (saya rasa) karena lebih menekankan perasaan sebagai bukti, penganut konsep ini akan sering membuat praduga-praduga dari perasaan hanya karena perasaan tidak nyaman, sehingga sering memunculkan konsep "kemungkinan" pada pemahamannya.  Mengenai kedua hal tersebut R.C. Sproul menuliskan: 
 "Kita hidup di dalam periode yang alergi pada rasionalitas. Pengaruh filsafat eksistensial sangat besar. Kita telah menjadi bangsa yang perasa. Bahkan bahasa kita menyatakannya. Mahasiswa di seminari saya berulang kali menulis seperti ini di kertas ujiannya: saya merasa salah bahwa... atau saya merasa benar bahwa... saya mencoret kata merasa dan menggantikannya dengan berpikir. Ada perbedaan antara merasa dan berpikir." (R.C. Sproul, Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen, xx)
         Pdt. Stevri Indra Lumintang pernah menjelasakan bahwa baik para penganut Rasionalisme dan empirisme sama-sama terjebak dalam "Subyektivisme" (Paham yang berpusat pada diri sendiri) (Stevri I. Lumintang, Pengantar Filsafat, Diskusi Kuliah di STTE). Dalam subyektivisme manusia bisa memakai Rasionya dan juga perasaannya. Maka saya menanggapi bahwa kedua konsep tersebut tidak boleh dipisahkan dan tidak boleh juga dicampurkan namun di sinergiskan. Maka baik rasio dan perasaan tetap berdiri masing-masing dan saling mendukung bukan saling menjatuhkan. selanjutnya menetapkan obyek menjadi basic untuk mendasari rasio dan mengarahkan perasaan. Bukan merasiokan obyek dan "meperasakan" obyek.
           Kebenaran itu obyektif maka baik orang yang lebih menekankan think atau fillnya tetap tidak obyektif ia masih tetap subyektif. Para Theolog Reformed, (John Calvin, Edwin H. Palmeer, Han. Marris, Stephen Tong) setuju bahwa Rasio dan Hati Nurani (Counscience) telah rusak dan tercemar oleh dosa. Dalam menggali pengetahuan para ilmuwan hanya mempelajari karya yang diciptakan Tuhan yaitu alam semesta. Hingga kini penyingkapan ilmu tersebut belum tuntas dan dimengerti. Apa yang dirumuskan rasio memberikan keheranan pada perasaan. Dan apa yang diungkapkan perasaan memberikan keraguan pada rasio. Jadi disinilah perlunya "kesimultanan" dalam "be-rasio" dan "be-rasa". Dibutuhkan keseimbangan dalam "be-rasio" dan "be-rasa". Menekankan salah satu hanya akan menimbulkan konflik. Sehubungan dengan relasi antara hati dan akal, Sproul kembali menjelaskan: 

"Apabila saya memiliki doktrin yang benar di dalam benak saya, tetapi tidak ada kasih untuk Kristus di dalam hati saya, maka saya telah kehilangan kerajaan Allah. Tentu saja lebih penting hati saya benar di hadapan Allah daripada teologi saya benar atau tidak salah. Namun demikian, supaya hati saya benar, ada keutamaan intelektual sehubungan dengan urutan. Tidak ada sesuatu pun yang akan ada di dalam hati saya, yang tidak ada terlebih dahulu di benak saya. Bagaimana saya dapat mencintai Allah atau Yesus yang saya tidak ketahui sama sekali? tentu saja, semakin saya mengerti tentang karakter Allah, maka kapasitas saya untuk mengasihi Dia semakin besar." (R.C. Sproul, Kebenaran, xxi)
        Dengan demikian Sproul menyatakan bahwa hati yang benar itu lebih penting dari pada akal, tetapi tetap saja hati yang benar membutuhkan akal yang benar juga, maka hati dan akal tetap saling memiliki hubungan erat dalam kehidupan iman orang Kristen. Paulus mengatakan "Aku tahu siapa yang aku percaya (2 Tim. 1:12)." Jika Paulus mengetahui dengan rasionya tentang apa yang ia percayai atau imani, maka pengetahuan dan iman dapat berjalan sejajar.  
       Jadi iman merupakan bagunan bersama dari akal dan hati, beriman tanpa berakal maka iman tersebut iman yang rapuh. Namun jika beriman tanpa hati maka kasih tidak terpancar. Perasaan dan pemikiran memiliki hubungan yang unik, bisa merasa tapi tidak berpikir, maka manusia gagal menganalisa perasaannya sehingga perasaan hanya terpendam di hati. Tetapi jika mampu berpikir tanpa perasaan maka pikiran kita menjadi sombong dan bahkan hanya berguna untuk merusak sesama manusia. Jadi mari berpikir agar yang dirasa dapat dimengerti dan mari memiliki rasa agar apa yang dipikir dapat memberi arti, namun keduanya hanya dapat bertemu dalam iman. Yesus Kristus berhasil mempertemukan rasio, hati dan iman Tomas. Tomas yang rasionil akhirnya perasaannya tunduk saat bukti rasio diberikan Yesus tentang kebangkitannya dan imannya juga bertumbuh sehingga ia mengakui Yesus adalah Tuhan. Namun saat ini kita ditantang dalam iman yang tidak melihat secara rasionil, tetapi kita bersandar pada iman yang merasa yakin bahwa apa yang kita rasa adalah benar secara rasio dan dapat kita pertanggungjawabkan meskipun kita tidak melihat Yesus secara rasio.
Ecclesia Reformata Semper Reformanda, secundum Verbum Dei, Soli Deo Gloria.