Kamis, 07 Maret 2019

BAGIMU NEG'RI, JIWA & RAGA KAMI: Sebuah Refleksi Teologis-Nasinonalis Berdasarkan Roma 9:3


Oleh: Made Nopen Supriadi, S.Th
Roma 9:3
Bahkan, aku mau terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara-saudaraku, kaum sebangsaku secara jasmani.
Dalam moment 73 tahun RI merdeka, ada sebuah peristiwa terjadi di Atambua (NTT) seorang anak SMP dengan sigap memanjat tiang bendera, karena tali bendera putus. Dengan kerelaan dan pengorbanan ia memanjat tiang bendera yang tinggi. Nyawanya bisa bahaya jika ia lelah lalu jatuh, tetapi demi Upacara Kemederdekaan Indonesia ia rela membahayakan dirinya.
Kata ”terkutuk” dalam bahasa Yunani ”anatema” ditulis sebanyak 6x dalam PB, menunjuk kepada seorang yang ada di bawah hukuman Allah. Kata ”terpisah” dalam bahasa Yunani ”ego apo”. Kata ”ego” artinya aku. Dan kata ”apo” ditulis sebanyak 646x dalam PB, memiliki arti ”terpisah dari, mulai dari, berasal dari,dari / menyatakan sumber suatu barang, jauh dari.”  Jadi Rasul Paulus dalam konteks ini ingin menunjukkan bahwa Ia siap berkorban bahkan meskipun menjadi seorang yang terkutuk / terpisah dari Kristus asalkan saudara-saudara sebangsanya secara jasamani dapat diselamatkan / rasul Paulus siap menukar keselamatannya dengan saudara sebangsanya (Paulus dikutuk umat Israel selamat). Wycliffe Commentary menuliskan ”Paulus memiliki perasaan yang demikian mendalam terhadap bangsanya sehingga dia memakai bahasa yang berarti keinginan yang tidak mungkin tercapai (bentuk imperfect dalam bahasa Yunani): aku mau terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara-saudaraku, kaum sebangsaku secara jasmaniah.” Ungkapan Rasul Paulus ini sama seperti ungkapan Musa ketika memohon agar Tuhan mengampuni umat Israel yang telah menyembah Patung Lembu Emas (Lih. Kel. 32:31-32).  
Mengapa Paulus rela dan siap menjadi orang yang dihukum Allah demi umat Israel? Karena Paulus melihat status dan berkat yang diberikan Allah kepada umat Israel (Li. Rm. 9:4-5), yaitu: mereka telah diangkat menjadi anak, mereka telah menerima kemuliaan, perjanjian, taurat, ibadah dan keturunan Bapa-Bapa Leluhur yang telah menurunkan Mesias sebagai manusia. Jadi karena Paulus melihat banyak hal istimewa diberikan Allah namun mereka tidak percaya kepada Yesus sebagai Mesias, sehingga Rasul Paulus mau menjadikan dirinya terkutuk asal mereka bisa diselamatkan.
Dalam Theologia Reform diajarkan yaitu Mandat Budaya (culture mandate / Kej. 1:28) dan Mandat Misi (evangelical mandate / Matius 28:19-20). Mandat budaya adalah upaya mengintegrasikan Iman Kristen dalam setiap aspek kehidupan baik politik, ekonomi, sosial, hukum, pendidikan, dll. Sedangkan Mandat Misi artinya orang-orang Kristen dipanggil untuk memberitakan Injil Kristus di tengah dunia berdosa (Stephen Tong).   Rasul Paulus melakukan Mandat Budaya dan Mandat Misi, ia memakai segala potensi dalam dirinya untuk mengasihi Tuhan dan bangsanya: ilmunya, skillnya dan semangatnya ia berikan untuk melaksanakan Mandat Budaya. Dan juga Rasul Paulus melakukan mandat misi dengan menginjili baik orang Yahudi dan juga orang Yunani.
Perenungan!!!
