Jumat, 25 September 2015

Iman Dan Penderitaan

Oleh: Made N. Supriadi, S. Th
       Penderitaan akan menjadi penderitaan jika penderita tidak diberikan iman oleh Tuhan. Penderitaan akan menjadi tangisan jika penderita tidak melihat pengharapan. Lalu apakah orang percaya hidup tanpa penderitaan? Penderitaan akan tetap ada namun inilah yang patut kita pelajari yaitu relasi iman dan penderitaan.
       Tuhan memberikan iman, iman memimpin manusia berpusat pada pribadi dan karya Allah, sehingga pikiran (mind) dan hati nurani (counscience) dipimpin berpusat pada pribadi Allah yang kasih dan karya-Nya yang mengasihi, konsep demikianlah yang membuat manusia tahu bahwa kehidupan ini ada dalam pemeliharaan Tuhan.
       Dalam Alkitab banyak tokoh iman yang menderita dalam Ibrani 11 tokoh tersebut hidup dalam iman juga penderitaan. Ayub juga mengalami penderitaan padahal ia orang beriman. Namun fakta Alkitab menyatakan mereka tidak menyebut penderitaan sebagai sebuah penderitaan. Mengapa? karena mereka diberikan iman oleh Tuhan.
      Tuhan Yesus juga mengalami penderitaan padahal Ia sumber Iman itu, namun penderitaan itu bukanlah menjadi penderitaan yang menguasai dan merubah tujuan dan nilai pribadi dan karya-Nya. Jadi penderitaan tidak akan menjadi penderitaan jika Tuhan memberikan iman, penderitaan bukanlah penderitaan jika berpusat kepada Tuhan. Lalu apakah setiap orang yang percaya akan menderita? Maka penderitaan itu hadir bukan karena orang tersebut beriman, karena orang tak beriman pun juga mengalami penderitaan. Penderitaan ada karena orang percaya hidup di dunia dan tidak mengenal Tuhan. Penderitaan orang yang tidak beriman pada Yesus Kristus dialami hingga kekekalan. Oleh karena itu dalam Roma 1: 24, 26, 28 menyatakan bahwa orang yang terus bergelut dalam kefasikan, kecemaran dan berbagai dosa bisa jadi orang tersebut sudah diserahkan Tuhan dalam penghukuman.
     Perhatikan dua orang yang disalib bersama Tuhan Yesus, mereka mengalami penderitaan fisik, namun penderitaan salah seorang yang disalib tidak bernilai kekal karena ia diterima Yesus di Firdaus, lalu yang satunya menderita fisik dan kekal karena menolak Tuhan Yesus.
        Penderitaan adalah sebuah tipuan bagi iman karena penderitaan mencoba merusak konsep iman, namun disaat yang sama penderitaan juga menjadi pengujian kualitas iman karena dalam penderitaan kemurnian konsep berpikir dan hati serta kekuatan iman menjadi terlihat. Penderitaan juga merupakan alat untuk membentuk iman orang percaya, penderitaan akan memperlihatkan gambaran konsep iman apakah itu iman yang diberikan Tuhan atau tidak. Iman dalam penderitaan memimpin orang percaya tetap memuliakan Tuhan, justru dalam penderitaan yang dimenangkan iman akan membuat Tuhan dimuliakan. Maka orang yang menderita dalam iman tetap menunjukkan ekspresi memuliakan Allah. Soli Deo Gloria.

Subyektivisme (Sebuah Evaluasi Theologis-Filosofis)

 Oleh : Ev. Made N. Supriadi, S. Th
        Subyektivisme merupakan paham yang menekankan segala sesuatu berpusat pada manusia. Maka jika filosofi tersebut diterapkan dalam memahami kebenaran hasilnya ialah manusia menjadi tolak ukur bagi kebenaran,benar dan salah ditentukan oleh siapa yang menafsirkan kebenaran. Seorang penganut filosofi ini menyatakan semua kitab sama saja, yang paling penting itu bagaimana cara manusia menentukan benar dan salahnya. Saya menanggapi:
       Pertama: "prinsip kebenaran ialah universal, mutlak, koheren, komprehensif dan objektif. Maka kebenaran itu tidak akan mejadi universal n objektif karena ditentukan manusianya, karena setiap manusia memiliki pikiran yang berbeda maka kebenaran itu akan menjadi relatif tidak mutlak karena masing-masing diri merasa benar."
         Kedua: "filosofi subyektivisme tidak logis dan tidak akan pernah menjadi logis karena menstandarkan pada pribadi manusia yang kelogisannya berbeda-beda maka tidak ada standar logis".
     Ketiga: "Filosofi subyektivisme hanya akan menghancurkan penganutnya karena, filosofi menstandarkan pada pikiran dan hati manusia. Secara esensi pikiran dan hati manusia sudah rusak total (total depravity), jadi kebaikan apapun yang dilakukan manusia hanya baik sebatas bertemu subyek-subyek yang berlatar belakang sama paling tidak budayanya. Namun jika bertemu dgn subyek yg berbeda latar belakang maka konflik berpotensi besar hadir."
     Keempat: "Penganut paham subyektivisme ini sedang mengosongkan dirinya sehingga memiskinkan sosialisasi dan pengetahuannya, karena penganut ini sudah membatasi pada dirinya yang benar."
      Kelima: "paham ini sama saja mrnuhankan diri sendiri sehingga manusia merasa superior atas yang lain karena merasa memiliki kebenaran, sehingga menyamai Tuhan yang menjadi penentu benar dan salah melalui Alkitab. Salah seorang penganut ini menyatakan bahwa dirinya adalah Tuhan dan Roh manusia itulah Roh Kudus ini sungguh pemahaman panteisme yg berakar dari subyektivisme."
     Jadi kebenaran tetaplah kebenaran. Kebenaran tidak menjadi, karena kebenaran sudah benar karena kebenaran itu konsisten dan mutlak. Kebenaran tidak lokal tetapi universal dan komprehensif. Kebenaran itu mutlak tidak relatif & kebenaran it obyektif tidak subyektif. Soli Deo Gloria.