Oleh: Made Nopen Supriadi, S.Th
Bolehkah menghakimi???. Kata ”janganlah”
menunjukkan larangan. Dalam bahasa Yunani ada dua kata yang digunakan untuk
menunjukkan larangan yaitu kata ”mh” (me)
dan ”ou” (ou). Kata ”mh” (me) biasanya larangan yang tidak mutlak dan
kata ”ou” (ou) untuk larangan yang mutlak (Lih. Roma
13:9).
Kata ”janganlah
menghakimi” ditulis dengan bahasa Yunani ”mh krinetw” (me
krineto). Kata ini dituliskan dalam bentuk kata kerja present aktif imperatif dari kata dasar ”krino” (Krino) yang artinya mengkritik, melebihkan,
menjatuhkan, bertindak sebagai hakim. Kata ini ditulis sebanyak 114 x dalam PB.
Jadi Paulus memberi perintah larangan
pada saat itu juga bagi orang Kristen yang tidak bisa makan daging agar tidak
mengkritik, menjatuhkan dan menghakimi mereka.
Kata “jangan menghina” dalam bahasa Yunani ”mh exouqeneitw” (me exoutheneito) yang ditulis dalam bentuk
kata kerja present aktif imperatif, dari
kata dasar ”exouqeneo” (exoutheneo) yang artinya menghina, menolak
dengan penghinaan. Jadi Paulus memberi
perintah larangan pada saat itu juga kepada orang percaya yang bisa makan
daging agar tidak menghina dan menolak mereka yang tidak bisa makan daging.
Perhatikan!!! Kata ”menghakimi” dalam Alkitab TB LAI ditulis
sebanyak 3 kali dan 2 x kata menghakimi diiikuti oleh kata ”jangan menghina”. Hal tersebut
menunjukkan bahwa penghakiman yang
dilakukan telah menjurus kepada penghinaan. Hal inilah yang dilarang
dalam menghakimi. Jadi menghakimi yang dimaksud dalam teks Roma 14 ini adalah
sebuah penghakiman dalam bentuk Kritik yang menjurus kepada penghinaan dan
penolakkan.
Dalam Matius 7:1-5 dinyatakan ”jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak
dihakimi”. Perhatikan baik-baik ayat tersebut menunjukkan bahwa jangan
berani menjadi hakim bagi sesama jika hidup kita belum bisa melakukan hal yang
akan kita pakai untuk menghakimi. Itu artinya orang Kristen bisa mendapat hak menghakimi jika memang telah menguji
dirinya sendiri, dan di dalam hati nuraninya memiliki keyakinan tidak
ada tuduhan terhadap hal yang akan dihakimi.
Dalam Roma 12:17-20 tidak
dikatakan tidak boleh menghakimi tetapi dilarang
untuk melakukan pembalasan kejahatan dengan kejahatan, jadi tidak ada
hubungannya dengan menghakimi.
Dalam Yakobus 4:11-12
menunjukkan larangan melakukan penghakiman disertai dengan firnahan. Karena
jika kata fitnahan yang digunakan maka orang yang dihakimi tidak mengerti bahwa
Allah juga tidak setuju dengan kesalahannya. Mari melihat fakta Alkitab:
a.
Yesus sendiri mengecam dan mengutuk orang-orang Farisi, ahli-ahli Taurat,
orang-orang Saduki, dan ajarannya (Mat 5:20-48 Mat 6:1-18
Mat 15:1-14 Mat 16:1-12 Mat 21:45 Mat 22:29
Mat 23:1-36).
b.
Paulus juga mengutuk para nabi palsu (Gal 1:6-9), dan memarahi jemaat
Korintus karena mereka sabar terhadap nabi-nabi palsu (2Kor 11:4). Ia juga
menyetujui kecaman terhadap orang Kreta dan memerintahkan Titus untuk menegur
mereka (Tit 1:12-13), mengecam Himeneus, Filetus dan Aleksander (1Tim 1:20
2Tim 2:17,18 2Tim 4:14).
c.