Apa yang sudah kita berikan bagi bangsa Indonesia??? Sudahkah potensi diri yang terbaik kita kembangkan untuk memajukan segala aspek kehidupan di Indonesia??? Atau masihkah kita menjadikan potensi diri itu hanya untuk ajang kesombongan??? Apa arti gelar sarjana kita saat ini bagi Indonesia??? Apakah gelar sarjana hanya untuk kesombongan diri??? Lalu mengertikan kita mengapa kita harus hidup di Indonesia dengan suku-suku yang berbeda??? Dan pernahkah berpikir tentang madat Misi bagi suku-suku di Indonesia???.  Saat ini kita tidak lagi berperang fisik dengan penjajah, namun jiwa dan raga kita tidak boleh mundur untuk tetap berjuang bagi negara Indonesia. Bagimu neg’ri jiwa raga kami: Jiwa berbicara tentang rohani, intelektualitas dan emosionalitas. Dan Raga berbicara tentang fisik yang kelihatan. Saat ini kita gunakan untuk apa jiwa dan raga kita dalam konteks hidup di Indoensia??? Apakah yang akan anda berikan bagi Indonesia ini???. (Khotbah di PERKANTAS Bengkulu, Agustus 2018)
Soli Deo Gloria.

"JANGANLAH MENGHAKIMI" Sebuah Eksposisi Terhadap Roma 14:1-12


Oleh: Made Nopen Supriadi, S.Th
Bolehkah menghakimi???. Kata ”janganlah” menunjukkan larangan. Dalam bahasa Yunani ada dua kata yang digunakan untuk menunjukkan larangan yaitu kata ”mh” (me) dan ”ou” (ou). Kata ”mh  (me) biasanya larangan yang tidak mutlak dan kata ”ou” (ou) untuk larangan yang mutlak (Lih. Roma 13:9).
Kata ”janganlah menghakimi” ditulis dengan bahasa Yunani ”mh krinetw (me krineto). Kata ini dituliskan dalam bentuk kata kerja present aktif imperatif dari kata dasar ”krino” (Krino) yang artinya mengkritik, melebihkan, menjatuhkan, bertindak sebagai hakim. Kata ini ditulis sebanyak 114 x dalam PB. Jadi Paulus memberi perintah larangan pada saat itu juga bagi orang Kristen yang tidak bisa makan daging agar tidak mengkritik, menjatuhkan dan menghakimi mereka.  
Kata “jangan menghina” dalam bahasa Yunani ”mh exouqeneitw” (me exoutheneito) yang ditulis dalam bentuk kata kerja present aktif imperatif, dari kata dasar ”exouqeneo” (exoutheneo) yang artinya menghina, menolak dengan penghinaan. Jadi Paulus memberi perintah larangan pada saat itu juga kepada orang percaya yang bisa makan daging agar tidak menghina dan menolak mereka yang tidak bisa makan daging.
Perhatikan!!! Kata ”menghakimi” dalam Alkitab TB LAI ditulis sebanyak 3 kali dan 2 x kata menghakimi diiikuti oleh kata ”jangan menghina”. Hal tersebut menunjukkan bahwa penghakiman yang dilakukan telah menjurus kepada penghinaan. Hal inilah yang dilarang dalam menghakimi. Jadi menghakimi yang dimaksud dalam teks Roma 14 ini adalah sebuah penghakiman dalam bentuk Kritik yang menjurus kepada penghinaan dan penolakkan.
          Dalam Matius 7:1-5 dinyatakan ”jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi”. Perhatikan baik-baik ayat tersebut menunjukkan bahwa jangan berani menjadi hakim bagi sesama jika hidup kita belum bisa melakukan hal yang akan kita pakai untuk menghakimi. Itu artinya orang Kristen bisa mendapat hak menghakimi jika memang telah menguji dirinya sendiri, dan di dalam hati nuraninya memiliki keyakinan tidak ada tuduhan terhadap hal yang akan dihakimi.
Dalam Roma 12:17-20 tidak dikatakan tidak boleh menghakimi tetapi dilarang untuk melakukan pembalasan kejahatan dengan kejahatan, jadi tidak ada hubungannya dengan menghakimi.
Dalam Yakobus 4:11-12 menunjukkan larangan melakukan penghakiman disertai dengan firnahan. Karena jika kata fitnahan yang digunakan maka orang yang dihakimi tidak mengerti bahwa Allah juga tidak setuju dengan kesalahannya. Mari melihat fakta Alkitab:
a.   Yesus sendiri mengecam dan mengutuk orang-orang Farisi, ahli-ahli Taurat, orang-orang Saduki, dan ajarannya (Mat 5:20-48  Mat 6:1-18  Mat 15:1-14  Mat 16:1-12  Mat 21:45  Mat 22:29  Mat 23:1-36).
b.   Paulus juga mengutuk para nabi palsu (Gal 1:6-9), dan memarahi jemaat Korintus karena mereka sabar terhadap nabi-nabi palsu (2Kor 11:4). Ia juga menyetujui kecaman terhadap orang Kreta dan memerintahkan Titus untuk menegur mereka (Tit 1:12-13), mengecam Himeneus, Filetus dan Aleksander (1Tim 1:20  2Tim 2:17,18  2Tim 4:14).
c.   Dalam Yoh 7:24 Yesus berkata: “Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil”.
Calvin berkata: ” Kita bukan hanya diijinkan, tetapi bahkan diharuskan, untuk mengecam semua dosa; kecuali kita memilih untuk memberontak terhadap Allah sendiri,”. Jadi mengecam dosa diijinkan, justru kalau kita membiarkan dosa, kita menjadi berdosa (Bdg. Yak. 4:17). Selanjutnya Calvin menuliskan: ” Merupakan kehendakNya bahwa kita menyatakan hukuman yang Ia umumkan terhadap tindakan-tindakan manusia: hanya kita harus menjaga kerendahan hati satu terhadap yang lain, sehingga menjadi nyata bahwa Ia adalah satu-satunya Pemberi hukum dan Hakim (Yes 33:22)”. Jadi  penghakiman tersebut selaras dengan firman Tuhan, sehingga yang dihakimi mengetahui bahwa sumber penghakiman adalah firman Tuhan dan mereka mengerti bahwa Tuhanlah yang sedang menghakimi mereka melalui firman-Nya dengan memakai hamba-Nya sebagai alat (Bdg. Yak. 4:11-12).
Dengan dasar Firman Tuhan ini kita boleh untuk menghakimi / menilai orang lain asal kita melakukannya dengan adil, dengan memperhatikan fakta-fakta secara keseluruhan. Melalui firman Tuhan ini mengapa kita jangan menghakimi?
1.     Allah telah menerima orang itu (Ay. 1-4)
Jika Allah telah menerima orang yang lemah imannya dalam karya keselamatan, maka kita harus menerima mereka dalam persekutuan. Apa arti istilah ”lemah imannya”?
Cranfield mengatakan bahwa mereka yang "lemah imannya" adalah orang Yahudi yang percaya kepada Tuhan Yesus tetapi masih menuruti peraturan-peraturan hukum Taurat dan adat-istiadat Yahudi, bukan sebagai cara untuk dibenarkan di hadapan Allah, tetapi hanya karena mereka betah dengan peraturan lama tersebut. Hal tersebut ditegaskan Dunn:Ternyata pada tahun 49 orang-orang Yahudi dikeluarkan dari Roma karena titah Kaisar Claudius. Pada tahun 54 Claudius meninggal, dan titahnya tidak berlaku lagi, sehingga orang-orang Yahudi, baik yang tidak percaya kepada Yesus maupun yang percaya kepadaNya, mulai kembali ke kota Roma untuk hidup di sana. Jadi selama beberapa tahun tidak ada orang Yahudi di dalam jemaat-jemaat di Roma, tetapi pada waktu Surat Roma dikirim sudah ada minoritas jemaat yang berlatar belakang Yahudi. Sebagian dari mereka tidak berani melepaskan diri mereka dari peraturan-peraturan hukum Taurat tertentu karena iman mereka kurang kuat. Kita harus mengingat bahwa identitas mereka sebagai orang Yahudi sangat penting bagi pribadi mereka, dan identitas tersebut berkaitan dengan kebiasaan mereka mengenai pantang makan jenis makanan tertentu dan hari raya mereka, sehingga pembahasan Paulus menyentuh masalah yang amat peka dan penting bagi orang Yahudi di Roma yang percaya kepada Tuhan Yesus”. Selanjutnya Matthew Henry menjelaskan:
a.     Anggota-anggota jemaat yang kuat dan mengetahui kemerdekaan Kristen yang mereka miliki serta menggunakannya, mencemooh anggota-anggota yang lemah, yang tidak tahu tentang kemerdekaan Kristen mereka. Seharusnya mereka mengasihani golongan yang lemah itu dan menolong mereka, serta menuntun mereka dengan lemah lembut dan ramah. Namun, mereka justru menginjak-injak jemaat yang lemah itu dengan menghina mereka tolol, menggelikan dan percaya takhayul saja, karena meragukan berbagai hal yang sebenarnya halal. Begitulah, orang-orang yang berpengetahuan cenderung menjadi besar kepala, dan mencemooh serta meremehkan sesamanya.