Dalam Yoh 7:24 Yesus berkata: “Janganlah menghakimi menurut apa yang
nampak, tetapi hakimilah dengan adil”.
Calvin berkata: ” Kita
bukan hanya diijinkan, tetapi bahkan diharuskan, untuk mengecam semua dosa;
kecuali kita memilih untuk memberontak terhadap Allah sendiri,”.
Jadi mengecam dosa diijinkan, justru kalau kita membiarkan dosa, kita menjadi
berdosa (Bdg. Yak. 4:17). Selanjutnya Calvin menuliskan: ” Merupakan
kehendakNya bahwa kita menyatakan hukuman yang Ia umumkan terhadap
tindakan-tindakan manusia: hanya kita harus menjaga kerendahan hati satu
terhadap yang lain, sehingga menjadi nyata bahwa Ia adalah satu-satunya Pemberi
hukum dan Hakim (Yes 33:22)”. Jadi penghakiman tersebut selaras dengan firman
Tuhan, sehingga yang dihakimi mengetahui bahwa sumber penghakiman adalah firman
Tuhan dan mereka mengerti bahwa Tuhanlah yang sedang menghakimi mereka melalui
firman-Nya dengan memakai hamba-Nya sebagai alat (Bdg. Yak. 4:11-12).
Dengan dasar Firman Tuhan
ini kita boleh untuk menghakimi / menilai orang lain asal kita melakukannya
dengan adil, dengan memperhatikan fakta-fakta secara keseluruhan. Melalui
firman Tuhan ini mengapa kita jangan menghakimi?
1.
Allah telah menerima orang itu (Ay. 1-4)
Jika Allah telah menerima orang yang lemah imannya dalam
karya keselamatan, maka kita harus menerima mereka dalam persekutuan. Apa arti
istilah ”lemah imannya”?
Cranfield mengatakan bahwa mereka yang "lemah imannya" adalah orang Yahudi yang percaya kepada Tuhan
Yesus tetapi masih menuruti peraturan-peraturan hukum Taurat dan adat-istiadat
Yahudi, bukan sebagai cara untuk dibenarkan di hadapan Allah, tetapi hanya
karena mereka betah dengan peraturan lama tersebut. Hal tersebut
ditegaskan Dunn: ”Ternyata
pada tahun 49 orang-orang Yahudi dikeluarkan dari Roma karena titah Kaisar
Claudius. Pada tahun 54 Claudius meninggal, dan titahnya tidak berlaku lagi,
sehingga orang-orang Yahudi, baik yang tidak percaya kepada Yesus maupun yang
percaya kepadaNya, mulai kembali ke kota Roma untuk hidup di sana. Jadi selama
beberapa tahun tidak ada orang Yahudi di dalam jemaat-jemaat di Roma, tetapi
pada waktu Surat Roma dikirim sudah ada minoritas jemaat yang berlatar belakang
Yahudi. Sebagian dari mereka tidak
berani melepaskan diri mereka dari peraturan-peraturan hukum Taurat tertentu
karena iman mereka kurang kuat. Kita harus mengingat bahwa identitas
mereka sebagai orang Yahudi sangat penting bagi pribadi mereka, dan identitas
tersebut berkaitan dengan kebiasaan mereka mengenai pantang makan jenis makanan
tertentu dan hari raya mereka, sehingga pembahasan Paulus menyentuh masalah
yang amat peka dan penting bagi orang Yahudi di Roma yang percaya kepada Tuhan
Yesus”. Selanjutnya Matthew Henry menjelaskan:
a.
Anggota-anggota
jemaat yang kuat dan mengetahui kemerdekaan Kristen yang mereka miliki serta
menggunakannya, mencemooh anggota-anggota yang lemah, yang tidak tahu tentang
kemerdekaan Kristen mereka. Seharusnya mereka mengasihani golongan yang
lemah itu dan menolong mereka, serta menuntun mereka dengan lemah lembut dan
ramah. Namun, mereka justru menginjak-injak jemaat yang lemah itu dengan
menghina mereka tolol, menggelikan dan percaya takhayul saja, karena meragukan
berbagai hal yang sebenarnya halal. Begitulah, orang-orang yang
berpengetahuan cenderung menjadi besar kepala, dan mencemooh serta meremehkan
sesamanya.
b.