b.     Anggota jemaat yang lemah dan tidak berani menggunakan kemerdekaan Kristen yang mereka miliki, menghakimi dan mengecam mereka yang kuat. Mereka yang kuat itu dipandang seakan-akan sebagai orang Kristen yang suka-suka hati, orang-orang percaya yang dikuasai kedagingan, berbuat sembarangan, nekat, dan tidak berpegang pada hukum. Jemaat yang lemah itu menghakimi yang kuat itu sebagai para pelanggar aturan, penghina ketetapan Allah, dan sebagainya. Kecaman semacam ini memperlihatkan betapa mereka sungguh ceroboh dan tidak bermurah hati, yang pada akhirnya jelas akan mengakibatkan hilangnya rasa kasih sayang. Inilah penyakitnya, dan sampai hari ini pun kita masih tetap melihatnya di dalam jemaat.
Dalam 1Korintus 8:8-12, 9:22 menunjuk kepada lemah iman dalam hal-hal praktis atau tradisi. Dalam konteks Roma 14 menunjuk kepada masalah makanan dan hari-hari tertentu (ay. 2,3,5). Artinya kita harus menerima saudara seiman, meskipun ada yang tidak bisa makan-makanan tertentu dan juga menilai hari yang lain lebih penting.
Jadi istilah lemah imannya menunjuk bukan kepada persoalan pokok iman yang primer, tetapi permasalahan sekunder. Untuk dua masalah tersebut Rasul Paulus telah mengingatkan orang percaya di dalam Kolose 2:16-17 : ”16.Karena itu janganlah kamu dibiarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari sabat; 17.semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah kristus”. Jadi segala ceremonial dalam hukum Taurat nyata di dalam Yesus Kristus. Jadi Rasul Paulus kembali menegaskan bahwa orang yang lemah dan kuat imannya mereka telah diterima oleh Allah karena Pokok Iman-Nya yaitu percaya Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat.

2.     Segala sesuatu dilakukan untuk Tuhan (ay. 5-9)
Dalam Alkitab TB LAI ada 4 kali istilah ”untuk Tuhan” (to the Lord) digunakan. Kata-kata tersebut dikenakan dalam hal praktis yaitu berpegang pada suatu hari dan memakan makanan. Kata tersebut mendapatkan penekanan yaitu ”ia melakukannya untuk Tuhan. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa segala sesuatu dilakukan dengan motivasi tertuju kepada Tuhan (Bdg. 1Kor. 10:31, Kol. 2:16-17, 3:23). Dalam terjemahan  Firman Allah Yang Hidup (FAYH) menuliskan:
”Jikalau Saudara memilih hari-hari yang khusus untuk berbakti kepada Tuhan, saudara berusaha menghormati Dia; Saudara melakukan sesuatu yang baik. Demikian jugalah halnya dengan orang yang makan daging yang telah disajikan kepada berhala. Ia merasa bersyukur kepada Tuhan atas makanan itu; ia melakukan sesuatu yang benar. Sedangkan orang yang tidak mau menyentuhnya, ia pun ingin sekali menyenangkan Tuhan, dan ua juga bersyukur”
Prinsip tersebut juga ditegaskan oleh Rasul Paulus dalam 1Korintus 10:27-33. Paulus menyatakan kita percaya segala sesuatu diperbolehkan tetapi kita harus melihat apakah itu berguna atau membangun (1Kor. 10:23). Rasul Paulus menyatakan kita bisa saja memakan makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala karena di dalam hati kita kita percaya ”bumi dan segala isinya milik Tuhan” (1Kor. 10:26). Tetapi Rasul Paulus tetap membatasi etika kita meskipun ia juga sadar orang lain tidak berhak membatasi kebebasan kita (1 Kor. 10:29), Rasul Paulus melakukan hal itu agar saudara seiman yang keberatan maka kita harus bisa menjaga perasaannya (keberatan hati nuraninya), jangan sampai kita makan tetapi menjadi syak atau batu sandungan dan lebih lagi agar orang yang belum percaya dapat diselamatkan. Jangan sampai dengan kebebasan kita orang menjadi menghina orang Kristen dan jangan sampai dengan ketaatan/kekakuan kita orang menjadi tidak mau mengenal Yesus. Rasul Paulus tetap menekankan bahwa segala sesuatu tetap dilakukan untuk Kemuliaan Allah (1Kor. 10:31).