Anggota jemaat yang lemah dan tidak berani
menggunakan kemerdekaan Kristen yang mereka miliki, menghakimi dan mengecam
mereka yang kuat. Mereka yang kuat itu dipandang seakan-akan sebagai orang Kristen
yang suka-suka hati, orang-orang percaya yang dikuasai kedagingan, berbuat
sembarangan, nekat, dan tidak berpegang pada hukum. Jemaat yang lemah itu
menghakimi yang kuat itu sebagai para pelanggar aturan, penghina ketetapan
Allah, dan sebagainya. Kecaman semacam ini memperlihatkan betapa mereka sungguh
ceroboh dan tidak bermurah hati, yang pada akhirnya jelas akan mengakibatkan
hilangnya rasa kasih sayang. Inilah penyakitnya, dan sampai hari
ini pun kita masih tetap melihatnya di dalam jemaat.”
Dalam 1Korintus 8:8-12, 9:22 menunjuk kepada lemah
iman dalam hal-hal praktis atau tradisi. Dalam konteks Roma 14
menunjuk kepada masalah makanan dan hari-hari tertentu (ay. 2,3,5). Artinya
kita harus menerima saudara seiman, meskipun ada yang tidak bisa makan-makanan
tertentu dan juga menilai hari yang lain lebih penting.
Jadi istilah lemah imannya menunjuk bukan
kepada persoalan pokok iman yang primer, tetapi permasalahan
sekunder. Untuk dua masalah tersebut Rasul Paulus telah
mengingatkan orang percaya di dalam Kolose 2:16-17 : ”16.Karena itu janganlah kamu dibiarkan orang menghukum kamu mengenai
makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari sabat;
17.semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya
ialah kristus”. Jadi segala ceremonial dalam hukum Taurat nyata di dalam
Yesus Kristus. Jadi Rasul Paulus kembali menegaskan bahwa orang yang lemah dan
kuat imannya mereka telah diterima oleh Allah karena Pokok Iman-Nya yaitu
percaya Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat.
2.
Segala sesuatu dilakukan untuk Tuhan (ay.
5-9)
Dalam Alkitab TB LAI ada 4 kali istilah ”untuk Tuhan” (to the Lord) digunakan. Kata-kata
tersebut dikenakan dalam hal praktis yaitu berpegang pada suatu hari dan
memakan makanan. Kata tersebut mendapatkan penekanan yaitu ”ia melakukannya” untuk
Tuhan. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa segala sesuatu dilakukan dengan
motivasi tertuju kepada Tuhan (Bdg. 1Kor. 10:31, Kol. 2:16-17, 3:23). Dalam
terjemahan Firman Allah Yang Hidup (FAYH) menuliskan:
”Jikalau Saudara memilih hari-hari yang khusus untuk
berbakti kepada Tuhan, saudara berusaha menghormati Dia; Saudara melakukan
sesuatu yang baik. Demikian jugalah halnya dengan orang yang makan daging yang telah
disajikan kepada berhala. Ia merasa bersyukur kepada Tuhan atas makanan itu; ia
melakukan sesuatu yang benar. Sedangkan orang yang tidak mau
menyentuhnya, ia pun ingin sekali menyenangkan Tuhan, dan ua juga bersyukur”
Prinsip tersebut juga ditegaskan oleh Rasul Paulus dalam
1Korintus 10:27-33. Paulus menyatakan kita percaya segala sesuatu diperbolehkan
tetapi kita harus melihat apakah itu berguna atau membangun (1Kor. 10:23).
Rasul Paulus menyatakan kita bisa saja memakan makanan yang telah
dipersembahkan kepada berhala karena di dalam hati kita kita percaya ”bumi dan
segala isinya milik Tuhan” (1Kor. 10:26). Tetapi Rasul Paulus tetap membatasi
etika kita meskipun ia juga sadar orang lain tidak berhak membatasi kebebasan
kita (1 Kor. 10:29), Rasul Paulus melakukan hal itu agar saudara seiman yang keberatan
maka kita harus bisa menjaga perasaannya (keberatan hati nuraninya), jangan
sampai kita makan tetapi menjadi syak atau batu sandungan dan lebih lagi agar
orang yang belum percaya dapat diselamatkan. Jangan sampai dengan kebebasan
kita orang menjadi menghina orang Kristen dan jangan sampai dengan
ketaatan/kekakuan kita orang menjadi tidak mau mengenal Yesus. Rasul Paulus
tetap menekankan bahwa segala sesuatu tetap dilakukan untuk Kemuliaan Allah
(1Kor. 10:31).
Jadi baik hari-hari maupun makanan semua bisa dilakukan
untuk kemuliaan Tuhan. Jika motivasi untuk kemuliaan Tuhan maka pastilah orang
Kristen tersebut tahun mana yang etis dan estetis sehingga menjadi berkat bagi
sesama.
3.
Kita semua harus menghadap Tahta Pengadilan
Allah (ay. 10-12)
Dalam ayat 10-12 Paulus mengajak pembaca berpikir secara
eskatologis (futuristik). Bahwa semua manusia akan menghadao tahta pengadilan
Allah untuk mempertanggung jawabkan tentang dirinya sendiri (ay. 12). Oleh
karena itu jika kita mengahakimi dengan cara menghina dan memfitnah bukannya
menyatakan firman Tuhan maka kita harus mempertanggungjawabkan hal itu kepada
Tuhan. Tetapi jika kita menghakimi dengan motivasi yang benar, yaitu memuliakan
nama Allah, mencegah keberdosaan dan menyatakan kesalahan. Lalu kita memakai
Alkitab / Firman Tuhan sebagai dasar untuk menghakimi maka kita tidak perlu
takut mempertanggungjawabkan dihadapan Allah. Karena Allah juga akan menghakimi
manusia dengan firman-Nya (Lih. Wahyu 11:12).
Budi Asali menuliskan: ”Orang-orang
percaya namanya tercantum dalam kitab kehidupan.[1]
Hanya mereka yang akan masuk surga. Orang-orang yang tidak percaya akan
dihakimi berdasarkan perbuatan mereka, dan mereka tidak mungkin bisa selamat.
Tidak ada dosa dari orang-orang percaya yang akan dinyatakan pada hari
pengakiman itu, karena semuanya telah dihapuskan oleh darah Kristus. Yang ada
hanya perbuatan-perbuatan baik dari orang-orang percaya, dan itu dijadikan
dasar untuk menentukan pahala orang-orang percaya itu di surga.”.
Penutup
Kita tidak boleh menghakimi sesama kita dengan motivasi
menghina, memfitnah dan menjatuhkannya. Penghakiman dilakukan harus dengan
adil, sesuai dengan fakta, berdasarkan kebenaran (Alkitab), dimotivasi untuk
mencegah manusia semakin jatuh dalam dosa dan memuliakan Allah.
Lalu kita juga tidak boleh ”menghakimi” karena
masalah-masalah sekunder karena Allah telah menerima orang yang percaya kepada
Yesus Kristus, segala hal praktis kita lakukan hanya untuk Tuhan dan ingat kita
juga bertanggung jawab atas diri kita di tahta pengadilan Allah.
Ecclesia Reformata semper Reformanda secundum Verbum Dei, Soli Deo Gloria
[1]
Homer Hailey: Ini bukan betul-betul
kitab-kitab secara hurufiah ... Kitab-kitab ini menyimbolkan catatan ilahi
tentang kehidupan-kehidupan dan tindakan-tindakan dari semua orang yang pernah
hidup. Pieters telah menyatakan dengan baik hal ini: ‘Kitab-kitab itu dengan
jelas mewakili kemahatahuan Allah sang Hakim, bagi siapa tidak ada yang tak
diketahui, dan oleh siapa tak ada yang dilupakan’ (hal 313), kecuali apa yang
Ia kehendaki untuk dilupakan (Ibr 8:12).