Jadi baik hari-hari maupun makanan semua bisa dilakukan untuk kemuliaan Tuhan. Jika motivasi untuk kemuliaan Tuhan maka pastilah orang Kristen tersebut tahun mana yang etis dan estetis sehingga menjadi berkat bagi sesama.

3.     Kita semua harus menghadap Tahta Pengadilan Allah (ay. 10-12)
Dalam ayat 10-12 Paulus mengajak pembaca berpikir secara eskatologis (futuristik). Bahwa semua manusia akan menghadao tahta pengadilan Allah untuk mempertanggung jawabkan tentang dirinya sendiri (ay. 12). Oleh karena itu jika kita mengahakimi dengan cara menghina dan memfitnah bukannya menyatakan firman Tuhan maka kita harus mempertanggungjawabkan hal itu kepada Tuhan. Tetapi jika kita menghakimi dengan motivasi yang benar, yaitu memuliakan nama Allah, mencegah keberdosaan dan menyatakan kesalahan. Lalu kita memakai Alkitab / Firman Tuhan sebagai dasar untuk menghakimi maka kita tidak perlu takut mempertanggungjawabkan dihadapan Allah. Karena Allah juga akan menghakimi manusia dengan firman-Nya (Lih. Wahyu 11:12).
Budi Asali menuliskan: ”Orang-orang percaya namanya tercantum dalam kitab kehidupan.[1] Hanya mereka yang akan masuk surga. Orang-orang yang tidak percaya akan dihakimi berdasarkan perbuatan mereka, dan mereka tidak mungkin bisa selamat. Tidak ada dosa dari orang-orang percaya yang akan dinyatakan pada hari pengakiman itu, karena semuanya telah dihapuskan oleh darah Kristus. Yang ada hanya perbuatan-perbuatan baik dari orang-orang percaya, dan itu dijadikan dasar untuk menentukan pahala orang-orang percaya itu di surga.”.

Penutup
Kita tidak boleh menghakimi sesama kita dengan motivasi menghina, memfitnah dan menjatuhkannya. Penghakiman dilakukan harus dengan adil, sesuai dengan fakta, berdasarkan kebenaran (Alkitab), dimotivasi untuk mencegah manusia semakin jatuh dalam dosa dan memuliakan Allah.
Lalu kita juga tidak boleh ”menghakimi” karena masalah-masalah sekunder karena Allah telah menerima orang yang percaya kepada Yesus Kristus, segala hal praktis kita lakukan hanya untuk Tuhan dan ingat kita juga bertanggung jawab atas diri kita di tahta pengadilan Allah.
Ecclesia Reformata semper Reformanda secundum Verbum Dei, Soli Deo Gloria


[1] Homer Hailey: Ini bukan betul-betul kitab-kitab secara hurufiah ... Kitab-kitab ini menyimbolkan catatan ilahi tentang kehidupan-kehidupan dan tindakan-tindakan dari semua orang yang pernah hidup. Pieters telah menyatakan dengan baik hal ini: ‘Kitab-kitab itu dengan jelas mewakili kemahatahuan Allah sang Hakim, bagi siapa tidak ada yang tak diketahui, dan oleh siapa tak ada yang dilupakan’ (hal 313), kecuali apa yang Ia kehendaki untuk dilupakan (Ibr 8:12).